Senin 28 Dec 2015 19:32 WIB

SMK Masih Hadapi Tantangan

Red: operator

Oleh Rakhmat Hadi Sucipto

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Muhammad Fikri Ardiansyah mengaku ma sih ku rang mendapat kan porsi praktikum di se kolahnya. Siswa kelas 11 SMKN 1 Bulakamba, Brebes, Jawa Tengah, ini mungkin memang sa ngat haus akan ilmu. Dia tidak sabar me lahap semua mata pelajaran, termasuk porsi prak tikumnya, yang masih tersisa satu tahun lagi.

Karena hobi otomotif, Fikri pun memilih jurusan teknik kendaraan ringan (TKR). Dia pantas bersyukur karena di sekolah yang berdiri di lahan seluas 2,0 hektare tersebut, seluruh sarana dan prasarana praktikum tersedia sangat lengkap. Jangankan untuk praktik kendaraan roda dua, sebagai praktik kendaraan roda empat pun tersedia. Ada beberapa mobil yang bisa dipakai sebagai bahan praktik.

Sementara, untuk praktik roda dua pun tersedia cukup banyak kendaraan dengan standar industri. "Kami rutin dinilai dan diverifikasi karena sudah mendapatkan sertifikat, seperti sebuah bengkel resmi sepeda motor Honda," ungkap Kepala Sekolah SMKN 1 Bulakamba, Slamet Riyadi, kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Fikri menilai rasio siswa dengan fasilitas prak tikum sangat seimbang. Siswa pun tak per lu antre atau menunggu saat jadwal prak ti kum. "Peralatan sangat mendukung," katanya.

"Kalau ada masalah kendaraan bermotor roda empat, saya juga sudah bisa mengatasinya. Kalau ada mobil mogok, bisalah saya memperbaikinya," ujar Teti Puspitasari, siswa kelas 11 TKR lainnya, tak mau kalah dengan Fikri.

Jurusan teknik kendaraan ringan atau biasa dikenal dengan jurusan otomotif, saat ini tak hanya monopoli laki-laki. Cukup banyak siswa perempuan di SMKN 1 Bulakamba yang terjaring masuk ke jurusan TKR. "Penjurusan di sini memang harus melalui tes," kata Teti.

Siswa perempuan di SMK YPT Kota Tegal juga cukup banyak, termasuk yang mengambil jurusan otomotif. Wiwin Lukiwati, Ajeng Anggi Pratiwi, dan Nur Fauziyah termasuk yang beruntung bisa masuk jurusan TKR. Maklum, jurusan ini dianggap favorit ketimbang jurusan lainnya.

Kebanyakan siswa tak menyangka mereka bisa mendapat pendidikan soft skill dan hard skill. Lebih beruntung lagi, mereka mendapatkan sentuhan budaya industri langsung dari pelaku industri.

Tapi, apakah lulusan SMK benar-benar siap masuk ke dunia kerja, terutama di sektor industri? Benarkah lulusan SMK lebih siap masuk dunia kerja ketimbang rata-rata anakanak lulusan SMA?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kualitas lulusan SMK belum terlalu menggembirakan. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) penduduk usia 15 tahun dari lulusan SMK ternyata jauh lebih tinggi ketimbang lulusan SMA. Pada Agustus 2015 saja, TPT lulusan SMK mencapai 12,65 persen, se mentara lulusan SMA 10,32 persen. Bahkan, angka pengangguran SMK menunjukkan tren meningkat dari tahun ke tahun.

Pada Agustus 2013, TPT SMK masih 11,21 persen. Lalu, pada bulan yang sama 2014 ang kanya naik menjadi 11,24 persen. Pada Agustus 2015 lalu, angkanya naik lagi men jadi 12,65 persen.

Dibandingkan dengan tamatan lainnya, pengangguran dari kelompok SMK tertinggi. TPT lulusan SD sangat kecil, hanya 2,74 per sen pada Agustus 2015. Lalu, pengangguran SMP 6,22 persen, sementara SMA 10,32 persen. Pengangguran dari lulusan diploma I/II/III mencapai 7,54 persen, sedangkan universitas 6,4 persen.

Lalu, apa yang menyebabkan pengangguran dari kelompok lulusan pendidikan SMK lebih tinggi dibandingkan kelompok lain nya, khususnya dibandingkan dengan SMA? Alas an jumlah lulusan SMK lebih banyak ketimbang SMA jelas tak masuk akal. Berdasarkan data BPS, jumlah murid SMK masih lebih sedikit ketimbang anak-anak SMA.

Pada 2013/2014 saja, jumlah murid SMK di seluruh Indonesia tercatat 4.199.657 orang, sedangkan siswa SMA mencapai 4.292.288. Artinya, pada periode tersebut jumlah siswa SMA lebih banyak 92.631 orang dibandingkan murid SMK. Dengan kata lain, rasio siswa SMK dengan SMA masih 49:51 persen.

Apakah kualitas, termasuk karakter, kompetensi, serta kecepatan adopsi, adaptasi, dan transfer pengetahuan anak-anak lulusan SMA jauh lebih baik ketimbang SMK? Yang pasti, kesempatan anak-anak SMA menimba ilmu dan knowledge transfer bisa lebih efektif karena rasio guru dengan siswa jauh lebih kecil. Dalam proses pendidikan dan pembelajaran di SMA, satu guru menghadapi 15 siswa pada 2013/2014 lalu, sementara di SMK satu guru harus melayani 23 siswa.

Mungkinkah anak-anak SMA lebih ba nyak terserap ke pendidikan yang lebih tinggi se hingga angka pengangguran dari lulusan ke lompok ini jauh lebih rendah ketimbang lu lusan SMK? Sepertinya alasan ini cukup masuk akal karena mayoritas anak-anak SMA berorientasi melanjutkan ke pendidikan tinggi, ter utama ke universitas-universitas. Se mentara, selama ini muncul anggapan kebanyakan anak yang masuk SMK berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka masuk ke SMK karena ingin cepat mendapatkan pekerjaan demi membantu dan menopang ekonomi keluarga.

Pada saat yang sama, anak-anak lulusan SMK tak hanya bersaing mendapatkan pekerjaan dengan sesama lulusan SMK, tetapi juga ha rus berhadapan dengan tamatan SMA. Faktanya, banyak pekerjaan di level sekolah menengah ini tak terlalu membutuhkan keahlian khusus.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Tegal Her lien Tedjo Oetami menilai, tingkat penganggur an terbuka lulusan SMK lebih tinggi dibandingkan SMA karena banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi ekonomi di Tanah Air yang masih lesu membuat banyak perusahaan tak bisa bergerak secara leluasa. Yang tidak tahan akhirnya mengambil langkah PHK. Ironisnya, banyak perusahaan, khususnya di industri, yang mengandalkan tenaga kerja dari lulusan SMK.

Menurut Direktur Pembinaan SMK Ke men terian Pendidikan dan Kebudayaan Mus tagh firin Amin, pada 2015 ini jumlah siswa SMK sudah melampaui SMA. Jumlah siswa SMK mencapai 4,4 juta, sementara SMA 4,3 juta.

Mustaghfirin tetap yakin lulusan SMK jauh lebih tangguh ketimbang SMA. Mental siap bekerja tamatan SMK sudah terbentuk. Ini berbeda dengan siswa SMA yang harus melanjutkan ke perguruan tinggi. Tahun 2015 saja ada 2,8 juta peserta ujian SMA/ MA/ SMK. Masalahnya, apakah semuanya bisa ter tampung di perguruan tinggi negeri (PTN)? "Kan tidak mungkin. Makanya, SMK menjadi solusinya," ujarnya beberapa waktu lalu.

Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) menilai, masih tingginya tingkat pengangguran lulusan SMK karena kualitas dan daya saing mereka masih rendah. Menurut Ketua BNSP Sumarna F Abdurrahman, ada kesenjangan dalam pembelajaran di sekolah dan saat magang dengan dunia kerja nyata. Solusinya, pemerintah harus menyesuaikan kurikulum SMK dengan standar yang dikembangkan industri.

Kurikulum SMK, jelas Sumarna, belum mencerminkan mutu yang diharapkan dunia industri karena keterbatasan peralatan. Ketika siswa magang, mereka menggunakan teknologi standar yang berbeda dengan teknologi di industri.

Bila pemerintah belum mampu memperbaiki kurikulum atau meningkatkan kualitas siswa secara langsung, peran industri menjadi solusi yang paling ampuh. SMK perlu bermitra dengan industri, apalagi bila industri bisa terlibat langsung dalam dunia pendidikan. Jika ada industri yang mau membantu SMK, termasuk melalui program corporate social responsibility (CSR) atau bahkan membantu secara langsung dengan merancang kurikulum SMK, pemerintah harus memberi insentif kepada industri tersebut berupa keringanan pajak.

Mengapa harus berharap dari industri? Sepertinya, sangat sulit mengandalkan kemampuan pemerintah untuk menggenjot kualitas lulusan SMK dalam waktu singkat. Peran swasta, terutama dari pelaku industri, menjadi kunci yang paling efektif untuk menggenjot daya saing mereka. Industri bisa secara cepat meningkatkan kualitas dan kompetensi lulusan SMK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement