Jumat 02 Oct 2015 17:41 WIB

Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem: Konsep Kolom Kosong Sama dengan Putusan MK

Red: operator

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Apa pendapat Perludem tentang putusan MK?

Antara aklamasi dan kontestasi ada tiga pilihan. Kalau calon tunggal ini, sesuai yang ada sekarang, mengikuti keputusan KPU untuk menunda pilkada; kedua, mengako modasi calon tunggal, tapi aklamasi; ketiga, calon tunggal tapi tetap ada proses kontestasi. Nah, karena putusan MK tetap menjamin kontestasi atau pemungutan suara berlang sung, saya kira MK sudah bisa mener jemahkan dengan baik pemaknaan kedaulatan rakyat dan perlindungan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih dalam sebuah pilkada yang demokratis.

Yang patut diapresiasi dari putusan MK ini adalah logika MK yang menge de pankan tiga hal. Pertama, konsistensi pada penerapan prinspi kedaulatan rak yat. Kedua, proteksi hak pilih, baik hak me milih dan dipilih yang meru pakan hak konstitusional warga negara. Ketiga, menjawab kekosongan hukum yang tidak tersedia dalam UU No 8/2015.

Jadi, saya kira putusan MK sudah tepat. Tinggal tantangannya ke depan bagaimana KPU sebagai implementor pilkada mener jemahkan putusan MK dalam peraturan teknis yang bisa dilaksa nakan dengan baik di lapangan. Perludem awalnya mengusul kan ko lom kosong atau bumbung kosong…

Meskipun pada awalnya Perludem me ngusulkan kolom kosong, sama seperti yang di usulkan Effendi Ghazali, tapi kalau dari sisi konsepsi dan filosofi, apa yang diputuskan oleh MK tidak jauh berbeda. Bedanya, kalau kolom kosong menggunakan konteks ketidakset ujuan pemilih terhadap calon tunggal de ngan kolom kosong, sedangkan putusan MK menggu nakan tulisan "setuju" dan " tidak setuju."

Apa alasan Perludem dulu meng u sul kan kolom kosong atau bum bung ko song?

Alasannya sederhana, karena sudah ada praktiknya di tingkat desa. Jadi sesuatu yang sudah biasa. Kedua, kalau dibuat tertulis, kelompok-kelompok yang buta aksara, tidak bisa baca tulis, akan sulit menandai bahwa mereka punya pilihan berbeda.

Tapi, secara gagasan sebenarnya sama. Baik kolom kosong maupun kepu tusan MK sama-sama memberi ruang kepada pemilih untuk memberikan keti daksetu juan atau penolakan calon tunggal atau hak untuk tidak setuju atau right to dissent. Kalau dia milih kolom ko song, itu kan berarti dia tidak me nyetujui calon tunggal. Itu sama dengan memilih tidak setuju seperti putusan MK. Jadi, secara konsep dan filosofi saya kira MK me mutus sama dengan yang kami usulkan.

Secara teknis mana yang lebih mu dah dilaksanakan, bumbung kosong atau plebisit seperti putusan MK?

Kalau secara teknis, KPU memang perlu ikhtiar lebih untuk melaksanakan putusan MK, antara lain untuk memas tikan bahwa orang tahu bahwa kalau dia setuju coblosnya di kolom setuju, dan kalau dia tidak setuju coblosnya di kolom tidak setuju. Dan, bagi orang yang tidak bisa baca tulis atau penyan dang disabilitas, untuk memahaminya lebih membutuhkan upaya ketimbang kolom kosong. Kolom kosong ini kita usulkan kare na pertimbangan teknis saja sebenarnya: coblos calon atau coblos kolom kosong kalau tidak setuju. Yang perlu dipastikan oleh KPU, bisa jadi orang kalau setuju bukan mencoblos ke kolom setuju, tapi mencoblos foto calon tunggal. Nah, varian-varian cara memberikan suara secara sah itu yang kemudian harus diperhatikan juga oleh KPU.

Surat suara paslon tunggal se baik nya tidak usah meminta pe milih me nulis 'setuju' atau 'tidak setuju' ya…

Sebaiknya jangan. Pertama kita harus pahami ada orang yang tidak bisa baca tulis. Karena itu, dalam putusan MK sudah jelas, dengan modifikasi surat suara, ada foto calon, dan ada kolom setuju dan tidak setuju. Bayangan saya sih, tulisan setuju dan tidak setuju itu sudah tercetak di surat suara, dan pemilih tinggal mencoblos. Jadi tata cara pemberian suara tetap mencoblos, karena metode coblos tidak dikoreksi.

Bagaimana dengan kemungkinan peng gunaan simbol-simbol seperti V untuk setuju dan X untuk tidak setuju?

Bisa jadi, tapi caranya harus memudahkan. Kalau MK kan memu tuskan dengan bahasa ditulis setuju dan tidak setuju. Bisa saja nanti KPU melengkapi dengan simbol-simbol yang memudahkan, atau nanti KPU memberi kemudahan, misalnya kalau orang tidak mau ribet langsung mencoblos ke foto calon tunggal, itu sama dengan setuju. Bumbung kosong atau kolom kosong ternyata lebih simple… Ya, memang lebih mudah kolom kosong, hehehe. Harun Husein

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement