Selasa 06 Oct 2015 12:00 WIB

Dibutuhkan Afirmasi Perempuan

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Dibutuhkan Afirmasi Perempuan

Tak heran bila kemudian perempuan yang maju dalam pencalonan pilkada adalah mereka yang memiliki akses ke parpol, kekerabatan politik, serta kuat secara ekonomi. 

Dalam sejumlah kasus pe ngu sungan calon yang akan maju pada pilkada ataupun calon anggota legislatif (caleg), sebagian besar parpol masih menge depankan popularitas, sumber dana, serta keterkaitan sang calon dengan elite atau pejabat parpol. Hal ini bisa dipahami sebagai usaha parpol untuk mendapatkan suara pemilih sebanyak-banyaknya.

Kualitas sang calon mungkin menjadi no mor dua. Jalan pintas yang paling gam pang tentu dengan merekrut figur-figur populer, seperti pengusaha, selebritas, keluarga pejabat papol, ataupun pejabat peme rintah. Selain diyakini memiliki jaringan yang luas, orang-orang ini juga memiliki sumber dana yang cukup kuat.

Aturan main dalam pencalonan sebagaimana tercantum UU Pilkada membuat para calon harus mencari kendaraan partai untuk maju sebagai kandidat. Ini tentu memberatkan kalangan perempuan yang memiliki kompetensi untuk menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah. Di sisi lain, aturan main di internal partai yang tidak transparan dan membuka peluang lobi-lobi politik hingga memungkinkannya politik uang, akan meminggirkan perempuan- perempuan yang punya potensi namun tak memiliki akses pada elite parpol dan tak memiliki sumber-sumber kekuatan ekonomi.

Tak heran bila kemudian perempuan yang maju dalam pencalonan pilkada adalah mereka yang memiliki akses ke parpol, keke rabatan politik, serta kuat secara ekonomi. Hasil pemetaan yang dilakukan oleh Per kumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait pelaksanaan Pilkada 2015 secara serentak pada 9 Desember nanti, menunjukkan perempuan calon kepala dan wakil kepala daerah yang mempunyai hubung an kekerabatan dengan elite cukup signifikan. Dari 54 orang calon kepala daerah, 21 orang berasal dari jaringan ke kerabatan (38,89 persen) dan dari 62 orang calon wakil kepala daerah, 8 orang berasal dari jaringan kekerabatan (12,90 persen).

Menurut Perludem, dalam pernyataan pers Ahad, 13 September lalu, fakta itu mencerminkan sempitnya basis rekrutmen partai. Perem pu an jadi perpanjangan kuasa dari para elite politik. Pilihan partai mencerminkan masih kuat nya dominasi oligarki dalam internal partai. Pi lihan partai pada orang yang mempunyai hu bungan keke rabatan berpotensi me langgengkan politik dinasti dan politik transaksional. Fenomena kekerabatan juga cenderung membuka intervensi politik dan menghilangkan otonomi perempuan akibat adanya pertalian dengan elite politik berkuasa.

Selain mereka yang memiliki akses ke elite partai dan klan politik, sebagian besar perempuan yang maju dalam pencalonan di pilkada adalah mereka yang memiliki akses pada kekuasaan dan birokrasi. Beberapa di antara mereka adalah incumbent (petahana) yang tentunya sudah dikenal luas, punya sumber kekuatan ekonomi, serta akses ke birokrasi.

Dengan modal tersebut, partai politik tergiur untuk menerima pinangan atau bahkan meminang perempuan yang sukses berkarier di jalur birokrasi untuk maju sebagai calon yang mereka usung dalam pil kada. Contoh mutakhirnya adalah du kung an pencalonan terhadap Tri Rismaharini, petahana wali kota Surabaya.

Dari pemetaan Perludem dapat dilihat, sebanyak 19 dari 54 perempuan (35,19 per sen) mencalonkan diri sebagai kepala dae rah. Ke-19 orang tersebut terdiri dari 11 orang mantan wakil bupati/walkot dan 8 orang mantan bupati/wali kota. Perempuan petahana menjadi kontestan karena telah mempunyai modal sosial dan kapital yang ia konsolidasikan saat menjabat. Ia mempunyai posisi strategis di eksekutif dan dari posisi itu ia juga bisa mendapat modal kapital.

Kedua kecenderungan itulah yang menyadarkan kita bahwa masih betapa sulitnya bagi kalangan perempuan untuk maju dalam pencalonan di pilkada. Dalam proses penjaringan saja, mereka sudah harus berhadapan dengan lobi-lobi politik yang beraroma politik uang.

Padahal, seharusnya partai politik menjadi pangkal dari rekrutmen calon pemimpin yang berkualitas tanpa harus terjebak pada pe rilaku kedekatan klan politik dan akses pada sumber-sumber kekuatan ekonomi. 

Perlu afirmasi 

Dibutuhkan afirmasi perempuan di lingkungan internal partai dalam menjaring calon yang akan diusung dalam pilkada. Ini dimaksudkan agar perempuan-perempuan yang memiliki kompetensi untuk duduk di jabatan tertinggi eksekutif daerah yakni kepala daerah/wakil kepala daerah bisa terjaring. Pada akhirnya akan meningkatkan kualitas kebijakan yang diambil dalam membangun masyarakat setempat.

Masykuruddin Hafidz dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) berpandangan, untuk mendorong partai mencalonkan perempuan, penting menerapkan kebijakan afirmasi, di mana setiap partai harus mencalonkan 30 persen pe rem puan dari total seluruh calon yang di usung dalam pilkada serentak. Hal ini juga mendorong partai melakukan kaderisasi pe rempuan agar tersedianya calon yang memiliki elektabilitas dan kualitas yang baik.

Menurut rilis Perludem, UU Nomor 8/2015 tak mengenal kebijakan khusus untuk mengusung calon perempuan. Tidak ada hak istimewa bagi perempuan seperti kebijakan afirmasi di pemilu legislatif. Ditambah lagi, pilkada yang digelar satu putaran akan membuat persaingan semakin ketat dan menyulitkan keterpilihan perempuan yang jumlahnya sudah sedikit.

Padahal, perempuan masih membutuhkan afirmasi di pencalonan eksekutif, terutama pilkada. Sebab, pilkada jadi ruang strategis menegosiasikan pro gram atau kebijakan yang berpihak pada pe rempuan. Regulasi di tatanan daerah berupa peratur an daerah sering kali justru menjadi ancaman terhadap perempuan.

Perludem menilai, mendorong perempuan men jadi kepala daerah bisa ditempuh melalui dua jalur: partai maupun perseorangan. Maka, afirmasi juga mesti diterapkan pada dua jalur ini.

Ditambahkan Perludem, afirmasi pe rem puan di struktur pengurus harian partai perlu dido rong. UU partai politik perlu menyebutkan se cara eksplisit bahwa kepengurusan partai po litik perlu memperhatikan keterwakilan pe rempuan sekurang-kurang nya 30 persen. Ini penting agar kaderisasi kepemimpinan pe rempuan terus berjalan sejak di internal partai.

Dengan menempatkan perempuan di kepengurusan, perempuan akan belajar perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan di internal partai. "Sehingga, ketika perempuan maju di pencalonan kepala daerah, perempuan sudah teruji kualitasnya dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan."

Di jalur perseorangan, UU No 8/2015 ternyata juga mempersulit orang di luar partai ikut pilkada sebagai calon perseorangan, khususnya perempuan. Regulasi ini menambah syarat dukungan KTP penduduk daerah pemilihan, dari 3 sampai 6,5 persen ke 6,5 sampai 10 persen. Menurut Perludem, bentuk afirmasi perempuan di jalur perseorangan bisa ditempuh dengan mempermudah syarat dukungan bagi perempuan yang maju melalui jalur perseorangan.

"Mempermudah syarat dukungan bisa dilakukan dengan dua cara: pertama mengurangi syarat dukungan hingga 30 persen dari total dukungan yang harus dikum pulkan dan kedua memperpanjang waktu pengumpulan dukungan,"sebut Perludem.

Formasinya berlaku untuk pasangan yang calon kepala daerah perempuan yang berpasangan dengan calon wakil kepala daerah lelaki, berlaku juga untuk pasangan yang calon kepala daerah lelaki yang berpasangan dengan calon wakil kepala daerah perempuan, dan berlaku juga untuk pasangan yang calon kepala daerah perempuan dan wakil kepala daerah perempuan.

Lebih lanjut, sebut Perludem, mendorong keterlibatan perempuan di dalam pilkada tentunya juga perlu bergerak dari hanya membuka kesempatan pencalonan menjadi membuka kesempatan untuk memenangkan kompetisi pilkada.

Dalam kondisi partai politik Indonesia sekarang ini, sekali lagi, kebijakan afirmasi di internal partai sangat dibutuhkan oleh perempuan untuk masuk dalam proses pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah. Tanpa ini, perempuan makin sulit bersaing untuk mengisi jabatan-jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement