Jumat 10 Apr 2015 17:00 WIB

Membatasi Kerabat Petahana

Red:

Ada yang baru dalam pe laksanaan pemilihan ke pala daerah yang digelar serentak mulai Desember mendatang. UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pil kada telah membatasi ruang gerak ke rabat petahana kepala daerah/wakil kepala daerah maju dalam kandidasi pilkada dalam satu provinsi yang sama.

Ihwal pembatasan tersebut tercantum dalam Pasal 7 Huruf r UU Nomor 8/2015 yang menyaratkan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah yang ingin maju dalam pencalonan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Konflik kepentingan yang dimaksud yakni tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati masa jeda satu kali masa jabatan.

Sebagai implementasi amanat UU tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) te lah membuat rancangan peraturan (PKPU) menyangkut masalah larangan kerabat petahanan maju dalam pencalonan. Hal itu tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) hu ruf q, Pasal 9 Rancangan PKPU ten tang Pen calonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bu pa ti, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Terkait hal itu agaknya tak akan mendapat banyak sanggahan dari para politisi di Komisi II DPR yang menjadi mitra konsultasi KPU dalam menerbitkan peraturan tersebut. Ini karena pada awal revisi UU Pilkada, masalah ini sudah di sepakati oleh semua fraksi. Artinya, KPU membuat rancangan peraturan tentu saja sesuai telah dengan UU Nomor 8/2015.

Namun, syarat pencalonan tersebut sedang diuji materi di Mahkamah Kon situsi (MK) atas aduan masyarakat. Ka lau MK mengabulkan permohonan uji materi terkait pembatasan kerabat petahana maju dalam pencalonan, maka gugurlah upaya-upaya untuk mengadang laju kekerabatan politik dalam jabatan kepala daerah/wakil epala daerah.

Selama hampir tujuh belas tahun bergulirnya Reformasi, kekerabatan politik di tingkat nasional maupun lokal terlihat marak. Kekerabatan yang dimaksud adalah perluasan jaringan kekuasaan kalangan keluarga untuk menduduki jabatan-jabatan politik. Sudah sering kita mendengar keluarga elite parpol duduk di legistatif pusat maupun daerah. Atau juga menjadi ke pala daerah di daerah yang satu, sementara kerabat lainnya di daerah yang satunya lagi.

Tidak baru lagi juga bila kita men dengar cerita ada istri bupati yang menggantikan posisi suaminya karena sudah tak bisa mencalonkan diri lagi. Juga ada seorang ayah menjadi gubernur, sedangkan anaknya menjadi bupati. Bahkan ada seorang ayah menjadi bu pati, sementara anaknya menjadi ketua DPRD untuk daerah yang sama.

Reformasi politik yang berlangsung menyusul runtuhnya rezim Orde Baru harus diakui telah membuka ruang partisipasi politik yang begitu lebar di masyarakat. Partai-partai politik pun lahir sebagai bagian dari terbukanya ruang tersebut.

Kian luasnya ruang partisipasi politik di masyarakat juga ditandai dengan pe milihan presiden secara langsung mulai 2004. Serta yang paling fenomenal adalah pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah secara langsung mulai pertengahan 2005 lalu. Selain itu, juga pemilihan umum anggota legislatif yang hasilnya ditentukan melalui suara terbanyak (2009 dan 2014).

Kondisi tersebut membuka peluang kontestasi untuk merebut posisi/jabatan politik yang dulunya sama sekali terbatas. Masyarakat sebenarnya memiliki peluang yang sama untuk mengisi posisiposisi politik tersebut. Namun, pada akhirnya siapakah yang bisa memanfaatkan peluang-peluang tersebut?

Rekrutmen buruk

Seiring dengan reformasi politik, partai politik (parpol) kini menjadi pe main utama —bukan lagi pemain ping gir an dalam pentas politik. Merekalah yang menjalankan fungsi rekrutmen dan menyeleksi kader-kader partai untuk merebut jabatna-jabatan politik yang ter sedia.

Namun, fungsi rekrutmen ini tidak berjalan dengan baik hampir di semua parpol pada era reformasi ini. Sering kita menyaksikan partai-partai yang memiliki suara besar tidak mencalonkan kadernya untuk merebut jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Akhirnya, tidak sedikit orang nonparpol yang mengisi jabatan-jabatan kepala daerah/wakilnya. Setelah menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah barulah mereka merebut posisi puncak di parpol sebagai ketua umum di kepengurusan daerah.

Sekali lagi harus dikatakan, kemun culan orang-orang nonparpol yang me ngi si jabatan-jabatan politik sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dibaca sebagai pertemuan dua kepentingan. Pertama, pada satu sisi fungsi rekrutmen kader yang tak berjalan menjadikan parpol tidak memiliki kader yang cukup kuat untuk mengisi posisi politik tersebut. Di sisi lain mereka perlu merebut juga kursi-kursi jabatan itu. Sebagai jalan pintas, kebanyakan parpol akhirnya mencari tokoh-tokoh populer di masyarakat yang mereka dukung dan usung untuk mengikuti kontestasi jabatan-jabatan politik tersebut.

Kedua, munculnya elite masyarakat di tengah-tengah tidak berjalannya fungsi rekrutmen kader di lingkungan parpol. Mereka adalah para pengusaha, tokoh-tokoh lokal (adat), selebriti, atau pun figur publik populer lainnya. Dengan segala kepentingan pragmatisnya, para elite masyarakat ini menjadikan parpol sebagai kendaraan untuk menduduki jabatan-jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah.

Pertemuan dua kepentingan itulah yang pada gilirannya memunculkan para elite dan keluarganya dalam pengisian jabatan-jabatan politik. Parpol yang gagal dalam melaksanakan fungsi rekrutmen memerlukan tokoh populer, sementara ada elite masyarakat yang membutuhkan parpol sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasaan yang diinginkannya. Keduanya bertemu dalam kepen ting annya sendiri-sendiri.

Bila hal tersebut dibiarkan, tentu akan berdampak buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia. Kekerabatan po litik dalam pengisian jabatan-jabatan kepala daerah akan semakin besar. Ini tentu tidak sehat bagi keberlangsungan demokrasi. Demokrasi nantinya tak lebih hanya sebuah proses pro sedural karena akses kekuasaan ha nya terbatas pada kalangan "di nasti" masing-masing. Yang lebih ber bahaya, akses pada sumber-sum ber ekonomi otomatis hanya dikuasai oleh kekuatan dinasti politik tertentu saja.

Parpol yang seharusnya menjadi ajang rekrutmen bagi kader-kader terbaiknya untuk maju dalam kontestasi, akhirnya tak lebih sebagai ajang ta war-menawar dengan elite masya ra kat. Bau politik uang pun terhirup. Hal ini berdampak pada ongkos politik yang sangat besar bagi sang elite yang mencari kendaraan untuk maju. Akibatnya kemudian tak sedikit kepala daerah/wakil kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.

Dampak buruk itu dapat diminimalisasi dengan berjalannya fungsi rekrutmen yang dilakukan oleh parpol. Bila fungsi seleksi dan penguatan kader ini berjalan dengan baik serta berjenjang, hasilnya ada lah kader-kader berkualitas yang siap dipakai untuk mengisi jabatanjabatan politik tersebut. Selama ini yang terjadi adalah miskinnya kader yang kapabel untuk mengisi posisi itu karena tak berjalannya fungsi rekrutmen politik dengan baik. Akibatnya, parpol melakukan cara instan dengan memberi dukungan kepada tokoh yang memiliki kedekatan dengan elite kekuasaan ataupun elite parpol untuk tampil.

Tidak berjalannya fungsi rekrutmen politik membuat banyak parpol menjadi tidak menoleh pada kader yang mereka miliki. Nilai-nilai idealis untuk mencari orang terbaik yang akan diusung dalam mengisi jabatanjabatan politik dikalahkan oleh nilainilai pragmatis. Kader yang memiliki kemampuan, tapi tak memiliki akses kepada elite parpol dan kekuatan modal, menjadi terpinggirkan. Padahal, semakin berkualitas kader yang dimajukan, maka akan sangat besar kemungkinannya menghasilkan kinerja yang bagus pula.

Dengan kecilnya ongkos politik yang harus dikeluarkan karena tidak harus membayar "uang perahu" dan segala macamnya, akan semakin jauh pula perilaku korupsi dilakukan oleh ca lon terpilih. Pada kasus-kasus kepa la/wakil kepala daerah yang tersangkut korupsi, patut diduga merupakan upaya untuk mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan pada waktu pilkada.

Sudah waktunya parpol memperbaiki sistem rekrutmen politiknya yang berjalan selama ini. Harus ada kemauan politik dari para pemimpin parpol untuk merombak total sistem rekrutmen politik sehingga pada saatnya nanti telah tersedia kaderkader parpol yang mumpuni untuk mengisi jabatan-jabatan politik itu. Dalam waktu dekat, setidaknya de ngan menyeleksi kader-kader terbaik yang tak memiliki kekerabatan dengan petahana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement