Jumat 08 May 2015 18:00 WIB

May Day Berlalu Nasib Buruh tak Menentu

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kelabu. Kata ini cukup tepat untuk menggambarkan suasa peringatan Hari Buruh (May Day) yang jatuh pada 1 Mei lalu. Di tengah tumpahnya masa buruh di berbagai jalanan yang ada di Jakarta dan kota besar lainnya, seorang buruh bernama Sebastian Manufuti (45 tahun) melakukan aksi bakar diri dan melompat dari atap tribun Stadion Senayan Jakarta yang dijadikan ajang perayaan hari buruh nasional.

Tragisnya lagi, ketika petugas polisi menelusuri laman Facebook Sebastian yang merupakan warga Bekasi, dia sudah menuliskan pesan: "Teruskan perjuangan aku yang bahagia ini!" Akibat aksi nekat ini maka keriuhan perayaan May Day terusik. Panggung musik yang tengah mementaskan grup band Ahmad Dhani terhenti. Peserta perayaan terperenyak serta kaget bukan kepalang.

''Saya kaget sekali. Dugaannya memang aksi bunuh diri. Penyebabnya masih diselidiki polisi, tapi saya kira karena beban impitan hidup yang berat. Sebastian juga aktivis gerakan buruh,'' kata Ketua Umum Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.

Tak hanya berduka atas meninggalnya Sebastian, pada pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB, empat bus yang ditumpangi para buruh juga mengalami kecelakaan di Tol Dalam kota Kilometer 6, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Rencananya rombongan ini akan merayakan hari buruh yang digelar di Plaza Bundaran Hotel Indonesia. Untungnya tak ada buruh yang tewas atau jadi korban. Hanya sopir dan kernet bus saja yang terluka.

******

Meski terkendala musibah, perayaan Hari Buruh terus saja berjalan dengan meriah. Jalanan utama ibu kota hingga kawasan depan Istana Negara dipenuhi lautan manusia. Mereka meneriakkan berbagai yel-yel dan tuntutan. Spanduk yang bertuliskan 10 tuntutan buruh pada May Day tahun ini dibentangkan.

Isi tuntutan itu antara lain menolak pemberlakuan pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), buat undang-undang perlindungan buruh, penghapusan sistem kontrak dan oustsourcing, tuntutan tunjangan kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Selain itu buruh juga menyatakan menolak penaikan upah buruh lima tahun sekali, penolakan penghapusan subsidi, dan lainnya.

Ketika bertemu dengan para buruh di sela keriuhan acara perayaan May Day, semuanya mengatakan dalam beberapa bulan terakhir kehidupan mereka semakin sulit. Semua mengeluhkan hal yang sama, yakni naiknya harga berbagai macam bahan kebutuhan pokok yang dipicu dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Dan bila kemudian kenyataan buruk itu dikaitkan dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi dalam triwulan pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, maka ini menjadi bisa dimengerti. Data Balai Pusat Statistik (BPS) menyatakan, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,71 persen. Angka ini menurun jauh bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun 2014 yang mencapai 5,14 persen. Melalui angka pertumbuhan ekonomi ini juga bisa dibaca sebenarnya pertumbuhan ekonomi secara riil belum terlihat karena pertumbuhan yang berkisar pada angka empat persen ini hanya mencerminkan naiknya angka konsumsi masyarakat seiring naiknya jumlah penduduk.

Salah satu sektor tenaga kerja yang terkena imbas dari pelambatan pertumbuhan ekonomi adalah merebaknya jumlah pengangguran di sektor jasa perhotelan. Celakanya, penaikan angka pengangguran di sektor ini salah satu sumbernya adalah akibat adanya pelarangan rapat para pegawai birokrasi di hotel-hotel.

''Beberapa waktu lalu akibat pelarangan rapat karyawan, hotel di Sumatra Barat banyak yang memberhentikan karyawannya. Mereka melakukan kebijakan ini karena tak ada order lagi dari instansi yang selama ini sering meminta jasanya. Inilah akibat kebijakan menteri yang terburu-buru dan menyusahkan banyak orang,'' kata edin, pengelola penginapan di Bukittinggi ,Sumatra Barat.

Padahal, lanjut Edin, besaran keuntungan ketika melayani rapat para pegawai itu tak seberapa jumlahnya. Untungnya kecil saja, paling hanya Rp 20 ribu per orang. Namun, meski tipis keuntungannya, ternyata imbas dari pelarangan melakukan rapat di hotel terbukti meletupkan jumlah pengangguran.

''Harap diketahui pula, sebenarnya pekerjaan ini nanti dikerjakan sendiri, maka biaya rapat tersebut malah jauh lebih tinggi. Ini karena selama ini sebenarnya penyelenggara hotel selalu memilih paket pekerjaan yang termurah untuk menekan ongkos produksi,''  kata Edin.

Indikasi melambungnya jumlah pengangguran di tengah euforia perayaan Hari Buruh tecermin dari data yang dirilis Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar. Di salah satu provinsi dengan penduduk terpadat di Indonesia, pada Mei ini tercatat jumlah pengangguran bertambah sebesar 32.333 orang.

"Ada indikasi peningkatan jumlah pengangguran ini terjadi akibat pengurangan tenaga kerja di sektor perhotelan," ujar Hening kepada wartawan, Rabu (6/5).

Dia menjelaskan, sektor perhotelan mengalami tekanan akibat kebijakan pemerintah pusat yang melarang penggunaan hotel sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintah daerah. "Saya mendapat informasi terjadi pengurangan jumlah tenaga kerja karena hal tersebut," katanya seraya menambahkan pihaknya juga menduga peningkatan jumlah tenaga kerja di Jabar terjadi akibat dampak dari perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Mantan ketua umum CIDES (Central Information and Development Studies) yang menulis disertasi mengenai kesejahteraan buruh, Syahganda Nainggolan, mengatakan, kondisi buruh pada kenyataannya memang hampir-hampir tanpa perubahan. Bahkan, bisa dikatakan semenjak tahun 1996 belum ada kenaikan kesejahteraan secara riil. Kalaupun ada, angka kenaikan upah itu hanya sebatas mengatasi atau menyesuaikan diri pada besaran kenaikan angka inflasi.

''Memang beberapa waktu lalu, pendapatan buruh sempat naik, yakni naiknya item komponen upah buruh dari 48 item hingga menjadi 60 item, namun faktanya malah terjadi penurunan. Tadinya pada saat 48 item, tempat tinggal buruh pada rumah tipe 21. Nah, ketika naik menjadi 60 item, sekarang tempat tinggal buruh adalah kontrakan yang harganya jelas lebih murah dari rumah tipe 21 itu. Jadi secara riil pendapat buruh kini lebih rendah dari sebelumnya,'' kata Syahganda.

Dengan kata lain, ujar Syahganda nasib buruh akan terus berada pada posisi paling tragis. Kini jebakan kemiskinan mengancam mereka. Bila sekarang orang tuanya bekerja sebagai buruh, maka dapat dipastikan anak dan cucunya nanti juga akan menjadi buruh pula.

''Situasinya memang terus memburuk. Meski pertumbuhan ekonomi nasional negara dan gross domestic product Indonesia (GDP) terus naik, misanya di era Presiden SBY GDP nasional mencapai 4.000 dolar AS, namun pendapatan buruh rata-rata hanya 500 dolar saja,'' tegas Syahganda. Ia mengatakan, mau tidak mau pemerintah harus campur tangan dan tidak membiarkan begitu saja buruh berebut lapangan pekerjaan di pasar kerja yang bersifat liberal.

*******

Terkait nasib buruh seusai perayaan May Day, aktivis buruh dari Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Nanang Qosim mengatakan, pihaknya memang terus mendesak pemerintah memperhatikan kesejahteraan kaum buruh. Salah satu di antaranya dengan melakukan revisi Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

''Buruh itu merupakan aset bagi negara dan juga perusahaan. Maka sudah sepantasnya kehidupan buruh disejahterakan. Jangan hanya diperas tenaganya tapi nasibnya tidak diperhatikan. Ingat, ajaran agama menyatakan bayarlah upah buruhmu sebelum keringatnya mengering,'' kata Nanang.

Alhasil, semoga keinginan Nanang bukan seperti embusan angin yang berlalu begitu saja. Sebab, berangkat dari peristiwa peringatan Hari Buruh yang jatuh setiap tanggal 1 Mei itu, teriakan, slogan, dan tuntutan berlalu begitu saja. Nasib buruh akhirnya tetap tak menentu. Oleh  Muhammad Subarkah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement