Senin 04 May 2015 15:00 WIB

Setumpuk PR Isu Perempuan

Red:

Eksekusi mati terhadap dua tenaga kerja wanita Indo nesia di Arab Saudi pada per tengahan April lalu, me nambah buram potret perlindungan kaum perempuan di Tanah Air. Belum lagi sejumlah masalah yang masih menghantui seperti kekerasan terhadap perempuan termasuk perkosaan ataupun pelecehan, peraturan-peraturan daerah (perda) yang diskriminatif, perdagangan manusia, serta kematian ibu me la hirkan yang masih tinggi. Itu semua men jadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Jokowi-JK yang sudah berjalan tujuh bulan.

Apa yang terjadi terhadap kaum pe rempuan Indonesia selama tujuh bulan pemerintahan Jokowi-JK sangat ironi bila dikaitkan dengan visi-misi mereka dalam memerintah selama lima tahun sejak terpilih pada Pilpres 2014 lalu. Dalam visimisinya, Jokowi-JK janji berkomitmen un tuk pemberdayaan perempuan dalam politik dan pembangunan. Mereka mem beri penekanan pada tujuh prioritas utama. Di antaranya mendedikasikan diri untuk memperjuangkan tidak adanya perlakuan diskriminatif terhadap kelompok atau golongan tertentu dalam negara.

Tercantum dalam visi-misinya, Jokowi- JK janji berkomitmen untuk mengefektifkan pelaksanaan semua UU untuk peng hentian kekerasan terhadap perempuan. Ini dilakukan melalui peningkatan upayaupaya pencegahan, meningkatkan kapasitas kelembagaan, peningkatan alokasi anggaran, serta mengembangkan dan me nerapkan kerangka pemantauan dan eva luasi yang efektif. Keduanya juga berjanji segera membahas dan mengesahkan RUU kekerasan seksual.

Selain itu Jokowi-JK janji berkomitmen menginisiasi pembuatan peraturan perundangan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja di dalam maupun luar negeri. Berjanji memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh migran, di antaranya melalui pembatasan dan pengawasan peran swasta, menghapus semua praktik diskriminatif terhadap buruh migran terutama buruh migran perempuan.

Masih tinggi

Apa yang bisa dilihat setelah pemerintahan Jokowi-JK memasuki bulan ketujuh? Kekerasan terhadap kaum perempuan masih tinggi angkanya. Catatan Tahunan 2014 yang dirilis oleh Komisi Nasioanal Antikekerasan terhadap Perempuan (Kom nas Perempuan) pada 6 Maret lalu, men catat sebanyak 293.220 kasus ke kerasan terhadap perempuan sepanjang tahun lalu. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan di saat pemerintah berjanji untuk menghentikannya.

Seperti tahun sebelumnya, menurut Komnas Perempuan, kekerasan yang terjadi di ranah personal, khususnya kekerasan terhadap istri, tercatat paling tinggi. Ini, kata mereka, menunjukkan institusi perkawinan belum menjadi tempat yang aman bagi pe rempuan. Banyak perempuan korban keke rasan dalam rumah tangga (KDRT) mencari jalan keluar dari kekerasan yang dialami nya melalui perceraian. Sayangnya, perce raian melalui pengadilan agama tidak meng adili tindak kekerasan yang dilakukan sua mi. Di sinilah impunitas semakin me nguat, karena pelaku bebas dari jerat pidana.

Catatan Tahunan 2014 Komnas Perem puan juga memberi gambaran masih ada nya ruang kosong perlindungan kekerasan di luar isu KDRT. Antara lain kekerasan seksual, kekerasan dalam pacaran, maupun kekerasan yang dilakukan oleh mantan pasangan/suami yang juga sudah di luar ranah perlindungan dalam UU PKDRT.

Di ranah personal, komunitas, dan ne gara, Komnas Perempuan menilai bahwasannya perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual. Di ketiga ranah itu tanggung jawab negara terhadap pe rem puan dianggap belum optimal, Kondisi ini melahirkan beban dan akibat bagi perempuan korban dalam menanggung kekerasan itu sendiri, stigma sosial dan hukum yang belum berpihak pada perempuan.

Komnas Perempuan juga mencatat kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh pejabat publik dan tokoh publik. Di sini termasuk mengangkat 217 kasus yang dilaporkan kepada mereka. Bentuk-bentuk kekerasan terbesar yang dilakukan oleh pejabat dan tokoh publik tersebut adalah kejahatan perkawinan atau kekerasan dalam ranah personal serta kekerasan seksual.

Selain kekerasan terhadap perempuan, perdagangan manusia (human trafficking) yang menjebak kaum perempuan Indonesia ke dalam praktik prostitusi angkanya juga masih tinggi. Umumnya mereka ditipu oleh para pelaku dengan iming-iming pekerjaan yang baik. Namun, kenyataannya setelah sampai di tempat tujuan mereka dijadikan pekerja seks oleh para pelaku.

Menurut Direktur Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Mig ran Kementerian Sosial, Akifah Elan sary, kasus perdagangan manusia Indonesia tertinggi se-Asia Timur. Sebanyak 20 ribu kasus human trafficking WNI di Malaysia ditangani sepanjang tahun 2014. Ini belum termasuk kasus-kasus yang terjadi antarpulau maupun antarkota di dalam negeri yang angkanya juga tinggi.

Melihat kenyataan ini, pemerintah haruslah lebih serius lagi dalam melakukan upaya-upaya pencegahan sehingga kasuskasus perdagangan manusia bisa ditekan seminimal mungkin. Hukuman terhadap pelakunya harus seberat mungkin karena mereka pada hakikatnya telah merampas dan melakukan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Sosialisasi dan kampanye antiperdagangan manusia harus dilakukan gencar ke de sa-desa yang se lama ini men jadi sasar an em puk para pelaku.

AKI dan perda diskriminatif

Persoalan perempuan yang juga harus men jadi perhatian Jo kowi-JK adalah me nekan ang ka ke ma tian ibu (AKI) me lahirkan. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyebut AKI melahirkan di Indonesia tahun ini mencapai 359 per 100 ribu kelahiran. Hal ini jauh meningkat diban dingkan tahun 2012 yang hanya 228 per 100 ribu kelahiran.

Kampanye-kampanye program penyela mat an bayi dan ibu mela hirkan harus terus digalakkan. Pus kesmas juga mesti ditempatkan sebagai garda terdepan dalam mengurangi AKI di berbagai daerah. Kualitas hidup yang rendah ditengarai sebagai penyebab utama tingginya AKI yang berdampak pada rendahnya pula kualitas kesehatan dan gizi ibu.

Tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi penyebab tingginya AKI melahir kan karena mereka tidak memiliki informasi yang baik mengenai kesehatan ibu mengandung dan prakelahiran. Itulah memgapa puskesmas yang tersebar di pelosok-pelosok harus memainkan perannya dalam kampanye hidup sehat bagi ibu hamil.

Dalam visi-misi pemerintahannya, Jokowi-JK janji berkomitmen untuk memperjuangkan kebijakan khusus untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, perangkat, dan alat kesehatan dan tenaga –khususnya bagi penduduk di pedesaan dan daerah terpencil sesuai dengan situasi dan kebutuhan mereka.

Keduanya juga berkomitmen menyediakan sistem perlindungan sosial bidang kesehatan yang inklusif dan menyediakan jaminan persalinan gratis bagi setiap perempuan yang melakukan persalinan. Jokowi-JK juga berjanji mengalokasikan anggaran negara sekurang-kurangnya 5 persen untuk penurunan AKI serta angka kematian bayi dan balita.

Komitmen Jokowi-JK untuk menekan angka kematian bayi dan ibu melahirkan tentunya harus diapresiasi. Apalagi ang garan yang dijanjikan untuk dialo kasikan juga cukup besar. Namun, dalam pelaksanaannya memang tidak semudah dibayangkan, mengingat luasnya wilayah Nusantara serta masih belum maksimalnya tenaga serta peralatan kesehatan puskes mas-puskesmas di daerah terpencil. Meilhat masih tingginya AKI, pemerintah dalam hal ini kementerian-kementerian terkait harus lebih serius dalam melaksanakan program penurunannya.

Sebagaimana janjinya dalam visi-misi pemerintahannya, Jokowi-JK akan men dedikasikan diri untuk memperjuangkan tidak adanya perlakuan diskriminatif terhadap kelompok atau golongan tertentu dalam negara. Tentu saja tidak terkecuali terhadap kaum perempuan. Tapi, yang terjadi justru perda-perda yang dinilai oleh kalangan perempuan sebagai perda diskriminatif terhadap perempuan, yang lahir di era pemerintahan terdahulu, masih belum dihapus.

Komnas Perempuan menghitung setidaknya ada 365 perda diskriminatif yang tidak berpihak kepada perempuan tersebar di berbagai daerah. Dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Maret lalu, Komnas Perempuan meminta pemerintah menghapus perdaperda tersebut. Menurut mereka, perdaperda itu ditemkan di Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, dalam jumpa pers pada 20 Maret lalu, Presiden telah menyetujui usulan terkait penghapusan perda-perda diskriminatif tersebut. Sebagai tindak lanjutnya, Presiden akan meminta sekretaris kabinet mempertemukan Komnas Perempuan dengan men teri dalam negeri sebagai lembaga negara yang berwenang memutuskan perda agar sesuai dengan konstitusi.

Jalan tujuh bulan pemerintahan baru, setumpuk persoalan yang menyangkut kaum perempuan masih tersebar di manamana. Inilah pekerjaan rumah bagi Joko wi-JK yang sejak awal sudah berkomitmen untuk pemberdayaan perempuan dalam pembangunan dan politik. Jangan hanya sekadar janji yang terucap, tapi harus ada pelaksanaan yang nyata dan dirasakan oleh kaum perempuan Indonesia.

Oleh Nurul S Hamami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement