Senin 30 Nov 2015 15:00 WIB

Hukum Adat Kami tidak Bisa Diakali

Red:

Oleh: PRIYANTONO OEMAR 

Pos ronda dengan kentongan yang masih ada di Kaluppini menunjukkan masih adanya kebersamaan. Jika ada bala an (bahaya/bencana), misal, ada kebakaran, ada pencuri, ada kecelakaan yang membutuhkan bantuan orang banyak, kentongan itu dibunyikan dengan rentetan pukulan.

"Tapi, alhamdulillah sekarang sudah tidak lagi dipukul karena ada bala an," jelas Kepala Desa Kaluppini Suhardin.

Kini, kentongan di pos ronda itu lebih sering dipakai untuk mengumpulkan warga jika ada kegiatan gotong royong atau undangan pertemuan (sipulung). "Dipukulnya tiga kali terlebih dulu baru disusul dengan pukulan rentetan," ujar Suhardin.

Namun, untuk undangan pertemuan, kini tak melulu mengandalkan kentongan. Beberapa pertemuan menggunakan SMS sebagai pemberitahuan karena sudah banyak warga Kaluppini yang memiliki telepon genggam. Untuk mengumpulkan anak-anak muda yang akan menjemput rombongan tamu dengan sepeda motor, pemberitahuan juga disampaikan lewat penyebaran SMS.

Belum tuntasnya pengecoran jalan membuat mobil dari Enrekang tidak bisa masuk sampai desa berpenduduk seribuan jiwa dari 300-an keluarga itu. Masih ada sekitar dua kilometer lagi perjalanan ke Kaluppini yang disambung dengan menggunakan sepeda motor.

Dengan sepeda motor pula saya harus mencapai hutan liang dan rumah adat dan masjid di atas bukit. Di kampung-kampung, ada juga masjid, tapi khusus untuk shalat Jumat dan musyawarah adat mingguan yang bisa diikuti warga untuk tanya jawab soal keagamaan, masjid di atas bukit inilah yang dipakai. Upacara Pangewaran yang digelar delapan tahun sekali, rangkaian acaranya juga diawali di halaman masjid itu selepas shalat Jumat.

"Sudah beberapa pertemuan, ada pemangku adat yang tak bisa hadir di masjid karena sudah tidak kuat berjalan karena faktor usia dan jarak yang cukup jauh," ujar Abdul Halim, pemangku adat yang menjabat posisi imam. Yang bersangkutan mengajukan pengunduran diri, tapi belum disetujui.

Masyarakat Kaluppini beragama Islam. Praktik keislamannya dekat praktik keislaman NU. Masjid sudah ada di setiap dusun yang ada di lima desa yang menjadi wilayah masyarakat adat Kaluppini. Sebelas di antaranya sudah menyelenggarakan shalat Jumat. Khatib Jumat masih meletakkannya dengan memegang tongkat, dengan khutbah Jumat menggunakan bahasa Arab. "Meski Islamnya kuat, masyarakat adat Kaluppini masih kuat juga menjalankan adat," jelas Bupati Enrekang Muslimin Bando.

Muslimin menyebut, 95 persen masyarakat Kabupaten Enrekang adalah Muslim (80 persennya adalah Muhammadiyah). Data ini berkebalikan dengan data kabupaten tetangga, Tana Toraja, yang 95 persen warganya non-Muslim.

Keadaan ini, menurut Muslimin, membuat Enrekang memiliki toleransi yang sangat tinggi, termasuk toleransi terhadap adat. Tarik-menarik antara adat dan agama tidak  mencolok, kendati banyak juga yang sudah tidak menjalankan adat di rumah tangga.

Kaluppini menjadi contoh yang tepat untuk komunitas adat yang masih menjalankan adat dengan kuat, tapi sekaligus menjalankan ajaran Islam. Nilai-nilai adat mereka mengandung nilai-nilai Islam.

 

Upacara kematian yang disebut rombusolo (di Tana Toraja disebut rambusolo), misalnya, dimulai dari malam ketiga, ketujuh, malam kelipatan tujuh. Ritualnya adalah kenduri dengan bacaan doa-doa Islam. "Kaluppini sarat dengan ritual agama dan adat," jelas Halim.

Dalam setiap acara adat selalu ada makan bersama, dengan makanan yang dimasak bersama-sama pula. "Dalam segala hal, kalau dengan tujuan acara ritual atau kendurian perorangan sudah pasti akan dikerjakan secara bersama," ujar Halim.

Dalam Islam diajarkan, ibadah jamaah mendapat nilai lebih tinggi di mata Allah. Begitulah masyarakat Kaluppini menjaga kebersamaan itu, tak hanya dalam ritual ibadah agama, tapi juga dalam ibadah sosial.

Bagaimana Islam bisa mewarnai kegiatan adat masyarakat Kaluppini? Tak ada jawaban yang pasti mengenai hal itu. Masyarakat Kaluppini mempunyai ujaran. Joo to pasallangngi na sallang, joo to passadai na sada. "Artinya, tak ada yang mengislamkan, Islam sendiri. Tak ada yang mensyahadatkan, syahadat sendiri," jelas Halim.

Mereka Islam sejak lahir. Islam dan adat di Kaluppini berjalan beriringan. Di luar 13 ritual adat tahunan, masyarakat Kaluppini juga merayakan Isra Mi'raj, Maulud Nabi, dan sebagainya. "Di hari Lebaran, warga mengadakan kenduri selama satu minggu di rumah masing-masing," ujar Halim.

 

Acara pernikahan yang digelar warga di gedung pertemuan juga menggabungkan adat dan agama. Siang ada acara adat, malam harinya acara pernikahan itu diisi dengan khataman Quran.

 

Untuk acara-acara begini, hiburan organ tunggal sudah masuk Kaluppini. Jika acara pernikahan di gedung pertemuan, akan ada organ tunggal di lapangan depan gedung pertemuan itu. Tetapi, tenggang rasa perlu dikedepankan. Saat acara pernikahan di balai pertemuan sedang berlangsung sesi khataman Quran, di lapangan organ tunggal tetap berlangsung.

Tenggang rasa, menurut Halim, perlu dikedepankan agar tidak memunculkan konflik. Perkembangan zaman menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Kaluppini. "Kita tak tahu perkembangan ke depannya nanti seperti apa, tetapi kerja sama dan kebersamaan masyarakat masih sangat tinggi sehingga aturan-aturan adat masih bisa dipertahankan," ujar Suhardin.

Dalam kehidupan sehari-hari pun mereka juga masih mengindahkan adat. Untuk urusan bercocok tanam misalnya, di lembaga adat mempunyai Pande Tanda yang bertugas membaca tanda-tanda di langit sebagai pertanda pergantian musim. Penentuan awal Ramadhan dan hari Lebaran juga mengandalkan Pande Tanda yang melihat hilal. Menurut Halim, perhitungan hilalnya sama dengan perhitungan NU.

Masyarakat Kaluppini membagi tahun dalam dua bagian. Ada periode enam bulan yang dinamai tahun bobo, ada periode enam bulan yang dinamai tahun ba'tan. "Tahun bobo atau tahun padi adalah masa untuk tanam padi di sawah dan tahun ba'tan atau tahun jawawut adalah waktu tanam palawija," jelas Halim.

Pada tahun bobo ada sembilan ritual yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Tomakaka dan jajarannya. Pada tahun ba'tan ada empat ritual yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Ada' dan jajarannya.

Masyarakat adat Kaluppini memiliki lembaga adat Parallu Sa'pulo Tallu (13 yang Utama). Lembaga ini beranggotakan empat orang pemangku adat tertinggi di Tau A'pa, empat pemangku adat di Pabicara, dua Paso, dua Bilala, dan satu Pande Tanda.

 

Pemimpin adat Tomakaka dan Ada' serta pemimpin agama Khali dan Imam merupakan empat pemangku adat tertinggi di Tau A'pa. Tau A'pa dibantu empat Pabicara, yaitu Tomatua Pabicara Pondi, Tomatua Pabicara Lando, Katte Pabicara Pondi, dan Katte Pabicara Lando. Mereka dibantu oleh dua Paso, dua Bilala, dan satu Pande Tanda.

Dewan pengawasnya bernama Tomassituru, bertugas mengangkat/memberhentikan anggota Tau A'pa sekaligus mengawasinya. Anggotanya delapan orang. Untuk keamanan adat, ada lembaga yang bernama Pitu Lorong, beranggotakan tujuh orang.

Semangat kebersamaan

Jika ada masalah, pantang bagi masyarakat Kaluppini membawa ke polisi sebelum melewati jalur adat. "Sampai di saya pun hampir tidak pernah, apalagi ke polisi," ujar Suhardin.

Menurut Suhardin, ada kekuatan internal masyarakat adat Kaluppini untuk selalu menjaga kebersamaan. Polisi dan babinsa datang di Kaluppini bukan karena ada konflik, melainkan karena harus membantu penyuluhan di bidang pertanian. "Memalukan jika ada konflik harus polisi yang menanganinya," ujar dia.

Kebersamaan benar-benar menjadi ruh masyarakat Kaluppini. Acara adat sebanyak 13 kali dalam setahun adalah perwujudan dari kebersamaan itu. Dari 13 acara tahunan itu, empat di antaranya merupakan acara keagamaan. Di luar itu tradisi pernikahan dan kematian juga membutuhkan kebersamaan.

"Dalam segala hal, baik itu tujuannya acara ritual maupun kendurian perorangan, sudah pasti akan dikerjakan secara bersama," jelas Halim.

"Jika ada acara pernikahan, misalnya, warga menyumbang segala sesuatu semampu mereka," kata Suhardin menambahkan.

Karena kebersamaan itu pula, adat melarang masyarakat Kaluppini menjual nasi. Mereka boleh menjual padi/jawawut/jagung/beras/jagung pipil, tetapi tidak boleh menjual nasi (nasi beras/nasi jawawut/nasi jagung). Menjual nasi bagi masyarakat Kaluppini dianggap mengurangi rasa solidaritas.

Orang membeli beras tujuannya tentu saja ada banyak, termasuk misalnya untuk dijual lagi. Karena itu, menjual beras tidak dilarang. Menurut Halim, jika ada yang datang di Kaluppini untuk membeli nasi, jelas tujuannya untuk dimakan.

 

"Jadi, kalau ada orang lapar, masyarakat Kaluppini seharusnya menunjukkan solidaritasnya dengan cara memberinya makan, bukan menjual nasi kepada yang lapar itu," jelas Halim.

Kebersamaan itulah yang membuat masyarakat Kaluppini memilih hukum negara di urutan paling akhir dalam penyelesaian masalah yang muncul di Kaluppini. Suhardin bercerita, pada Selasa (10/11) ia sempat didatangi polisi. Polisi itu datang karena ada saudaranya dari Kaluppini yang sudah tinggal di kota mempunyai masalah tanah di Kaluppini. Ia datang untuk menyelesaikan masalah itu.

 

Oleh Suhardin, polisi itu pun diminta pulang karena sesuai aturan adat kasus akan ditangani internal adat terlebih dulu. Dibawa ke kepala desa pun belum, jadi tak mungkin polisi ikut campur. Kasus itu masih ditangani secara adat di kelembagaan adat paling rendah. "Polisi itu menerima penjelasan saya," ujar dia.

Di tingkat paling bawah, ada Ambe' yang akan menyelesaikan kasus-kasus yang muncul di masyarakat. Jika di tingkat Ambe'tak bisa diselesaikan, baru kemudian dibawa ke jenjang lebih atas. Jika tak bisa diselesaikan lagi, akan dibawa ke tingkat lebih atas lagi. Jika di kelembagaan adat tak bisa diselesaikan, baru kemudian dibawa ke kepala desa. Dan, jika di kepala desa juga tak bisa diputuskan, baru ke polisi.

Pemutus masalah sebelumnya akan lebih banyak mendengar. Begitu ia membuat keputusan, yang mempunyai kasus harus menerimanya. Pembuat keputusan adalah pemangku adat di bidang agama.

"Karena pemangku adat di bidang agamalah yang juga mendapat tugas menyembelih hewan, memutus nadi hewan, maka ia juga yang memutus masalah," jelas Ahmad Paguling, pemangku adat dengan jabatan Katte Pabicara Pondi, pembantu utama Khali, yang juga mempunyai tanggung jawab menjadi khatib shalat Jumat dan khatib shalat Idul Adha.

Di Kaluppini, hukum dipisahkan dari ikatan keluarga. Menurut Ahmad, dalam pelaksanaan hukum adat di Kaluppini, tak ada anak, tak ada orang tua, dan tak ada saudara. Pemangku adat yang anggota keluarganya terkena masalah tak boleh terlibat untuk membahas penyelesaian masalah itu. "Dia harus melepaskan jabatannya untuk sementara sampai masalah itu diselesaikan di lembaga adat," ujar Ahmad.

Melepaskan jabatan sementara juga dilakukan ketika pemangku adat berhalangan cukup lama. Misalnya, orang itu harus berpergian atau sedang sakit. "Sebelum pergi harus memberi tahu dalam musyawarah adat mingguan, lalu meletakkan jabatan sementara alias cuti," ujar Halim.

Saat ini, Halim tengah berada di Malaysia karena mendapat undangan dari masyarakat Kaluppini di Malaysia. "Jumat besok saya akan memberi tahu di musyawarah adat bahwa saya harus meletakkan jabatan sementara karena Sabtu harus ke Malaysia. Tiga minggu di sana," ujar Halim, Kamis (12/11).

Bagaimana mungkin mereka masih disiplin menjalankan hukum adat? Menurut Ahmad, aturan adat mereka sudah membuat kehidupan mereka berjalan lebih baik. "Bagaimana mungkin kami meninggalkannya? Jika hukum negara bisa diakali, hukum adat kami tidak," jawab Ahmad.

Ukuran baik bagi mereka tidaklah dilihat dari materi. "Adat kami mengajarkan, kalau berdoa, doa kami untuk seluruh masyarakat di dunia, bukan hanya untuk kami. Kami di sini tetap miskin tidak apa, asal dunia sejahtera," kata Suhardin menambahkan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement