Jumat 05 Feb 2016 17:00 WIB

Jepang Berjuang Kendalikan Ekonomi

Red:

 

Oleh Rakhmat Hadi Sucipto

Banyak negara sangat berkepentingan dengan Jepang. Ka rena itulah, mereka selalu berharap ekonomi negara ini bisa menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan ta hun-tahun sebelumnya. Mengapa demikian? Karena sekecil apa pun perubahan ekonomi Jepang, bisa berpengaruh positif maupun negatif bagi negara-negara mitranya. Kebijakan yang diambil pemerintah maupun bank sentral di negara itu juga selalu menimbulkan respons dari negara-negara lain.

Aksi Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) yang memutuskan menerapkan bunga negatif 0,1 persen pada 29 Januari lalu pun serta-merta mengejutkan para pelaku pasar. BOJ harus mengambil keputusan tersebut dengan alasan ingin merangsang pinjaman dan mencapai target inflasi sebesar dua persen. Langkah ini tentunya secara umum demi memperbaiki ekonomi yang sekian tahun terkurung dalam kelesuan.

Dalam beberapa tahun terakhir ekonomi Je pang memang menunjukkan perkembang an yang tidak menggembirakan. Menurut Bank Dunia, setelah mengalami pukulan be rat pada 2009 dengan angka pertumbuhan minus 5,53 persen, Jepang memang bisa bangkit setahun berikutnya, mencatat laju pertumbuhan signifikan sebesar 4,65 persen. Namun, setelah itu ekonominya kembali lesu de ngan angka pertumbuhan negatif 0,45 persen.

Dua tahun berikutnya, pada 2012 dan 2013, Jepang kembali mampu mencatat pertumbuhan positif masing-masing 1,75 persen dan 1,65 persen. Tapi pada 2014, laju pertumbuhan ekonomi negara ini kembali drop, tercatat negatif 0,1 persen. Pada 2015 diperkirakan ekonomi Jepang kembali rebound.

Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan Jepang akan mencatat pertumbuhan positif 0,7 persen pada 2015, sementara Bank Dunia, OECD, dan Dana Moneter Internasional (IMF) punya keyakinan lebih rendah lagi, hanya 0,6 persen. Komisi Eropa optimistis pertumbuhan ekonomi 2015 Jepang akan mencapai 0,7 persen. Tentu semua harus menunggu bukti karena tahun fiskal negara ini berakhir pada April.

Mayoritas lembaga keuangan internasional yakin ekonomi Jepang akan lebih baik lagi pada 2016 ini. Bank Dunia dan EIU memperkirakan pada tahun ini Jepang akan mencatat angka pertumbuhan sebesar 1,2 persen.

Itulah yang membuat Jepang makin termotivasi untuk terus membenahi ekonomi nya. Bank Sentral yang memiliki kewajiban di bidang moneter pun merasa punya kewajiban untuk bersama-sama dengan pemerintah menjaga ekonomi agar bergerak sesuai jalur yang sudah direncanakan.

"BOJ akan memangkas lagi tingkat suku bunga menjadi lebih dalam ke teritori negatif jika diperlukan," ungkap Gubernur BOJ Ha ru hiko Kuroda, seperti dilaporkan Reuters, be berapa waktu lalu. Tidak mudah bagi Ku roda dan jajarannya untuk mencapai target tersebut. Apalagi, penurunan harga minyak dunia juga terbukti turut memengaruhi tingkat inflasi negara tersebut.

Analis pun yakin Bank Sentral Jepang akan mengeluarkan jurus-jurus lainnya demi mencapai seluruh target. BOJ sudah mengumumkan akan mempertahankan jumlah pembelian aset. Diperkirakan akan ada stimulus atau paket kebijakan lainnya, terutama demi mencapai target inflasi 2,0 persen.

Indeks terdongkrak

Sesaat setelah pengumuman implementasi suku bunga negatif, bursa saham Tokyo pun bereaksi positif. Indeks harga saham saat itu melonjak 3,21 persen. Tapi, sebaliknya yen jebol karena daya tarik investor untuk memegang yen melemah.

Indeks Nikkei 225 di Bursa Saham Tokyo naik 546,71 poin ke posisi 17.588,16 poin, sedangkan kurs dolar AS melesat ke level 120,40 yen dari 118,65 yen per dolar AS se belum pengumuman BOJ. Indeks yang melonjak lebih dari 3,0 persen ini sinyal positif dan sebagai indikator para investor menyambut baik langkah Bank Sentral Jepang.

Pasar saham di kawasan Asia juga turut menguat setelah keputusan BOJ mengadopsi suku bunga negatif tersebut. Indeks MSCI Asia Pasifik melonjak drastis pada akhir pekan tersebut yang ditopang kenaikan harga saham-saham Jepang. Indeks Shanghai juga naik hingga mencapai kenaikan terbesar bulanan sejak tahun 2008.

Entah ada korelasi langsung atau tidak, harga minyak dunia juga turut terdongkrak se lama empat hari berturut-turut. Minyak men tah WTI naik menjadi 34 dollar AS per barrel.

Indonesia juga menikmati efek positif kebijakan BOJ. Kurs rupiah di pasar spot ternyata menguat 0,2 persen menjadi Rp 13.844 per dolar AS dibandingkan perdagangan sebelumnya yang ditutup pada level Rp 13.873 per dolar AS. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah menguat 0,3 persen menjadi Rp 13.846 per dolar AS dari sebelumnya Rp 13.889 per dolar AS.

Penerapan suku bunga negatif tentu membawa konsekuensi bagi para investor dan pihak perbankan. Dengan memangkas biaya pinjaman hingga di bawah nol, bank-bank membayar dana-dana mereka yang selama ini diparkir di BOJ, memberi mereka insentif untuk meningkatkan pinjaman yang pada gilirannya akan membantu memacu ekonomi.

Beberapa ekonom menilai BOJ tetap harus bekerja sangat keras agar bisa mencapai targetnya. "Target (inflasi) sebesar dua persen sekarang ini benar-benar di luar jangkauan," jelas Taro Saito, ekonom NLI Research Institute, beberapa waktu lalu.

Diragukan

Beberapa analis meragukan langkah yang telah diambil Gubernur BOJ Haruhiko Ku roda. Mereka juga masih menyangsikan per nyataan Kuroda yang menjamin kebijakan ini bakal membuat bank-bank bisa lebih mudah memberikan dana pinjaman kepada perusahaan-perusahaan. Mereka masih ingat dengan prediksi Kuroda yang sering meleset dengan kenyataan.

Saat menjadi gubernur pada Maret 2013, Kuroda berjanji akan menahan inflasi pada angka 2,0 persen dalam dua tahun. Dalam wak tu cepat, dia mampu mengoleksi dana se besar 211 triliun yen atau setara dengan 1,742 triliun dolar AS yang kebanyakan dalam ben tuk obligasi pemerintah. Jumlah ini setara de ngan 40 persen produk domestik bruto (PDB). Namun, muncul masalah karena sangat sedikit uang terkumpul tersebut yang mampu menggerakkan roda ekonomi Jepang. Ter catat 90 persen dana ternyata balik lagi ke BOJ sebagai dana cadangan bank.

Pada Desember 2013, BOJ menargetkan inflasi inti sebesar 0,1 persen untuk semua item, kecuali untuk makan segar. Bank Sentral Jepang kemudian menunda target pencapaian angka inflasi sebesar 2,0 persen pada Maret-Oktober 2017. Meski waktunya diundurkan, tampaknya Kuroda belum bisa mencapai target angka inflasi sebesar itu sampai Maret 2018.

Inilah yang membuat analis ragu langkah Kuroda efektif dan terbukti di lapangan. Namun, Kuroda menyalahkan jatuhnya harga minyak mentah dunia sebagai biang kegagalan pihaknya mencapai target tersebut. Inflasi seluruh item, kecuali makanan segar dan energi hanya tercapai sebesar 0,8 persen. Pinjaman bank pun tidak stagnan. Fakta nya, terkadang bukan bank yang menolak memberikan pinjaman. Akan tetapi, sering per usahaan-perusahaan dan konsumen justru tidak membutuhkan dana pinjaman dari bank.

Perusahaan yang menghadapi kesulitan, termasuk mengalami masalah penjualan, tak terlalu tertarik dengan pinjaman bank. Mere ka tak mempunyai rencana untuk mengembangkan kapasitas. Meski masih bisa meraih profit, mereka tak mampu berinvestasi atau menambah investasi meski dari luar. Sering terjadi kesenjangan antara arus kas perusahaan dan investasi hingga angka 6,0 persen dari PDB. Karena itulah, jika perusahaan ingin berinvestasi, mereka justru mengambil dari modal sendiri.

Itulah fakta kegagalan Kuroda. Dia tak mampu membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan standar hidup. Selama 2,5 tahun Kuroda menjadi orang nomor satu di BOJ, rata-rata pertumbuhannya hanya 0,6 persen. Target peningkatan PDB Jepang pun bisa tak tercapai pada periode Oktober-Desember 2015.

Faktanya, upah riil turun 0,9 persen pada 2013, bahkan penurunannya lebih tinggi lagi menjadi 2,8 persen pada 2014. Dalam 11 bulan pertama 2015, upah riil masih menu run meski sebesar 0,9 persen.

Tidak mengherankan, hasil sebuah jajak pendapat yang dilakukan Nikkei pada Januari lalu menunjukkan 49 persen responden tidak percaya dengan Abenomics (ekonomi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Shinzo Abe). Sementara, hanya 27 persen responden yang masih optimistis dengan Abe.

Untuk mengembalikan kepercayaan, perlu solusi yang terintegrasi. Tim Abe-Ku roda harus merealisasikan janji mereka, ter utama menyangkut tiga pilar utama Abeno mics, yaitu stimulus moneter, stimulus fiskal, dan reformasi struktural. Masalahnya, Abe telah menerapkan stimulus moneter, tetapi tak berbarengan dengan dua pilar lainnya.

Inflasi menjadi sangat penting karena menjadi salah satu kunci utama pemulihan ekonomi Jepang. Harga rendah yang berlaku selama lebih dari dua dekade di Jepang berdampak pada upah yang lebih rendah. Pada gilirannya membuat warga Jepang lebih sulit untuk membayar kembali utang mereka. Memang di sisi lain, inflasi juga memba wa keuntungan. Terkait dengan utang ini, in flasi rendah menurunkan nilai utang peme rin tah yang sudah lebih dari 200 persen dari PDB.

Jepang ingin angka inflasi yang lebih besar karena dampak ikutannya lebih besar. Tapi, mencapai target 2,0 persen saja sulit se kali. Apalagi, ekonomi negara ini ternyata menghadapi masalah yang lebih kompleks. Hingga kini, Jepang juga masih menghadapi neraca perdagangan yang negatif. Artinya, Jepang menghadapi pukulan berat dari berbagai sisi. Inilah yang membuat pemerintah dan bank sentral kebingungan memperbaiki ekonomi.

Berdasarkan data Kementerian Jepang, sejak 2011 negara ini memang selalu menga lami defisit neraca perdagangan. Bahkan, ang kanya menunjukkan tren yang mening kat. Pada 2011, defisitnya baru 2,6 triliun yen setelah nilai ekspornya hanya 65,6 triliun yen, sedangkan nilai impor 68,1 triliun yen. Lalu, pada 2012 Jepang mencatat defisit neraca perdagangan yang lebih besar lagi, sebanyak 6,9 triliun yen karena nilai ekspornya 63,7 triliun yen, sedangkan impor 70,7 triliun yen.

Defisit neraca perdagangan pada 2013 naik nyaris dua kali lipat dari tahun sebelumnya, mencapai 11,5 triliun yen. Angka ini mun cul sebagai akibat dari nilai impor yang mencapai 81,2 triliun yen, sementara angka ekspor nya lebih rendah, sebesar 69,8 triliun yen. Pa da 2014, angka defisit neraca perdagangannya melonjak lagi menjadi 12,8 triliun yen (ekspor 73,1 triliun yen, impor 85,9 triliun yen).

Menurut Menteri Keuangan Jepang Akira Amari, defisit neraca perdagangan membesar karena nilai ekspor ke Cina dan Amerika Serikat merosot. Dampak langsungnya, de fisit neraca perdagangan ini membuat kontraksi PDB. PDB makin terpengaruh karena belanja publik pun merosot.

Sepertinya, bayang-bayang ekonomi suram masih akan terjadi di Jepang. Negara ini sulit terlepas dari belenggu ekonomi. Mung kinkah masalah di negara ini sangat kompleks? Bisa jadi benar. Buktinya, pada 2014 lalu Jepang masih menduduki peringkat teratas dalam daftar Indeks Kompleksitas Ekonomi (ECI) dengan nilai sangat tinggi, sebesar 2,209021.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement