Kamis 30 Jul 2015 14:00 WIB

Sejarah Kawasan Indonesia Timur Minim Kajian

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Didik Pradjoko, lahir 14 Juni 1969 di Surabaya. Setelah cukup lama menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Program Studi Sejarah Universitas Indonesia, pada akhir Ramadhan silam, Didik berhasil menuntaskan jenjang pendidikan tingkat doktornya dengan judul “Kerajaan Larantuka dan Politik Kolonial Belanda: Dinamika Politik Lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor, dan Timor Barat 1851-1859”.

Disertasi tersebut berhasil dipertahankan dalam sidang senat terbuka para guru besar di Univertas Indonesia serta mendapat predikat kelulusan sangat memuaskan. Dalam disertasi ini Didik menulis hal baru yang selama ini luput dari perhatian sejarawan, yakni sejarah tentang kawasan timur Indonesia, yakni seputaran kawasan Nusa Tenggara Timur.

Dalam wawancara ini Didik berbicara banyak mengenai motif penulisan disertasi dan tantangan penulisan sejarah kawasan timur Indonesia. ''Penelitian lebih jauh sejarah lokal di wilayah-wilayah tersebut diharapkan semakin dapat menguak dinamika politik lokal kawasan itu hingga pada akhirnya dapat memberikan sumbangan historiografi dalam penulisan sejarah Indonesia secara komprehensif,'' kata Didik Pradjoko.

****

Apa yang menjadi dasar sehingga Anda memutuskan menulis disertasi mengenai soal Kerajaan Larantuka berupa dinamika politik lokal di kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor, dan Timor Barat 1851-1915?

Latar belakang ketertarikan saya terhadap peran Kerajaan Larantuka dinamika politik lokal di kawasan Flores Timur, kepulauan Solor dan Timor Barat adalah hasil telaah lebih jauh dari penelitian tesis magister saya tentang sejarah pelayaran dan perdagangan di kawasan Laut Sawu pada abad ke-18 hingga abad ke-19.

Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa Kerajaan Larantuka memainkan peranan penting dalam perebutan hegemoni politik dan ekonomi bersaing dengan Belanda (VOC), kerajaan lokal di sekitarnya, dan juga terkadang dengan Portugis. Perdagangan kayu cendana menjadi komoditas yang diperebutkan oleh mereka.

Dalam cerita tradisi lisan (tutu usu maring asa) yang saya temukan dari beberapa sumber, terutama yang dikumpulkan oleh Yoseph Yapi Taum (1997), dikisahkan raja pertama Kerajaan Larantuka, yaitu Raja Patigolo Arakiang yang “pergi berlayar untuk berperang, berperang demi cendana”.

Selain itu ada juga kisah tentang ekspansi para panglima perang (capitao da mor) kaum Portugis Hitam (Topas) yang berpusat di Larantuka juga menarik untuk diamati. Mereka pada awalnya bertugas untuk Portugis, tetapi perkembangan selanjutnya para Topas menjadi para panglima perang Kerajaan larantuka dan juga pada akhirnya membangun dinasti politiknya di wilayah Timor Barat, yaitu di Lifao, Oikussi, dan Noimuti.

Dari latar belakang inilah saya ingin meneliti lebih jauh tentang Kerajaan Larantuka pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Apakah benar bila sampai sekarang ini sejarah kawasan Indonesia timur “terasa gelap”? Mengapa situasi ini sampai terjadi?

Sejarah Indonesia adalah sejarah Jawa? Perkataan itulah yang mengemuka hingga tahun 2000-an, beberapa buku sejarah Indonesia, misalnya yang ditulis oleh MC Ricklefs, sangat dominan mengulas sejarah Jawa. Sedangkan bagian luar Jawa, apalagi Indonesia timur, sangat minim sekali dikaji sejarahnya.

Hal ini disebabkan karena sejak awal kolonial Belanda menjadikan Pulau Jawa sebagai pusat dari koloninya sehingga sumber-sumber arsip tentang Jawa sangat melimpah, sedangkan Indonesia bagian timur baru diperhatikan pemerintah kolonial sejak pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20, meski VOC sendiri sudah memiliki benteng-bentengnya di sana sejak awal abad ke-17.

Dalam disertasi Anda menyebut soal fenomena seteru dan sekutu di dalam proses politik di Kawasan Flores Timur itu. Lalu, apa maksudnya itu? Bagaimana hingga situasi menjadi seperti itu?

Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya atau kedaulatannya, sebuah negara atau kerajaan akan melakukan strategi agar dapat survive menghadapi pesaingnya (competitornya), untuk itulah politik sekutu-seteru dilakukan. Politik sekutu adalah upaya sebuah kerajaan menjalin aliansi dengan kerajaan atau kekuatan politik yang dianggap menguntungkan karena dapat dijadikan sekutu yang sewaktu-waktu membantunya dalam menghadapi kekutan seterunya.

Maka dalam hal ini seteru adalah pihak musuh atau pesaing yang dianggap dapat mengurangi kedaulatannya dengan serangan-serangannya terhadap wilayah teritorialnya. Dalam dinamika politik pada kurun sesudahnya, politik sekutu dan seteru dapat berubah sesuai dengan kebijakan pihak-pihak yang melakukannya.

Apa yang membuat Portugis dan Belanda berebut wilayah itu? Apakah semata soal berebut hasil alam, atau juga terkait dengan semangat kolonial Eropa yang berjargon gold, glory, dan gospel itu?

Kedatangan Portugis ke wilayah kepulauan Flores, Solor, dan Timor awalnya sebagai daerah transit pelayaran dari Malaka menuju Maluku. Namun, karena di wilayah ini juga menghasilkan komoditas yang laku dalam perdagangan internasional, yaitu kayu cendana, kuda, madu, lilin lebah, asam, dan berbagai komoditas lainnya, membuat Portugis tertarik membangun koloninya di sana.

Namun, pelayaran orang Portugis memang juga tidak terlepas dengan semangat penyebaran agama Katolik (gospel) sehingga misionaris Dominikan membangun gereja dan perbentengan di Lohayong, Solor sekitar tahun 1560-an. Mereka melakukan Kristenisasi di wilayah tersebut. Hal ini ditentang oleh kerajaan-kerajaan Muslim yang sudah berdiri sebelumnya, yaitu Lamakera, Trong, Adonara, dan Lamahala, sehingga sering terjadi konflik.

Nah, Belanda yang sudah hadir di Flores dan sekitarnya sejak tahun 1613 dengan merebut benteng Solor dari Portugis juga ingin membangun koloni  dagang bagi perdagangan kayu cendana dan komoditas perdagangan lainnya. Kehadiran Belanda ini kemudian diperkuat dengan pendirian Benteng Concordia di Kupang pada 1653. Alhasil, sampai abad ke-18, konflik antara belanda dan Portugis terus berlangsung, kekuatan yang dominan muncul saat itu adalah dari kalangan Portuigis hitam yang berpangkalan di larantuka, Lifao, Oikussi dan Noimuti.

Setelah terjadi proses konflik panjang apa yang membuat Portugis kalah dan kemudian dapat disingkirkan oleh Belanda ke luar dari wilayah itu?

Kekalahan Portugis di Timor Barat, lebih diakibatkan oleh konfliknya dengan kekuatan Portugis Hitam, sehingga sejak akhir abad ke-18, kekuasaan portugis dipindahkan dari Lifao ke Dili di Timor bagian timur. Namun, pada sisi lain, kelemahan Portugis juga disebabkan lemahnya kekuatan armada Portugis sejak abad ke-17-18, sementara armada VOC memiliki kekuatan yang sangat kuat pada masa itu, hal tersebut yang membuat Portugis banyak kehilangan koloninya yang diambil alih oleh VOC atau Belanda.

Kemudian apa yang terjadi di kerajaan lokal selama masa konflik persaingan itu?

Kerajaan lokal di kawasan Flores Timur, kepulauan Solor dan Timor Barat mengalami polarisasi dalam percaturan politik pada masa itu. Kerajaan Muslim “Lima Pantai” yang diketuai Kerajaan Adonara menjalin persekutuan dengan VOC untuk menghadapi Kerajaan Larantuka dan kekuatan Portugis Hitam. Sedangkan, Kerajaan Larantuka bersekutu dengan Portugis untuk menghadapi Kerajaan Muslim dan VOC. Di wilayah Timor barat, sebagian kerajaan lokal di sekitar benteng VOC bersekutu dengan belanda, sebagian kerajaan bersekutu dengan Portugis dan Portugis hitam.

Salah satu penguji disertasi Anda menyebutkan bahwa konflik di kawasan tersebut terindikasi juga sebagai lanjutan persaingan di Perang Salib. Apakah Anda sepakat bila konflik di sana juga terkait dengan peristiwa itu?

Profesor Helius Sjamsuddin dengan melihat fakta-fakta yang ada memang menyebut adanya Perang salib di Wilayah tersebut. Namun, saya sebagai sejarawan belum menjumpai atau ada catatan yang menyebut akan hal tersebut. Meskipun begitu, kenyataan di lapangan pada saat itu memang terjadi konflik antara Kerajaan Larantuka, Portugis, dan Portugis Hitam yang para pendukung kekuatan tersebut beragama Katolik, sedangkan seterunya adalah kerajaan Muslim “Lima Pantai”.

Beberapa catatan juga menunjukkan bahwa para pastur Ordo Dominikan memang memiliki pasukan atau tentara bersenjata api yang lengkap dan bahkan ikut menjalankan bisnis perdagagan cendana. Pasukan dari pendeta S Jacinto inilah yang ikut dalam penaklukan Lifao di Timor Barat.

Apa dampak konflik itu bagi kehidupan masyarakat dan kerajaan lokal?

Konflik yang terjadi di kawasan Flores Timur dan Kepulauan Solor sangat dipengaruhi oleh Mitos konflik Demon-Paji. Dua orang kakak beradik di masa lalu yang berkonflik akibat memperebutkan calon istri. Konflik ini menimbulkan perang di antara keturunan Demon dan keturunan Paji. Perang ini dalam bahasa Lamaholot dikenal dengan ohang belone atau dalam bahasa Melayu Adonara dikenal dengan perang tikar bantal (a  war of sleeping met and pillow).

Kajian Erst Vatter tahun 1930-an dengan cara mewawancarai banyak narasumber di Flores Timur, Solor, dan Adonara telah menunjukkan bahwa mitos konflik tersebut masih sangat kental diingat dalam memori warga dan bahkan tidak jarang menjadi sumber dari konflik. Kerajaan Larantuka yang penduduknya beragama Katolik mewakili masyarakat keturunan Demon, sedangkan Kerajaan Muslim “Lima Pantai” mewakili penduduk Muslim keturunan Paji.

Apa dampak dari konflik itu yang terasa sampai sekarang? Apakah juga terkait dengan pembelahan kawasan Pulau Timor masa kini, yakni adanya Timor Lorosae dan Timor Indonesia?

Konflik masih sering terjadi di kawasan tersebut terutama dalam kasus pilkada atau perang antar desa, namun membutuhkan penelitian lebih lanjut apakah mitos tersebut masih melekat dalam memori masyarakat atau tidak. Dan, terkait munculnya Timor Portugis dan Timor Belanda, hal ini lebih diakibatkan adanya politik pasifikasi (penaklukkan ) oleh Belanda sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Ini ditandai dengan beberapa perjanjian yang dilakukan antara Belanda-Portugal sejak perjanjian 1851, 1859, 1899, hingga 1904 dan arbitrase di Paris tahun 1913. Perjanjian inilah yang kemudian menghasilkan daerah-daerah yang menjadi wilayah Portugis dan wilayah Belanda, termasuk keberadaan kantung Oikussi atau Ambeno di Timor Barat yang menjadi milik Portugis.

Pelajaran apa yang bisa dipetik generasi masa kini atas dinamika politik dan konflik di kawasan seputaran Flores Timur itu?

Secara umum dapat diambil pelajaran bahwa penulisan sejarah lokal di wilayah Nusa Tenggara Timur harus terus digalakkan terutama oleh para sejarawan Indonesia, baik juga oleh penulis lokal. Dengan semakin jelasnya sejarah lokal suatu kawasan akan memberikan pengetahun dan informasi masa lalu yang dapat diambil hikmahnya untuk membangun kawasan tersebut di masa depan, terutama dalam sektor kebudayaan dan mentalitas. Diharapkan masyarakat lokal semakin memahami apa yang terjadi di wilayahnya sendiri.

Setelah disertasi ini ditulis, apakah masih ada tantangan yang harus dijawab ketika hendak menulis kembali sejarah politik kerajaan lokal di itu, yakni kawasan Kepulauan Timor dan Solor?

Kajian sejarah politik di kawasan tersebut masih menyisakan banyak persoalan dan tantangan. Ada begitu banyak negeri-negeri atau kerajaan dan kawasan yang belum tuntas diteliti baik di wilayah Flores, Kepulauan Solor, Alor Timor, Roti, dan Sumba. Belum lagi daerah lain yang masih berdekatan dengan kawasan Pulau Sumbawa di barat dan Pulau Wetar, Kepulauan Tanimbar di timur.

Selain itu pekerjaan rumah tentang dinamika politik lokal dan kedudukan raja-raja sejak 1915 hingga berakhirnya Pemerintah Belanda tahun 1942 menjadi menarik untuk dikaji,terutama sejauh mana para raja dan bangsawan lokal di wilayah tersebut terlibat mendukung pergerakan nasional yang anti-Belanda atau justru malah mendukung kekuasaan Belanda.

Selain itu, kajian peran bangsawan lokal pada masa pendudukan Jepang dan respons mereka terhadap kemerdekaan Indonesia dan revolusi juga merupakan penelitian yang dapat dilakukan selanjutnya, bahkan, sampai diberlakukan UU sistem pemerintahan 1962 yang menghapuskan kekuasaan dan sistem kerajaan swapraja Indonesia.muhammad subarkah 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement