Jumat 27 Nov 2015 15:00 WIB

Perang Nuklir di Depan Mata

Red:

Kawasan maritim Laut Cina Selatan (LCS) yang kaya energi menjadi sengketa antara Cina dan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, serta Brunei. Cina mengklaim, hampir 90 pesen kawasan maritim itu berdasarkan peta kuno yang mereka miliki. Namun, negara-negara lain yang bersengketa menolak klaim itu.

Ketegangan semakin memanas ketika Amerika Serikat (AS) ikut campur untuk menentang klaim Cina. AS setidaknya telah mengirim kapal perang USS Lassen untuk bermanuver di wilayah yang berjarak 12 mil laut dari pulau buatan Cina di Kepulauan Spratly, LCS.

AS berdalih, kawasan LCS merupakan kawasan internasional sehingga pesawat dan kapal AS berhak bernavigasi setiap saat. Namun, Cina menilai manuver kapal perang AS itu sebagai provokasi dengan dalih kebebasan navigasi.

Presiden Cina Xi Jinping pada Sabtu (7/11/2015) mengungkapkan sikapnya dengan cara lembut untuk penyelesaian konflik, tapi tegas untuk melindungi kedaualatan dan hak maritim Cina.

Ketika berbicara di Universitas Nasional Singapura, Xi Jinping mengatakan, sengketa wilayah di LCS harus diselesaikan secara damai, yakni melalui perundingan. "Hak berlayar atau terbang tidak jadi masalah dan tidak akan menjadi masalah karena Cina membutuhkan kebebasan di LCS," lanjut dia, seperti dikutip Reuters.

Menurutnya, meskipun ada beberapa pulau, di mana Cina memiliki kedaulatan yang telah diduduki oleh negara lain, Cina selalu berkomitmen untuk memecahkan masalah itu dengan negosiasi damai. "Cina berkomitmen untuk bekerja dengan negara-negara itu secara langsung untuk memecahkan masalah sengketa atas dasar penghormatan fakta-fakta sejarah, menurut hukum internasional dan melalui diskusi serta negosiasi."

Xi menegaskan bahwa Cina memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas kawasan LCS.

Pengamat dari Institut Politik Ekonomi Amerika Serikat Paul Craig Roberts mengatakan, kondisi keamanan dunia semakin mencemaskan karena dipicu keinginan Negeri Paman Sam untuk menjadi negara hegemoni di dunia.

"Gedung Putih berusaha mengadang pengaruh negara-negara bersenjata nuklir seperti Rusia dan Cina," kata mantan asisten Kementerian Keuangan Amerika itu, seperti dilansir Russian Today, beberapa waktu lalu.

Penulis sejumlah buku, seperti How America Was Lost itu mengatakan, propaganda dan agresi terang-terangan Amerika semakin membuat Rusia dan Cina yakin bahwa Washington menginginkan perang. Kondisi itu juga kian memperkuat hubungan Rusia dan Cina.

Perayaan Peringatan Hari Kemenangan Perang Dunia Kedua pada 9 Mei lalu di Moskow, misalnya, memperlihatkan eratnya hubungan Rusia dan Cina. Presiden Xi Jinping duduk bersebelahan dengan Presiden Vladimir Putin menyaksikan parade militer di Lapangan Merah.

Menurut Roberts, kondisi saat ini seolah-olah harga dari perdamaian dunia adalah menerima hegemoni Amerika. Hal itulah yang kebanyakan diterima oleh negara di Eropa, seperti Jerman dan Prancis, serta Kanada, Jepang, dan Australia. Namun, Rusia dan Cina jelas tidak mau menerima itu.

"Jika perekonomian Amerika tidak merosot dan Eropa tidak berani memutus hubungan dengan Washington dan mengedepankan kebijakan luar negeri yang lebih independen, misalnya keluar dari NATO, perang nuklir tampaknya akan jadi masa depan umat manusia," kata dia.

Gelar kekuatan

Penerbangan yang dilakukan pesawat pengintai Amerika Serikat membuat ketegangan di LCS kembali meningkat. Dengan kondisi siaga, militer Cina memerintahkan agar pesawat tersebut pergi meninggalkan LCS.

Pemerintah Cina segera menggelar konferensi pers dan menyebut militer dari Negeri Paman Sam mencoba mengamati kekuatan militer Cina dari dekat. Rusia yang merasa terganggu dengan kehadiran AS di lautan tersebut, akhirnya turut menerjunkan kapal perangnya.

Bagaimana kekuatan militer kedua negara jika terjadi bentrok di Laut Cina Selatan?

Cina terus memperkuat militernya dengan berbagai modernisasi. Tak hanya melakukan pembelian alat utama sistem senjata (alutsista), Negeri Tirai Bambu ini juga membuat beberapa peralatan tempurnya, terutama pesawat udara dan kapal laut.

Di atas laut, kekuatan Cina semakin digdaya dengan kehadiran kapal induk kelas Kuznetsov yang diberi nama Liaoning. Kapal buatan Uni Soviet ini mampu mengangkut 30-40 jet tempur dan mulai berdinas di AL Cina sejak 2012 lalu.

Kapal Induk Liaoning diperkuat dengan mesin berkekuatan 20 ribu tenaga kuda. Saat berlayar, kapal ini bergerak dengan kecepatan 32 knot atau 59 km per jam dan menempuh perjalanan sejauh 3.850 mil laut atau 7.130 km.

Untuk mendukung kekuatan udaranya di kawasan tersebut, Liaoning dapat mengangkut sejumlah pesawat terbang, khususnya buatan negeri sendiri. Di antaranya, 24 unit pesawat tempur Shenyang J-15, 6 unit helikopter Changhe Z-18, 4 unit helikopter Ka-31, dan 2 unit helikopter Harbin Z-9.

Cina juga memiliki kapal tempur jenis frigat yang jumlahnya mencapai 47 unit, kapal destroyer 25 unit, dan kapal jenis korvet 23 unit. Sedangkan, kapal selam yang dimiliki Cina berjumlah 65 unit. Setengah dari kapal selam tersebut ditugasi untuk mengawasi laut selatan, termasuk LCS.

Sementara, AS memiliki dua unit armada laut pasifik, yakni Armada Ketiga dan Armada Ketujuh. Namun, untuk urusan pengamanan di LCS, Asia Tenggara, dan sebagian besar Samudra Hindia dipegang sepenuhnya oleh Armada Ketujuh.

Armada Ketujuh AS ini bermarkas di Yokosuka, Jepang, berkekuatan 60 sampai 70 kapal perang, 300 pesawat tempur, dan 40 ribu personel Angkatan Laut dan Korps Marinir. Kekuatan utama armada ini terletak pada Kapal Induk USS George Washington, kapal nuklir kelas Nimitz yang mampu membawa 90 unit pesawat tempur dan helikopter.

Mesin penggerak USS George Washington terletak pada dua unit reaktor nuklir Westinghouse A4W yang mampu memberikan tenaga pendorong hingga 260 ribu tenaga kuda. Kecepatan yang dihasilkannya mencapai lebih dari 30 knot atau 56 km per jam. Dengan tenaga nuklir tersebut, kapal ini dapat berkeliling dunia selama 20-25 tahun nonsetop tanpa perlu mengganti bahan bakar.

Saat berada di lautan, kapal ini dikawal sejumlah kapal perang lainnya, antara lain, kapal USS Antietam, USS Shiloh, Skuadron Penghancur ke-15, USS Curtis Wilbur, USS John S McCain, USS Fitzgerald, USS Stethem, USS Lassen, USS McCampbell and USS Mustin, serta sebuah kapal selam nuklir USS City of Corpus Christi, ditambah kapal komando USS Blue Ridge.

Belum ada yang tahu bagaimana akhir dari penyelesaian konflik di LCS, termasuk jika kekuatan raksasa berperang di balik jendela wilayah Indonesia. dari berbagai sumber.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement