Jumat 15 Jan 2016 15:00 WIB

Cina dan Perekonomian Global 2016

Red:

Perekonomian Cina, tak pe lak lagi dikatakan sebagai yang terbesar dunia jika meng ukurnya dengan memperhatikan kuantitas produksi barang dan jasa. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan kegiatan perekonomian di Cina mengambil porsi 18 persen dari kegiatan perekonomian dunia selama 2016. Secara umum, Cina memang masih tercatat sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS).

Porsi sebesar itu tentu saja membuat kesehatan perekonomian Cina bisa sangat berdampak pada perekonomian di hampir semua negara di dunia. "Cina terbukti sudah menjadi pendorong utama pertumbuhan perekonomian global selama sekitar 15 tahun. Tapi sekarang tidak lagi, apalagi sekarang belum terlihat perencanaan perekonomian yang pasti untuk 15 tahun ke depan," ungkap ekonom LPL Financial, John Canally seperti dikutip Associated Press. Menurutnya investor tidak memiliki data atau gambaran bagaimana pemerintahan Cina mengelola perekonomian.

Itu berarti apapun yang terjadi dalam perekonomian Cina jelas tidak bisa dipandang sebelah mata. Financial Times melansir penghitungan menurunnya pertumbuhan ekonomi Cina dari 10 persen pada 2010 menjadi hanya 6,3 persen ditargetkan tahun ini bakal menekan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,75 persen. Dam paknya tentu saja ke hampir semua ne gara di dunia. Maury Obstfeld, chief ekonom di IMF memperkirakan efek penurunan pertumbuhan ekonomi Cina itu akan terasa pada 2016 ini. Salah satu pertanyaan yang muncul, di sektor apa saja perekonomian Cina berdampak pada perekonomian global.

Sektor perdagangan dan nilai tukar adalah salah satunya. Meski impor Cina tetap tumbuh tapi dengan penurunan target pertumbuhan ekonomi, jelas bisa memangkas pertumbuhan eskpor negaranegara yang sangat bergantung pada permintaan Cina antara lain minyak mentah dan mesin-mesin industri. Negara tetangga dengann jaringan suplai yang terintegrasi seperti Jepang dan Korea Selatan akan terkena dampaknya. Di Eropa, Jerman sebagai produser barang-barang modal bagi Cina juga terdampak. Begitu pula dengan negara-negara yang mengandalkan komoditas seperti Australia.

Sebaliknya, sebagai negara eksportir ter besar dunia, Cina juga akan bergantung pada kondisi perekonomian dunia untuk mampu menjaga kemampuan dan daya saing eks por nya. Dan salah satu caranya adalah de ngan melakukan depresiasi renminbi (yuan). Pekan lalu, Reuters melansir depresiasi yuan mencapai terbesar dalam lima bulan terakhir, yang berujung pada rontoknya pasar modal dunia di perdagangan awal tahun.

People Bank of China, bank sentral Ci na membiarkan yuan terdepresiasi sam pai lima persen terhadap dolar AS sejak Agus tus tahun lalu. Reuters juga mengutip sumber yang tidak disebut identitasnya yang menyebut ada tekanan untuk terus mendepresiasi yuan di kisaran 10 persen sampai 15 persen. Upaya depresiasi tersebut diprediksi tidak serta merta mampu mendorong ekspor Cina lantaran permin taan global juga melemah. Tapi, yang pasti, depresiasi tersebut justru memicu kekha watiran lain, yaitu kesehatan per ekono mian Cina dan perang mata uang dunia.

Kekhawatiran terhadap kesehatan perekonomian Cina itulah yang sesungguhnya juga ditengarai menjadi salah satu pemicu makin merosotnya harga minyak dunia. Saat ini, harga minyak mencapai titik terendah selama sebelas tahun terakhir, di bawah 33 dolar AS per barel. Terus menurunnya harga minyak dunia, yang berujung pada tertahannya harga komoditas lain, sudah menempatkan Rusia dan Brazil di ambang resesi. Bahkan sektor keuangan di negara-negara Teluk yang kaya minyak mulai merasakan dampaknya.

Sejumlah faktor tadi, mulai yuan yang terus melemah dan menjadikan harga ba rang Cina lebih kompetitif, harga komo ditas yang terus menurun dan menurunnya permintaan dunia, sampai melambatnya per eko nomian Cina, diprediksi bermuara pada berkurangnya tekanan terhadap inflasi dunia sekaligus memicu kekhawatiran deflasi global dan gagal bayar utang. Na mun kekha watiran ini dianggap terlalu ber lebihan. Pasalnya, di banyak kasus, rendah nya inflasi justru memberi ruang bagi pemangku kebijakan guna melonggarkan kebijakan mone ter. Di sisi lain, tingkat harga yang rendah juga mampu mendongkrak daya beli konsumen sekaligus meningkatkan permintaan.

Transisi Ekonomi

Sejumlah kekhawatiran dan pandangan skeptis terhadap prediksi pertumbuhan ekonomi dunia jelas tegas muncul dari apa yang terjadi di Cina. Bahkan kondisi perekonomian Cina diperkirakan memicu ketidakpastian yang bermuara pada resesi global pada tahun ini.

"Mata seluruh dunia kini fokus pada per kembangan yang terjadi di Cina," ungkap Armando Monteiro Neto, Menteri Pem bangunan dan Perdagangan Brasil, dikutip Sydney Morning Herald. Armando menegaskan Brasil sudah mulai merasakan dam pak penurunan pertumbuhan ekonomi Cina. "Jika situasinya memburuk, maka dam paknya mungkin lebih besar," tambahnya.

Banyak kalangan analis ekonomi dunia menilai kebijakan yang diambil pemerintah Cina cukup membingungkan. Bahkan kebijakan yang sudah diambil dianggap men cer minkan kalau sebenarnya perekonomian Cina lebih buruk dibanding target pertumbuhan ekonomi di kisaran tujuh per sen. Pandangan skeptis pun bermu nculan. Ekonom Citigroup, Willem Buiter, menga takan pemerintah Cina tidak mengambil tindakan memadai terkait reformasi ekono minya terutama guna mencegah resesi. Willem memperkirakan pertumbuhan ekonomi Cina hanya di kisaran empat sampai lima persen.

Pandangan lebih optimis muncul dari Michael Hasenstab, kepala investasi Templeton Global Macro. Perekonomian Cina memang sedang memasuki tahap kritis, namun Hasenstab meyakini Cina tidak akan kolaps dan tetap memiliki kekuatan perekonomian. Hasenstab memang mengakui mesin pertumbuhan tradisional seperti manufaktur, real estate, dan belanja pemerintah memang terkontraksi. "Tapi mesin pertumbuhan baru juga muncul seperti pertumbuhan sektor jasa dan gene rasi baru sektor swasta. Dalam jangka pen dek mungkin saja terkesan sangat rapuh, tapi kami optimistis Cina akan mencapai keseimbangan baru pertumbuhan ekono mi," ungkap Hasenstab dikutip The Star.

Sebaliknya, Hasenstab justru menjelaskan analisis jangka panjang terkait situa si ekonomi Cina memperlihatkan kalau sekarang ini bukanlah saatnya panik. "Secara keseluruhan, fundamental ekono mi Cina masih cukup stabil. Kami percaya pemerintah Cina memiliki instrumen lengkap dan kekuatan finansial guna menghadapi perlambatan perekonomiannya sekaligus menjaga pertumbuhan di kisaran enam sampai tujuh persen," paparnya.

Lantas apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam perekonomian Cina? Mohamed A. El-Erian, kepala penasehat ekonomi Allianz menyebutkan dalam pa parannya di website World Economic Fo rum, setelah krisis finansial global pada 2008 dan proses pemulihan di negara maju yang kurang menggembirakan, memunculkan desakan agar Cina melakukan pergeseran (transisi) model pertumbuhan ekonominya. Setelah bertahun-tahun mengandalkan investasi dan ekspor bagi pertumbuhan ekonomi, Cina merasa perlu pula mengubah model pertumbuhan ekonomi yang lebih mengandalkan konsumsi domestik. Menjalani proses transisi seperti itu tanpa menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi jelas sangat sulit. Tantangan justru semakin besar bagi negara sekompleks Cina.

Terkait itu, jelas El-Erian, pemerintahan Cina terus berusaha memperluas kepemilikan modal bagi masyarakat Cina. Masalahnya, seperti yang terjadi ketika pada 2008 Amerika Serikat memperluas kepemilikan properti yang berujung pada krisis, kebijakan yang diterapkan Cina pun berlebihan. Kredit murah, booming properti serta dislokasi permodalan dalam skala besar, yang justru memicu ketidakstabilan sektor keuangan.

Akibatnya, tantangan penyesuaian dan transisi motor pertumbuhan ekonomi Cina menjadi lebih besar. Apalagi di sisi lain, ba nyak perusahaan Cina tidak mampu lagi meningkatkan volume ekspor demi meno pang kapasitas produksi. Pereko nomian Cina kehilangan mesin-mesin penting bagi pertumbuhan ekonomi; tenaga kerja dan upah tenaga kerja. Sementara beban kredit (utang) terus membesar. Dalam upaya me ngamankan masyarakat Cina dari dampak kebijakan-kebijakan yang sudah diambil, pemerintah Cina pun menempuh jalan mendevaluasi yuan. Tujuannya tak lain me nguatkan daya saing produk Cina di pasar ekspor sekaligus mengakselerasi impor.

Menurut El-Erian, yang juga menduduki posisi Chairman dari Global Deve lop ment Council untuk Presiden AS Barack Oba ma, devaluasi mata uang yang dilaku kan Cina sesungguhnya sesuai dengan apa yang dilakukan negara berkembang dan negara maju dalam beberapa tahun terakhir. Setelah krisis keuangan global, AS menerapkan ekspansi kebijakan moneter dengan tingkat bunga mendekati nol persen sehingga melemahkan dolar AS dan mendorong ekspor. Bank Central Eropa juga mengadopsi pendekatan serupa, menuntun pelemahan euro sebagai upaya mendorong kegiatan ekonomi domestik. Hanya saja, ketika Cina mendevaluasi yuan, justru memunculkan risiko ketidakstabilan keuangan global. Pasar khawatir devaluasi yuan justru 'mencuri' pertumbuhan ekonomi negara yang memiliki utang luar negeri besar dan bergantung pada kekuatan cadangan devisa.

Mickey Levy, ekonom di Americas dan Asia Berenberg Capital Markets LLC, melihat kondisi di Cina dari sisi berbeda. Levy menyebutkan setelah bertahun-tahun mengalami pertumbuhan ekspor tinggi, saat ini mulai mengalami penurunan. Sedangkan konsumsi domestik terus mengalami pertumbuhan. Masyarakat Cina mulai mengalami peningkatan daya beli cukup signifikan akibat kenaikan pendapatan dan tingginya bunga simpanan. Dalam economics21.org, portal ekonomi Manhat tan Institute for Policy Research, Levy me maparkan kondisi di Cina tersebut diperkirakan terus menopang konsumsi domestik.

Pemerintah Cina diprediksi terus memberikan stimulus bagi peningkatan konsumsi dan permintaan domestik. Transisi model pertumbuhan ekonomi di negeri tirai bambu itu akan terus berlangsung meski harus terbentur-bentur. Senada dengan Levy, El-Erian juga melihat proses transisi ekonomi Cina akan terus berlangsung dengan tetap menempatkan kepentingan domestik sebagai pertimbangan utama.

El-Erian berpendapat akan tiba saatnya di mana Cina mampu menyeimbangkan kepentingan domestik dan kepentingan perekonomian global. Tapi bukan seka rang. Ya, transisi model pertumbuhan eko nomi Cina memang akan mencapai keseimbangan baru, 'new normal'. Dalam prosesnya, mungkin saja, Cina menghadapi benturan dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi global. Dan ketidakpastian situasi dan kondisi perekonomian Cina yang berimbas ke banyak negara boleh jadi merupakan satu-satunya kepastian dalam perekonomian global 2016. Bersiaplah. Oleh Agung P Vazza 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement