Kamis 30 Jul 2015 13:00 WIB

Berebut Kuasa Menyebar Agama

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Berebut Kuasa Menyebar Agama


Setelah tersulut konflik karena ada mitos ohan belone (perang-bantal), politik 'sekutu dan seteru' juga menyulut konflik yang dipicu penyebaran ajaran keagamaan. Di Kerajaan Larantuka (berkat adanya perjanjian antara Portugis Belanda di tahun 1959) penyebaran agama Kristen (terutama Katolik) kala itu sudah mulai mapan.

Namun di wilayah lain, terutama di wilayah kerajaan “Lima Pantai” yang penduduknya menganut agama Islam, situasinya berbeda. Penyebaran agama yang dianut orang Portugis dan Belanda tak bisa berlangsung mulus. Hal yang sama juga terjadi di pedalaman di mana penduduknya masih menganut kepercayaan lama, yakni menyembah Dewa Lera-Wulan dan Dewa Tana Ekon. Penyebaran agama yang dilakuan oleh kaum misonaris ini mendapatkan hambatan yang serius. Bahkan kerap kali menuai konflik atau aksi kekerasan.

Untuk mengatasinya, sekaligus juga sebagai tindak lanjut penghormatan Belanda terhadap penduduk Katolik di Flores Timur dan Kepulauan Solor dan juga sesuai dengan perjanjian antara Portugis dan Belanda tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia Belanda akhirnya mengirimkan misi Katolik Belanda ke Larantuka. Tujuan misi ini adalah untuk membina penduduknya yang beragama Katolik.

Hasilnya pun menggembirakan. Setelah melalui berbagai proses pendekatan pihak misi Katolik akhirnya punya kedekatan emosional dengan keluarga Kerajaan Larantuka yang secara tradisional pada saat itu sudah mendapat status sebagai pelindung penduduk Katolik dan memimpin upacara keagamaan seperti Natal dan Paskah. Bukan hanya itu, bagi raja Larantuka peran sebagai pemimpin upacara keagamaan ini juga dianggap sebagai bukti dari pengakuan atas eksistensi kekuasaannya.

Anehnya, meskipun sudah menjadi Katolik dan memimpin upacara keagamaan seperti Natal dan Paskah, tapi pada saat itu Raja Larantuka masih kerap mencampurkan adukan ritual ibadahnya dengan tradisi Katolik peninggalan Portugis dan kepercayaan lokal yang menyembah Dewa Lera Wulan dan Tana Ekan itu. Maka misi Katolik Belanda pun kemudian dikirimkan ke wilayah itu untuk melenyapkan tindakan bid’ah tersebut karena dinilai merupakan perbuatan kaum “kafir”.

Tak cuma resah atas tradisi sinkretis dari raja Larantuka, dalam beberapa laporan pihak pejabat sipil Belanda di Larantuka kepada Residen Timor di Kupang, malah kemudian mencurigai sikap para misionaris Katolik ini yang dianggap lebih mendukung kebijakan Raja Larantuka dibandingkan pemerintahan Belanda. Bahkan, pihak misionaris itu oleh Pemerintah Belanda dianggap ikut mempengaruhi raja untuk mengurangi dukungannya bagi penduduk pegunungan yang masih kafir. Sikap mendua inilah yang menurut para pejabat sipil Belanda dianggap sebagai pemicu timbulnya berbagai pemberontakan di negeri-negeri yang berada di kawasan pedalaman atau pegunungan.

Salah satu imbas dari kecurigaan itu adalah munculnya pelarangan dari pemerintah Belanda atas tradisi pelantikan Raja Larantuka yang terkait ritual “kafir” itu. Atas saran misi Katolik Belanda beberapa raja pun kemudian menerimanya. Dan hal penting lainnya yang dipakai pihak gereja dalam rangka menghapuskan tradisi lama tersebut adalah melakukan penghancuran rumah-rumah pemujaan yang ada di wilayah pusat kerajaan, bahkan raja dilarang membangun rumah korke tersebut.

Akibat tindakan pelarangan itu, maka di wilayah negeri-negeri yang berada di pegunungan yang selama ini penduduknya masih menganut “agama lama”, meletuslah perlawanan terhadap tiga pihak sekaligus, yakni pihak raja, gereja, dan Pemerintah Belanda. Pemberontakan ini sangat membahayakan posisi raja dan Pemerintah Belanda karena kekuatan garnisun Belanda di Larantuka sangatlah kecil, sementara penduduk pegunungan yang terlibat perang berjumlah ribuan orang.

Untuk mengatasi perlawanan rakyat di pedalaman itu, Belanda terpaksa mendatangkan pasukan dari Timor dan Makassar. Selain itu, Belanda pun terpaksa memberi kebebasan kepada Raja Larantuka untuk membeli senjata api dari Makassar. Pada akhirnya Belanda kemudian meminta kepada pihak kerajaan dan pihak geraja Katolik Larantuka untuk tidak bersikap keras terhadap penduduk pegunungan.

''Perang dan konflik akibat masalah itu (penghapusan ritual kepercayaan—Red) terjadi sejak 1880-an hingga 1890-an. Sedangkan, sejak 1890-an hingga 1904, Raja Larantka Don Lorenzo II lebih banyak menunjukkan sikap agresifnya terhadap kerajaan seterunya, yakni kepada Kerajaan Sikka dan Kerjaan Adonara beserta sekutu Kerajaan Lima Pantai-nya,'' ungkap Didik Pradjoko. muhammad subarkah 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement