Jumat 27 Mar 2015 20:08 WIB

RUU yang Mangkrak Sebelas Tahun

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Tak disangkal lagi, pekerja rumah tangga (PRT) adalah sosok pekerja yang dibutuh kan oleh kalangan rumah tangga di Indonesia. Bahkan berdasarkan data Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2009, jumlah PRT di seluruh dunia sudah mencapai lebih dari 100 juta orang. PRT juga tercatat sebagai kelompok pekerja perempuan terbesar secara global.

Di Indonesia dewasa ini, menilik data dari Jala PRT, terdapat sekurang-kurangnya 10,7 juta orang yang bekerja sebagai PRT. Mereka tersebar di kota-koa besar dan kecil. Para pemberi kerjanya sebagian besar adalah kelompok menengah dan menengah ke atas. Namun, tidak sedikit pula dari kelompok bawah menggunakan jasa PRT.

Dari jumlah itu, PRT saat ini diperkirakan mencapai 10 hingga 15 persen dari keseluruhan tenaga kerja Indonesia —baik yang formal dan informal— yang pada tahun 2012 berjumlah kurang lebih 112 juta. “Jumlah tersebut menunjukkan bahwa sanya menjadi PRT adalah pilihan pekerjaan yang bisa memberi kehidupan. Jumlah PRT pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,” kata Koordinator Nasional Jala PRT, Lita Anggraini, dalam keterangannya kepada Republika, di Jakarta, Rabu (25/3).

Dari stratifikasi sosial pemberi kerja, pada awalnya, pemberi kerja PRT adalah ka langan kelas atas saja. Namun, sejak industrialisasi, dari dekade 80-an, ang katan kerja perempuan semakin me ning kat dan orang yang mempekerjakan PRT tidak hanya dari kalangan kelas atas, tapi meluas juga dari kelas menengah dan juga kelas bawah.

UUD 1945 menjamin setiap warga negara Indonesia berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak (Pasal 27 ayat 2). Dengan demikian, seharusnya negara menjamin pula perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara dalam hal mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan tanpa membedakan pilihan profesinya sekalipun.

“Namun, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak yang demikian, tidak terjadi pada kaum PRT,” kata Lita. “PRT tidak diakui keberadaannya sebagai pekerja oleh negara. PRT bekerja tanpa jaminan perlindungan normatif atas hakhaknya sebagai pekerja sehingga rentan akan eksploitasi, pelanggaran hak-hak,” tambahnya.

Fakta menunjukkan pelanggaran HAM baik sebagai pekerja, perempuan, warga negara, dan manusia kerap terjadi pada PRT yang mayoritas adalah pe rempuan dan anak. PRT rentan berbagai kekerasan dari fisik, psikis, ekonomi, sosial. PRT berada dalam situasi hidup dan kerja yang tidak layak yang lekat pada perbudakan modern.

Menyikapi situasi tersebut, masyarakat sipil berkali-kali mendesak pemerintah dan DPR untuk mengambil jalan keluar yang tepat baik melalui perlunya pembuatan peraturan perundangan maupun kebijakan lainnya. “Namun, pemerintah dan DPR tidak mengeluarkan kebijakan yang memadai yang dapat menyelesaikan akar persoalan,” terang Lita.

Dijelaskan Lita lebih lanjut, upaya untuk mendesak pemerintah dan DPR untuk segera membuat aturan hukum dan perundang-undangan telah dilakukan oleh sejumlah kalangan khususnya oleh masyarakat sipil. Itu melalui upaya-upaya berupa audiensi dengan pemerintah dan DPR, dengar pendapat, mengeluarkan pernyataan sikap, petisi, rekomendasi penelitian, surat protes, aksi unjuk rasa. Namun pemerintah dan DPR hingga saat ini belum juga mengakomodasi desakan tersebut.

Sejak 2004

Mengutip keterangan Lita, perjalanan RUU PPRT ternyata sudah memasuki tahun kesebelas. RUU PPRT diajukan dan ma suk dalam Prolegnas DPR sejak 2004. Tapi, baru menjadi RUU Prioritas Prolegnas DPR 2010 dan dengan berbagai desakan masyarakat sipil – serikat buruh/pekerja, masuk menjadi Prioritas Prolegnas 2011, Prioritas Prolegnas 2012 dan Prioritas Prolegnas 2013 dengan perjalanan yang tidak mudah karena selalu ada upaya dari anggota DPR untuk menghentikannya.

Perdebatan yang muncul sangat alot dan menunjukkan resistensi anggota DPR sebagai majikan daripada sebagai wakil rakyat. Berbagai penolakan atas nama budaya, atas nama gotong royong. Meskipun fakta sudah jelas bahwa PRT memang sungguh bekerja dan PRT membutuhkan upah dan hak-haknaya. Sebagaimana war ga bekerja, setiap orang bekerja menginginkan penghidupan menjadi lebih baik.

Setelah melalui perjuangan tiada henti, diiringi berbagai aksi, RUU ini mulai dibahas DPR di 2012. Demikian pula Ko misi IX DPR sudah menunjukkan langkah dengan melakukan pembahasan RUU PPRT sepanjang 2012 dan 2013 termasuk melakukan kunjungan kerja untuk studi banding RUU PPRT ke Afrika Selatan dan Argentina pada tanggal 27-31 Agustus 2012. Uji publik ke daerah pada tanggal 27-28 Februari 2013. Kemudian Komisi IX DPR pada tanggal 25 Maret 2013 me lakukan finalisasi RUU PPRT untuk di serahkan ke Baleg DPR untuk diharmonisasi.

Pada tanggal 2 April 2013 Komisi IX DPR melalui surat resmi No 87/Kom IX/DPR RI/IV/2013 tertanggal 2 April 2013 menyerahkan RUU PPRT ke Baleg DPR untuk diharmonisasi. Baleg dan Komisi IX mengadakan Rapat Pembahasan RUU PPRT pada tanggal 5 Juni 2013 dan menyepakati untuk melakukan pembahasan sinkronisasi antara Baleg dengan Komisi IX pada tanggal 17 Juni 2013. Namun, hingga Masa Sidang 2013- 2014 DPR, belum terjadi pembahasan kembali di Baleg. Dan sekarang, RUU ini pun tak masuk prioritas pembahasan di 2015. Perjalanan panjang RUU PPRT masih belum berakhir.

Oleh Nurul S Hamami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement