Selasa 26 May 2015 17:00 WIB

Mahkamah Partai Agar Politikus Berkelahi Di Kandang

Red:

"Partai Khusus Berkelahi." Demikian dulu KH Mustofa Bisri me melesetkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Betapa tidak, partai bintang sembilan ini, selalu saja dirundung konflik, yang bikin pengurus dan kalangan nahdliyyin yang menjadi konstituen utama partai itu, pusing tujuh keliling. Tapi, betapa pun konflik itu buruk, namun selalu ada hikmah di balik nya. Sebab, kemudian memunculkan ide di kalangan para politikus untuk mem bentuk mahkamah partai politik.

Dan, Mahkamah Partai Politik itu, kemudian dieksekusi lewat Undangundang Nomor 2/2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2/2008 tentang Partai Politik. Mahkamah ini diharapkan menjadi solusi bagi pertikaian internal partai politik, agar konflik lebih termenej, dan tak selalu langsung diumbar di pengadilan karena prosesnya makan waktu lama, dan ujung-ujungnya selalu bermuara pada terbentuknya pengurus tandingan yang mengundang intervensi penguasa, atau melahirkan partai baru. Padahal, UU Parpol mengusung misi penye derhanaan partai, yang dibungkus dengan jargon ‘multipartai sederhana’.

Konflik PKB memang terbilang ka ratan. Konflik itu terjadi sejak era Gus Dur versus Matori Abdul Djalil, hingga Muhaimin Iskandar versus Yenny Wahid. Bolak-balik mereka menggelar muktamar tandingan, saling gugat ke pengadilan, dan saling pecat. Konflik ini membuat partai ini kehilangan pemilih. Memulai debutnya sebagai pemenang pemilu nomor tiga dengan 12,6 persen suara pada Pemilu 1999, sepuluh tahun kemudian, yaitu pada Pemilu 2009, partai ini terjerembab ke posisi ketujuh dengan hanya meraih 4,95 persen suara.

Suara yang tergerus itu tak meng hentikan konflik PKB. Saling gugat terus berlanjut di pengadilan, dan barulah pada Juli 2010, Mahkamah Agung memutuskan menolak kasasi PKB kubu Gus Dur. Dan, Menteri Hukum dan HAM saat itu, Patrialis Akbar, akhirnya menerbitkan SK Menkumham Nomor M.HH-16.AH.11.01 tahun 2010 tentang Pengesahan Susunan Kepengurusan DPP PKB periode 2008- 2014 (hasil Muktamar Ancol –Red) yang dipimpin Muhaimin Iskandar. Meski demikian, perpecahan tetap tak tercegah, karena Yenny Wahid, putri almarhum Gus Dur, mendirikan partai baru.

"Sejarah munculnya mahkamah partai adalah belajar dari konflik PKB Gus Dur dan Cak Imin. Waktu itu kita bersepakat yang boleh menyelesaikan konflik hanya internal partai. Pemerintah tidak boleh intervensi," kata bekas anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Parpol dari Fraksi PKS, Al Muzzammil Yusuf, seperti dikutip dpr.go.id.

Penyelesaian lewat mahkamah partai ini, menggantikan cara penyelesaian perselisihan internal partai yang diatur di Pasal 32 UU No 2/2008 tentang Partai Po litik, yaitu melalui mekanisme musya wa rah mufakat, dan bila tak selesai di tempuh lewat pengadilan dan di luar pe ng a dilan. Penyelesaian perselisihan di luar peng adilan adalah rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase.

Dan, sejak terbitnya UU Nomor 2/2011 itu, partai-partai kemudian mendirikan mahkamah partai. Perselisihan yang bisa diselesaikan di mahkamah partai, seperti dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 32 Ayat (1) UU No 2/2011, yaitu (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggungjawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik).

Langkah penyelesaian lewat meka nisme partai ini, bak langkah kedua untuk menjauhkan intervensi pemerintah terha dap partai politik. Langkah pertama di tempuh saat penyusunan RUU Partai Politik di awal era reformasi. Bekas Men teri Hukum dan Perundang-un dangan, Yusril Ihza Mahendra, memaparkan prosesnya dalam acara Indonesia Lawyers Club.

"Tentang peran Menkumham dalam proses pengesahan perubahan kepengu rusan partai poitik, itu sebenarnya ada riwayatnya. Awal reformasi 1998, saat itu presiden Habibie meminta beberapa orang mendraf RUU parpol yang baru, termasuk saya. Di situlah kami terpikir, supaya pemerintah tidak campur tangan terlalu jauh dalam urusan partai, kami pindahkan proses pengesahan partai, baik berdiri maupun perubahan pengurusnya dari Depdagri ke Depkumham," papar Yusril.

Alasan pemindahan, tutur Yusril, di dasari pemikiran bahwa seorang Menteri Hukum tidak berpikir politis. "Dia murni yuridis, legalistik... Dan menteri-menteri hukum sejak saya sampai Pak Amir Syamsuddin pikirannya sama. Barulah pada masa Yasonna Laoly saya menangkap ada pertimbangan politik dalam penge sahan partai politik," katanya.

Saat menjabat sebagai Menteri Hukum di era Presiden Gus Dur, Yusril menga ta kan terjadi konflik internal PKB antara ku bu Gus Dur dan Matori Abdul Djalil. "Gus Dur presiden, saya menteri, tentu ada per mintaan ke saya, tapi saya tolak. Saya bi lang tunggu saja pengadilan me mu tus kan," ungkap Yusril disambut tepuk tangan.

Mahkamah belum berhasil

Kendati mahkamah partai politik sudah berdiri, namun efektivitasnya dalam penyelesaian perselisihan internal, masih meragukan. Paling tidak dalam penye lesaian sejumlah kasus menonjol, mulai kasus recall terhadap dua politisi PKB, Lily Wahid dan Effendi Choirie, hingga perse lisihan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Kasus-kasus ini, kendati sempat singgih di meja mahkamah partai, namun tetap tak memuaskan para pihak, sehingga tetap berlanjut ke pengadilan.

UU No 2/2011 tentang Partai Po litik, di Pasal 33, memang menya takan jika perselisihan tak selesai di mah kamah partai, maka penyele saiannya dilakukan melalui penga dilan negeri. Putusan pengadilan ne geri merupa kan putusan tingkat per tama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Dan, lagi-lagi PKB pula yang pertama kali menggunakan mahka mah partai (di PKB namanya Majelis Tahkim), untuk menyelesaikan peme catan yang dilakukan DPP PKB ter hadap dua politikus PKB yang dinilai membangkang, yaitu Lily Wahid dan Effendi Choirie. Keduanya di-recall pada awal Maret 2011, atau hanya dua bulan setelah pengesahan UU No 2/2011.

Recall dilakukan DPP PKB ka rena Lily dan Choirie antara lain mendukung hak angket mafia pajak, yang memojokkan pemerintah, khu susnya SBY. Padahal, PKB adalah salah satu partai yang tergabung da lam Sekretariat Gabungan (Setgab) Pendukung SBY-Boediono, dan, Muhaimin Iskandar, adalah salah satu menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II.

Sikap Lily dan Choirie tersebut berdampak signifikan. Dalam voting pada rapat paripurna angket mafia pajak, 22 Februari 2011, pendukung hak angket menang tipis dengan 266 suara, sedangkan penolaknya 264 suara. Maka, Ketua DPP PKB Mu haimin Iskandar pun kemudian me layangkan surat recall kepada Lily Wahid, adik Gus Dur yang juga seka ligus bibinya, dan posisinya digan tikan oleh Jazilul Fawaid. Sedang kan, Effendi Choirie diganti Andi Muawiyah Ramly.

Setelah di-recall tersebut, Lily Wahid dan Choirie langsung me nyam bangi pengadilan negeri menga jukan gugatan perdata, maupun me ngajukan uji materi UU Parpol dan UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) ke Mahkamah Konstitusi. Na mun, keduanya kandas. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada April 2011 lalu, memberi kesempatan satu minggu kepada Lily Wahid dan Effendy Choirie untuk menyelesaikan di mahkamah partai.

Tapi, Majelis Tahkim rupanya tak berhasil menyelesaikan perselisihan itu, sehingga persoalan kembali diba wa ke PN Jakarta Pusat. Pada Mei 2011, majelis hakim memutuskan menolak gugatan Lily Wahid dan Effendi Choirie. Proses tersebut sampai ke tingkat kasasi, namun Lily Wahid dan Effendi Choirie kembali gagal. Mahkamah Agung menolak kasasi keduanya pada Oktober 2011.

Kasus Golkar dan PPP

Seperti dalam kasus PKB, dalam kasus Golkar, pengadilan juga meno lak mengadili gugatan perse lisihan partai politik sebelum diproses mah kamah partai. Pada 5 Februari lalu, misalnya, PN Jakarta Pusat menolak gugatan Golkar versi Munas Ancol yang dipimpin oleh Agung Laksono, terhadap Golkar versi Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie. Da lam putusan sela, majelis hakim me nya takan tak berwenang menga dili, sebab berdasarkan Pasal 32 juncto Pasal 33 UU Parpol, perkara perseli sihan partai politik harus disele saikan lebih dulu oleh mahkamah partai.

Langkah serupa dilakukan PN Jakarta Barat, pada 24 Februari lalu. Majelis hakim, dalam putusan sela, menolak mengadili gugatan kubu Golkar Aburizal Bakrie terhadap Golkar kubu Agung Laksono. Ala san nya sama, karena belum ditempuh penyelesaian internal lewat mahka mah partai. Majelis hakim pun me nyatakan telah menerima empat surat dari Mahkamah Partai Golkar (MPG), yang meminta PN Jakbar menunda putusan, karena MPG sedang melakukan penyelesaian me lalui mekanisme mahkamah partai.

Atas putusan itu, kubu Aburizal mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung agar putusan sela PN Jakbar dianulir. Kubu Aburizal berdalih upaya penyelesaian internal lewat mahkamah partai sudah ditempuh pada Desember 2014.

Maka, konflik Golkar pun kemu dian kembali ke kandang: mahkamah partai. Sebelumnya, usai gugatannya ditolak oleh PN Jakpus, kubu Agung Laksono mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Partai Golkar pada 6 Februari.

Namun, MPG, ternyata gagal me nyelesaikan masalah ini. Pada sidang pleno pembacaan putusan, 3 Maret lalu, dua hakim, Muladi dan HAS Natabaya, menyatakan tidak berpen dapat, karena kubu Aburizal (termo hon) mengajukan kasasi ke MA atas putusan sela PN Jakbar. Langkah itu dianggap keduanya sebagai sikap kubu Aburizal tidak ingin menye lesaikan perselisihan melalui mah kamah partai. Alhasil, keduanya ha nya merekomendasikan siapapun pemenang kasasi, tidak mengambil semua (the winner takes all), tapi mengakomodasi kubu yang kalah ke dalam kepengurusan, merehabilitasi kader yang dipecat, serta yang kalah berjanji tidak membuat partai baru.

Sedangkan, dua hakim lainnya, Andi Mattalatta dan Djasri Marin, menegaskan bahwa UU Parpol telah memberikan kewenangan kepada mahkamah partai untuk menye lesaikan perselisihan partai dengan hasil yang bersifat final dan mengi kat. Keduanya menilai, Munas Bali tidak demokratis karena pemilihan ketua umum dilakukan secara akla masi, dan Munas Ancol lebih demok ratis meski banyak kekurangan.

Sehingga, kedua hakim ini menga bulkan sebagian permohonan kubu Agung Laksono (pemohon), untuk menerima kepengurusan Golkar hasil Munas Ancol secara selektif, dengan kewajiban mengakomodir pengurus Golkar hasil Munas Bali.

Namun, alih-alih memberikan jawaban, putusan tersebut justru me nimbulkan lebih banyak per debatan. Ada yang menafsir kannya kubu Agung yang menang, ada pula yang menafsirkan MPG sesungguhnya tidak mengeluarkan putusan, apalagi hakimnya pun genap.

Dan, situasi bertambah runyam ketika Menteri Hukum dan HAM, Ya sonna Hamonangan Laoly, menge sah kan susunan pengurus Golkar versi Munas Ancol, melalui SK Men kumham Nomor M.HH-01.AH.11.01. Padahal, saat itu, perselisihan masih berlangsung di PN Jakarta Utara, di mana saat itu yang menjadi tergugat bukan hanya Golkar kubu Agung Laksono, tapi juga Menkumham karena dinilai memihak.

Alhasil, SK Menkumham itu pun kemudian digugat ke PTUN. Dan, pada Senin (18/5), majelis hakim me ngabulkan sebagian gugatan kubu Aburizal, dan membatalkan SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Golkar versi Munas Ancol. Selain menyatakan Menkum ham tak boleh mengesahkan kepe ngurusan salah satu pihak yang tengah berselisih, majelis hakim juga menyatakan Menkumham tak boleh menafsirkan putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG), sebab secara konstitusonal itu merupakan kewe nangan pengadilan (lihat: Golkar Kembali ke Laptop?).

Kasus Golkar ini bak meng hadirkan sebuah ironi. Sebab, salah satu alasan pembuat undang-undang memasang klausul mahkamah partai di UU Parpol, adalah menjauhkan in tervensi penguasa atas partai politik. Namun, dalam kasus ini, putusan mahkamah partai yang multitafsir justru menjadi pintu masuk bagi penguasa untuk melakukan intervensi.

Sebelumnya, pada 25 Februari, PTUN juga mengabulkan gugatan PPP versi Muktamar Jakarta yang diketuai Djan Faridz terhadap SK Menkumham Nomor M.HH- 07.AH.11.01 Tahun 2014, tanggal 28 Ok tober, yang mengesahkan ke pe ngu rusan PPP versi Muktamar Su rabaya yang dipimpin Romahurmuzy.

Seperti halnya dalam kasus Golkar, majelis hakim juga menilai Men kumham telah melakukan intervensi masalah internal PPP. Sebab, SK Menkumham tersebut diterbitkan tanpa dasar, baik putusan mahkamah partai, maupun putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga melanggar UU Parpol.

Kasus perselisihan internal PPP sempat diselesaikan lewat mah ka mah partai. Pada Oktober 2014 lalu, mahkamah partai telah menge luar kan putusan, namun tak memuaskan semua pihak. Sehingga kasus ini berlanjut ke pengadilan. Gugatan didaftarkan kubu Muktamar Jakarta ke PN Jakarta Pusat pada Januari lalu. Dan, pada 19 Mei lalu, majelis hakim memutuskan menolak gugatan tersebut. Dan, kini kubu PPP kubu Muktamar Jakarta mengajukan ka sasi ke Mahkamah Agung.

Dalam kasus Golkar dan PPP, para hakim pengadilan negeri selalu mengembalikan penyelesaian per selisihan ke mahkamah partai. PTUN pun membatalkan SK Menkumham yang mengesahkan salah satu kepe ngurusan Golkar dan PPP, dan me nyebutnya sebagai intervensi. Meski demikian, perselisihan partai politik memang tak selesai dengan putusan PTUN, sebab UU Parpol menyatakan jika perselisihan tak selesai di mahkamah partai, maka diselesaikan lewat pengadilan umum. Dan, Golkar kini sedang bertarung di PN Jakarta Utara, sedangkan PPP kini melanjutkan pertarungannya di MA.

Berlanjutnya perselisihan di pe ngadilan, merupakan indikasi bahwa mahkamah partai belum berfungsi dengan baik, kendati UU menyata kan putusannya bersifat final dan mengikat. Pembuat UU tampaknya perlu menyempurnakan desain mahkamah partai, agar mahkamah partai tidak mandul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement