Senin 04 May 2015 15:00 WIB

Meningkatkan Representasi Perempuan

Red:

Dalam Nawacita terkait pem berdayaan perempuan, Jokowi-JK ber ko mit men untuk membuat kebijakan tindakan khu sus sementara terhadap kelompok-kelompok marginal. Termasuk di dalamnya adalah kelompok perempuan, untuk menjamin kesetaraan dengan warga negara lainnya.

Sebagai lanjutannya, Jokowi-JK ber komitmen memperjuangkan kuota perempuan 30 persen tidak sekadar angka. Lebih dari itu, mendorong agar semua partai politik memiliki dan menyiapkan kader politik perempuan yang mumpuni melalui perekrutan, pendidikan politik, dan kaderisasi. Keduanya juga menjanjikan memberikan akses yang sama dan adil kepada politisi perempuan untuk terlibat dalam politik.

Kebijakan tersebut amat relevan de ngan kondisi kaum perempuan Indo nesia di ranah politik saat ini. Mereka menjadi kelompok pinggiran, sebelum era Refor masi hadir menggantikan rezim Orde Baru. Sebelum angin reformasi itu ber gulir, kaum perempuan tidak menjadi pemain utama di wilayah politik yang sudah dikuasai oleh kaum laki-laki.

Seiring dengan itu, muncullah upaya tindakan afirmatif berupa pemenuhan kuota 30 persen dalam kepengurusan parpol dan dalam pencalegan. Ini dimaksudkan agar keterwakilan perempuan di parlemen juga bisa mencapai angka 30 persen.

Tindakan afirmatif yang diberikan kepada kaum perempuan sejak Pemilu 2004 membuahkan hasil di Pemilu 2009. Namun, kemudian menurun sedikit di Pemilu 2014 yang menyisakan catatan kurang menggembirakan bagi keterwa kilan perempuan di parlemen.

Jumlah caleg perempuan DPR RI yang terpilih hasil Pemilu 2014 hanya 97 orang atau 17,3 persen dari 560 kursi tersedia. Jumlah ini menurun sedikit dibanding perolehan pada Pemilu 2009 yang mencapai 103 orang atau 18 persen kursi. Padahal, banyak kalangan berharap representasi perempuan di lembaga legislatif mening kat dibandingkan pemilu lima tahun si lam. Oleh karenanya, komitmen Jokowi- JK dalam pemenuhan kuota 30 persen perempuan di parlemen patut diapresiasi.

Mengapa keterwakilan perempuan di parlemen (DPR RI/DPRD) harus terus di tingkatkan, setidaknya mencapai angka 30 persen? Masih tingginya angka korban ke kerasan dalam rumah tangga (KDRT), angka kematian ibu dan anak (AKI), angka korban perdagangan perempuan dan anak (human trafficking), angka buta huruf, dan juga perlindungan terhadap pekerja ru mah tangga (PRT) adalah sebagian contoh isu riil yang harus menjadi bagian integral dalam perjuangan politik perempuan.

Wujud nyata perjuangan itu dapat maksimal bila jumlah kursi perempuan di parlemen cukup signifikan untuk bisa memengaruhi proses legislasi terhadap isu-isu tersebut. Dengan kata lain, keha dir an perempuan di lembaga legislatif di perlukan untuk mengawal proses pembuatan regulasi nasional yang terkait dengan isu-isu perempuan dan anak serta me ngawasi ketaatan penyelenggara pemerintahan dalam pelaksanaannya.

Malah turun

Sebagaimana pernah diulas oleh penulis di halaman ini tahun lalu, kebija kan afirmatif bagi perempuan yang mulai dimasukkan dalam UU Pemilu sejak 2004, merupakan buah perjuangan kalangan aktivis perempuan untuk meningkatkan keterwakilan tersebut. Dengan kebijakan itu pula hasil Pemilu 2004 dan 2009 jumlah kursi perempuan di parlemen mengalami peningkatan. Tren kenaikan itu diharapkan terus berlangsung pada Pemilu 2014 dengan memperbesar jumlah perempuan yang dicalegkan, minimal 30 persen sesuai dengan UU.

Semua parpol sudah memenuhi ketentuan undang-undang terkait syarat mi nimal pencalonan perempuan dalam daftar caleg. Pasal 55 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu menyebutkan bahwa daftar bakal calon memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Fak tanya, rata-rata parpol peserta Pemilu 2014 sudah mampu mencalonkan perempuan di atas 35 persen.

Bila membandingkannya dengan Pe milu 2009, maka pencalonan perempuan untuk DPR pada Pemilu 2014 mengalami peningkatan. Pada pemilu sebelumnya, jumlah perempuan yang diajukan sebagai anggota legislatif hanya 33,67 persen. Dengan demikian ada peningkatan ham pir empat persen untuk pemilu sekarang.

Selain meningkat jumlahnya, pencalonan perempuan sedikitnya 30 persen juga sudah merata di semua daerah pemilihan (dapil). Pada Pemilu 2009, masih ada dapil yang jumlah caleg perempuannya belum memenuhi ketentuan undang-undang. Terpenuhinya pencalonan perempuan sedikitnya 30 persen di setiap dapil juga merupakan buah dari terbitnya Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 yang mengatur proses pencalonan tersebut.

Dalam peraturan itu jelas disebutkan parpol peserta pemilu harus memenuhi persyaratan berupa pemenuhan jumlah dan persentase keterwakilan perempuan sedikitnya 30 persen untuk setiap dapil. Persyaratan lainnya yakni penempatan sekurang-kurangnya satu orang perempuan dalam setiap bakal calon.

Peraturan KPU tersebut cukup ampuh untuk memaksa parpol peserta pemilu memenuhi syarat keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Sebab, bila persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka parpol yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon pada suatu dapil. Segala daya upaya telah dilakukan, pencalonan perempuan pun sudah me ngalami peningkatan dan merata di semua dapil. Namun, perolehan kursi perempuan di DPR RI malah mengalami penurunan. Mengapa terjadi?

Dalam simpulannya, Pusat Kajian Po litik Universitas Indonesia (Puskapol UI) me lihat data hasil perolehan suara dalam Pe milu 2014 menunjukkan adanya kesenja ngan antara rata-rata perolehan suara caleg perempuan dengan perkiraan persentase keterpilihan caleg perempuan, yaitu 23,31 persen berbanding dengan 17,3 persen.

Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab kesenjangan tersebut. Pertama adalah ketatnya persaingan internal caleg dalam satu partai di satu dapil dalam mengejar perolehan suara. Ketatnya persaingan tersebut membuat para caleg ber konsentrasi untuk pemenangan diri sen diri dan tidak memprioritaskan perolehan suara partai.

"Di sisi lain, parpol pun tidak mampu mengonsolidasikan para calegnya sehingga ada fenomena caleg satu partai di satu dapil saling menjegal satu sama lain," kata Di rek tur Puskapol UI, Sri Budi Eko Wardani.

Kesenjangan, lanjut Wardani, juga di sebabkan tingkat persaingan parpol di setiap dapil yang semakin ketat. Rata-rata parpol mendapatkan satu kursi di setiap dapil, dengan dominasi caleg laki-laki yang memperoleh suara terbanyak. Sedang kan caleg perempuan yang menang umumnya adalah figur yang memiliki jaringan ke kerabatan dengan elite politik dan ekonomi.

"Dengan gambaran tersebut, maka wajah parlemen didominasi oleh figurfigur dengan kekuatan modal dan jaringan kekerabatan politik sesuai dengan basis rekrutmen dan basis keterpilihan mereka," ujar Wardani.

Sebatas diadopsi

Puskapol UI juga berkesimpulan, hasil Pemilu 2014 kembali menegaskan bahwa kebijakan afirmatif sebatas diadopsi oleh parpol yang didorong oleh UU/peraturan. Parpol belum mengimplementasilan afirmatif di internalnya dengan tujuan me ning katkan keterwakilan politik perempuan di parlemen. Perolehan kursi partai meningkat, namun tidak otomatis berkorelasi pada naiknya kursi perempuan.

Belum seriusnya pelaksanaan kebijakan afirmatif terhadap caleg perempuan oleh kalangan elite partai terlihat dari masih kecilnya suara yang diberikan ke pada caleg perempuan. Tercatat, dari 70 persen suara pemilih dengan mencoblos na ma caleg, yang diberikan kepada caleg pe rempuan hanya 23,31 persen. Kondisi tersebut masih jauh dari persentase pencalonan perempuan yang mencapai 37 persen pada pemilu kali ini.

Hal itu menunjukkan masih kecilnya dukungan terhadap caleg perempuan untuk bisa merebut kursi. Patut diduga, perolehan 23,31 persen tersebut murni merupakan hasil kerja keras dari masing-masing caleg perempuan dalam merebut hati pemilih. Agaknya tidak ada upaya serius dari partai untuk "mempromosikan" caleg-caleg pe rem puannya serta "menjaga" agar perempuan- perempuan terbaiknya yang sudah duduk di parlemen dapat terus bertahan untuk periode lima tahun ke depan.

Lihat saja perempuan-perempuan yang selama ini memiliki kinerja bagus di DPR, seperti Eva Kusuma Sundari (PDI Perjuangan), Nursanita Nasution (PKS), maupun Nurul Arifin (Partai Golkar), tidak lagi terpilih untuk masa keanggotaan selanjutnya. Bahkan, Ledia Henifa Amalia (PKS) juga nyaris "tersingkir" dari kursi Dewan.

Tampaknya tidak ada upaya-upaya serius untuk menjaga mereka agar tetap duduk di parlemen. Eva, Nurul, Nur sa nita, Ledia, dan caleg perempuan lainnya dibiarkan terjun bebas dalam persaingan yang sarat dengan nuansa politik uang – persaingan keras yang juga terjadi sesama caleg dalam satu partai.

Dengan dibiarkan terjun bebas seperti itu, tanpa adanya afirmasi di internal partai plus praktik politik uang yang kental, sudah bisa ditebak caleg perempuan yang memiliki peluang untuk memenangkan kursi adalah mereka yang memiliki jaringan kekerabatan dan kekuatan modal. Sedangkan caleg-caleg perempuan yang memiliki kapabilitas untuk duduk di parlemen, namun tidak memiliki modal besar maupun jaringan kekuasaan (elite), maka akan dengan sendirinya tergusur.

Melihat kenyataan tersebut, jalan bagi peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen tampak masih panjang. Diperlukan usaha keras agar perjuangan sejak 2003 dapat terwujud dalam pemilupemilu berikutnya. Di sinilah diperlukan peran pemerintah untuk bisa memenuhi kuota 30 persen seperti tercantum dalam Nawacita pemerintahan Jokowi-JK.

Jokowi-JK perlu memerhatikan sejumlah tantangan ke depan agar pemenuhan kuota tersebut bisa diwujudkan. Satu di antaranya adalah dengan mengembalikan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Dengan sistem tertutup, peluang keterpilihan perempuan menjadi lebih besar lantaran mereka tidak dibiarkan terjun bebas seperti halnya dalam sistem terbuka. Sebaliknya, partai-partai dituntut afirmasinya terhadap 30 persen keterpilihan perempuan di parlemen.

Pemerintah bisa melakukannya dengan mengajukan revisi terhadap UU Pemilu yang mengatur tentang sistem pemilihan. Jokowi-JK harus mampu me yakinkan elite-elite parpol pendu kungnya untuk bisa mengegolkan pe ngubahan sistem terbuka menjadi tertutup dalam revisi UU tersebut melalui wakil-wakilnya di DPR. Setidaknya fokus pada upaya ini untuk membuka peluang keterpilihan perempuan yang semakin besar.

Oleh Nurul S Hamami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement