Jumat 27 Mar 2015 20:04 WIB

Jangan Lupakan RUU Perlindungan PRT

Red: operator

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Penganiayaan yang berujung pada kematian seorang pekerja rumah tangga (PRT) oleh majikannya di Medan, Sumatra Utara, awal De sember 2014 lalu, menambah panjang lembaran potret buram per lin dungan PRT di Indonesia. Namun, se jauh ini tidak ada langkah konkret dari penye lenggara negara untuk menjamin kesela matan kerja mereka. Di tengah hangatnya kasus tersebut, pemerintah dan DPR justru ti dak memasukkan RUU Perlindungan PRT ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015, pada 9 Februari lalu.

Kasus di Medan semestinya semakin mengetuk hati pemerintah dan DPR untuk segera memberi payung hukum bagi para PRT. Bagaimanapun mereka adalah warga negara yang memiliki kesetaraan di depan hukum dan dijamin atas pekerjaan yang mereka pilih. Sebagaimana bunyi Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945: “(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, ja minan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Oleh karenanya, peristiwa di Medan seharusnya menjadi momentum bagi peme rintah dan DPR untuk memprio ritaskan pembahasan dan mengesahkan RUU PPRT. Sebab, itu bukanlah kasus pertama terkait penganiayaan terhadap PRT di Tanah Air. Apalagi RUU ini sudah mangkrak di DPR selama sebelas tahun. Tapi kenyataannya DPR dan pemerintah tidak tergerak hatinya untuk memasukkannya ke dalam Prolegnas 2015.

Data yang dikumpulkan oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), menunjukkan dari tahun 2012- 2013 terdapat 653 kasus kekerasan yang dapat terlihat karena ada lembaga yang mendampingi, serta adanya media dan publik yang memberitakan. Tahun 2104 terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT. Sebanyak 90 persen adalah multikasus dari mulai kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan perdagangan manusia, dengan pelaku adalah majikan dan juga agen penyalur. Dari kasus tersebut, 85 persen proses hukum berhenti di kepolisian.

“Persoalan PRT masih dianggap bukan persoalan ketenagakerjaan, dan dikaburkan. Akibatnya tidak ada kejelasan dalam acuan sistem dalam konteks hubungan kerja, mekanisme keberangkatan kerja, dan mekanisme pembekalan serta mekanisme penyelesaian perselisihan dan penanganan kasus PRT,” jelas Koordinator Nasional Jala PRT, Lita Anggraini, kepada Republika Rabu (25/3) lalu.

Menurut Lita, beberapa perangkat perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja seperti UU tentang Ketenagakerjaan No 13/2003 tidak mengatur tentang PRT. Beberapa peraturan perundangan di tingkat nasional yang bisa dikaitkan secara umum antara lain, adalah UU No 23 Tahun 2004 tentang Peng hapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perda gangan Orang, serta masing-masing KUHPerdata dan KUHPidana yang akan berlaku untuk kasus-kasus pelanggaran kesepakatan (kerja) dan penipuan atau pelecehan.

“Namun sekali lagi, bahwa peraturan perundangan tersebut tidak mengatur situasi kerja normatif PRT yang menjamin hak-hak PRT sebagaimana pekerja lainnya,” kata Lita lagi. Artinya, per aturan perundangan nasional yang secara khusus, jelas, dan komprehensif dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan situasi kerja layak PRT belum ada.

Terkait sebanyak 85 persen proses hukum berhenti di kepolisian, menurut Lita hal ini menjadi catatan pihaknya. “Penegakan hukum tidak berjalan dan tidak ada efek jera bagi pelaku yang kemudian melakukan tindakan penyiksaan berulang.”

Desak pemerintah dan DPR

Pemerintah Indonesia sudah menyatakan komitmennya di mata internasional mengenai dukungan dan adopsi terhadap Konvensi ILO tentang Kerja Layak bagi PRT. Bahkan, akan menjadikan acuan dalam melakukan perlindungan bagi PRT mig ran maupun PRT dalam negeri melalui pe nyusunan peraturan perundang-undangan yang efektif.

Konvensi itu tertuang pada pidato Presiden RI dalam Sesi ke-100 yang ber tema Kerja Layak, khususnya mengenai Pekerja Rumah Tangga. Presiden (saat itu) Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidatonya bahwa Pemerintah RI akan mendukung Konvensi Kerja Layak bagi PRT, yang dipastikan bahwa Sesi ke-100 ini akan mengadopsinya menjadi sebuah Konvensi. Presiden juga menegaskan bahwa konvensi ini dapat menjadi acuan bagi negara pengirim dan negara penerima guna melindungi PRT migran.

“Artinya, apa yang disampaikan oleh Presiden RI haruslah segera diwujudkan dalam tindakan politik yang konkret, komprehensif atas kebijakan di tingkat nasional untuk perlindungan baik PRT mig ran dan PRT yang bekerja di negeri sendiri,” terang Lita.

Demikian pula dengan DPR sebagai partner poltik dalam pembuatan kebijakan. “DPR harus segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT yang sudah diajukan oleh masyarakat sipil sejak tahun 2004.” Lanjut Lita.

Desakan juga datang dari Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) yang menuntut segera disah kannya RUU PPRT sebagai landasan hukum untuk mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak pekerja rumah tangga.

“Pada 2010, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga (PRT) sudah masuk dalam prolegnas, namun kandas dan tidak jadi disahkan. Pada tahun berikutnya, RUU PRT kembali ma suk ke prolegnas dan kembali tidak jadi disahkan,” kata Koordinator JPPRT, Aminah, se perti dikutip Antara.

Menurut Aminah, masih banyak persoal an yang dialami PRT di antaranya upah yang rendah, jam kerja lebih dari delapan jam sehari, tidak adanya jaminan kesehatan dan sosial, serta masih banyak PRT yang berusia kurang dari 18 tahun atau masih termasuk anak-anak.

Persoalan yang dialami PRT tersebut, lanjut dia, dilandasi oleh status kerja PRT yang belum diakui oleh pemerintah dan masyarakat sebagai pekerja. “Selama ini, PRT masih dianggap sebagai pembantu rumah tangga yang akhirnya membuat PRT kehilangan haknya sebagai pekerja,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, JPPRT pun menuntut agar RUU PPRT segera disahkan dengan delapan hal pokok yang harus tercantum di dalamnya yaitu pengakuan PRT sebagai pekerja karena unsur pekerja sudah terpenuhi dengan adanya hubungan kerja antara pemberi kerja dengan PRT serta adanya upah dan pekerjaan.

PRT juga memiliki beban kerja dan waktu kerja yang melebihi pekerja pada umumnya, sehingga perlu diatur waktu kerja, beban kerja dan kategori pekerjaan rumah tangga. Di dalam RUU PRT juga diatur tentang perjanjian kerja, upah, tunjangan hari raya (THR), waktu kerja, istirahat, cuti, jaminan sosial, pendidikan dan pelatihan serta usia kerja.

“Usia kerja ini menjadi perdebatan menarik karena faktanya masih banyak anak-anak yang bekerja di sektor ini. Karenanya, banyak anak yang tidak terpenuhi hak pendidikannya dan rentan menjadi sasaran kekerasan karena usianya belum dewasa,” kata Aminah pula.

Selain itu, RUU tersebut juga mengatur penyelesaian perselisihan antara PRT dengan pengguna jasa, karena seringkali hanya diselesaikan secara kekeluargaan sehingga posisi tawar PRT tidak terlalu kuat. “Karenanya, perlu ada mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan kerja yang tidak hanya dengan musyawarah namun juga bisa dengan merevisi UU Per selisihan Hubungan Industrial,” sebut Aminah.

PRT juga sama dengan pekerja lain sehingga memiliki hak untuk mendirikan serikat, bergabung menjadi anggota atau pengurus serikat tanpa intimidasi dari pihak manapun. “Kami juga mendorong Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk ikut melakukan pengawasan terhadap hubungan kerja PRT dan pengguna jasa agar ada jaminan perlindungan terhadap PRT,” katanya.

JPPRT juga berharap agar Balai Latihan Kerja (BLK) setempat menye diakan informasi kerja secara berkala dan mendorong penghapusan agen penyedia jasa. “Jika ada agen penyedia jasa, maka tidak diperbolehkan melakukan perekrutan, pendidikan dan penempatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktik perdagangan manusia,” ucap Aminah.

Melihat ratusan kasus yang menimpa PRT di Tanah Air dalam empat tahun terakhir, tentu saja negara tidak boleh absen di dalamnya. Itu harus ditunjukkan dengan memberikan perlindungan dan jaminan hukum bagi para PRT. RUU PPRT yang sudah digagas kalangan sipil dalam satu dekade semestinya segera dibahas untuk kemudian disahkan sebagai UU. Inilah peran penyelenggara negara –pe merintah dan DPR—dalam menjamin hak bekerja dan kepastian hukum para PRT. Jangan me nunggu sampai jauh korban lagi. 

Oleh Nurul S Hamami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement