Kamis 05 Mar 2015 15:00 WIB

Ben, Sang Penghibur

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Sebuah sado atau kereta beroda dua yang biasanya ditarik kuda, terpampang di depan halaman kantor dan studio Bens Radio di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Itulah kendaraan tradisional masyarakat Betawi. Sado, sepertinya menjadi simbol bahwa di situlah tempat berkomunikasi warga yang ingin mengetahui etnik Betawi.

 

Bens Radio memang tidak bisa dilepaskan dari figur sang penggagas dan pemiliknya, yakni Benyamin Suaeb atau lebih dikenal dengan sebutan Ben atau Bang Ben. “Bens adalah penggalan kata dari Benyamin Suaeb,” kata Biem Triani Benyamin, salah seorang anak dari seniman besar asal Betawi itu. Biem mengungkapkanhal tersebut melalui sambungan telepon, Selasa (3/3).

 

Biem yang sedang berada di Jombang, Jawa Timur, menelepon penulis dan menyatakan salut dan apresiasi karena masih ada wartawan yang peduli terhadap kiprah sang ayah. Apalagi pada 5 Maret ini, keluarga besar almarhum Benyamin Suaeb membuat acara khusus memperingati hari kelahiran Ben, seniman komplet.

 

Di tempat ini pula disediakan tiga ruangan yang bisa digunakan sebagai panggung berkesenian. Sejumlah grup musik anak-anak muda saat ini datang silih berganti untuk memngisi acara, sekaligus melantunkan lagu-lagu ciptaan Ben dengan versinya masing-masing.

 

Mengunjungi Bens Radio pada Senin (2/3) siang lalu, bagaikan masuk ke museum Benyamin, juga mengungkap keberadaan komunitas Betawi.  Bens Radio merupakan  unit Etnikom Network dengan format radio etnik. Tujuannya sebagai radio yang menggali potensi budaya Betawi agar pendengar dapat merasakan budaya, berkesenian dengan tradisi, bertutur dan berdialog dengan bahasanya sendiri.

“Budaya dan etnik Betawi terus-menerus beradaptasi dengan perubahan zaman, seiring dengan perubahan karakter audiens dan percepatan teknologi serta gaya hidup. Program radio etnik dikemas dalam balutan kreatif budaya masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang,” ujar  General Manager Bens Radio Iman Musaman.

Radio ini merupakan visualisasi dari gagasan dan pikiran Benyamin yang menginginkan berbagai radio daerah mengembangkan kekayan etnik setempat. “Kini kami telah memiliki 14 radio jaringan yang tersebar di Banten, Jawa Barat, Lampung, Sumatra Selatan, hingga Riau,” kata konsultan senior radio tersebut, Fandi Bagaskara.

 

Selain menampilkan kereta sado, rumah yang berdiri di lahan seluas sekitar 2.000 meter persegi itu juga menampilkan ornamen ukiran Betawi pada bagian atas rumah. Selain itu, di kantor dan studio dipenuhi sejumlah foto maupun lukisan penyanyi, pencipta lagu, pelawak, aktor, sutradara, pembawa acara, dan penyiar radio. Siapa lagi tokohnya jika bukan seorang Ben.

 

Ya, Ben tampil dengan kekocakan dirinya. Tidak dibuat-buat, tetapi apa adanya. Misalnya, foto Ben yang bergaya bagaikan bintang film Kung Fu asal Hong Kong, Bruce Lee. Namun, di situ ditulis Ben Lee. Ada juga lukisan dengan tulisan Ben Marley, Ben Hendrik, Benyamin Schwazeneger, dan Mr Ben. Benyamin dalam lukisan-lukisan tersebut mampu menirukan gaya bintang-bintang top dunia, baik pemusik, penyanyi, pemain film, dan pelawak.

 

Foto-foto maupun lukisan itu seolah ingin memberi kabar bahwa inilah seniman komplet. Ben juga bisa tampil dengan wajah serius. Hal itu terlihat pada ruangan rapat. Terpampang foto Ben sedang bersalaman dengan Presiden Soeharto di Istana Merdeka.

 

Piala Citra

Bukti-bukti keseriusannya dalam pengabdian dirinya sebagai aktor besar juga terpampang dalam sebuah lemari kaca. Di situ ada selendang warna merah marun yang mengungkapkan bahwa Ben bukan seniman asal-asalan. Dialah penerima Piala Citra untuk aktor pemeran utama pria terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 1973 dan 1977.

 

Pakaian-pakaian yang pernah digunakannya sebagai penyanyi, pemain film, dan juga pembawa acara top di negeri ini terpajang di lemari tersebut. Antara lain, jas dan pakaian kelasi pelaut TNI warna biru tua.

 

Foto-fotonya yang beradegan kocak, seperti terduduk di baskom besar dengan tampilan berkaos oblong dan berpeci juga terpasang di tembok dekat tangga ke lantai dua, kantor radio tersebut. Begitu juga sebagai Si Djampang dengan gaya kuda-kuda silat khas Betawi sambil mengayunkan golok di tangan kanan, sedangkan tangan kiri melindungi tubuhnya.

 

Di ruang rapat juga ada foto yang cukup mencolok Ben dengan “sang guru”, almarhum Bing Slamet. Keduanya sedang berada di studio dan menyanyikan lagu. Tidak ada penjelasan dari foto tersebut selain Benyamin dan Bing Slamet.

 

Saat mengunjungi “markas” radio Benyamin itu, Iman Musaman dan Ririn Aryanti sebagai Program Director memberikan kenang-kenangan buku Benyamin S: Muka Kampung, Reziki Kota karya Ludhy Cahyana dan Muhlis Suhaeri dengan editor Agus Sophian. Dalam buku tersebut juga terungkap bahwa Ben mengakui salah satu gurunya dalam berkesenian, yakni Bing Slamet.

“Bapak dengan almarhum Bing Slamet memang paduan seniman kocak. Bisa menyanyi, melawak, main film, dan pembawa acara. Mereka berkolaborasi, antara lain, melalui lagu ‘Nonton Bioskop’ yang masih digemari hingga saat ini,” ujar Bim, anak ketiga dari pasangan Benyamin Suaeb dengan Noni Marhaeni.

 

Dari hasil perkawinan Ben dengan Noni pada 1959, dikaruniai lima orang anak laki-laki, yakni Bieb Habani, Bob Benito, Biem Triani, Beno Rachmat, dan Benny Pandawa. Sedangkan dari perkawinan Ben dengan Alfiah pada 1981 dikaruniai tiga anak perempuan dan seorang laki-laki, yaitu Bayi Nurhayati, Billy Sabila, Bianca Beladina, dan Belinda Sahadati Amri.

 

Ada yang unik dari nama kesembilan anak Benyamin. Semuanya didahului dengan huruf B. Tentu saja sama dengan huruf depan nama sang ayah. Dalam buku tersebut anak-anaknya bisa menjaga silaturahim dengan baik walau berbeda ibu.

 

Selain itu, terdapat pula nama anak-anaknya yang turut berperan, seperti Bayi Nurhayati, Billi Sabila, dan Bianca Belladina dalam daftar pelaku distribusi buku. Sedangkan, sambutan keluarga oleh Biem Triani. Sedangkan, penggagas buku tersebut, yaitu Benny Pandawa.

 

Kendati dua keluarganya tinggal di wilayah selatan Jakarta, sesungguhnya Ben justru berasal dari Jakarta Pusat, tepatnya Kemayoran. Sebuah lokasi yang pernah dijadikan sebagai salah satu pangkalan Angkatan Udara Belanda. Maka saat agresi militer Belanda pada 1947-1949, daerah ini menjadi sasaran bom tentara Belanda. Bocah Ben dan keluarganya terpaksa harus disembunyikan dalam sebuah bunker yang dibuat kakeknya. 

 

Bintang Budaya

Terlahir dengan nama Bunjamin Suaeb, seperti tertulis dalam aktanya, belakangan ia ubah menjadi Benyamin Suaeb. Ia ingin namanya menjadi populer seperti nama tokoh kemerdekaan Amerika Serikat, Benjamin Franklin.

 

Ben terlahir sebagai anak kedelapan dari pasangan Suaeb dan Siti Aisyah. Ayahnya seorang tukang bubut dan montir mesin. Sedangkan ibunya, seorang ibu rumah tangga biasa. Ben lahir di Kampung Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta Pusat, 5 Maret 1939. Persalinannya menggunakan dukun beranak.

 

Ben merupakan cucu dari Rodiun, seorang haji sekaligus pendekar silat di Kemayoran. Rodiun adalah ayah dari Siti Aisyah. Namun, orang Betawi termasuk gemar menyingkat nama orang. Rodiun pun disapa dengan sebutan Ung.

 

Setelah berhaji, namanya dipanggil menjadi Haji Ung, lalu disingkat lagi menjadi Jiung. Ia seorang terpandang yang memiliki lahan membentang di kawasan Kemayoran. Maka tak usah heran jika menemukan nama jalan di Kemayoran sebagai Jalan Haji Ung. Masyarakat setempat menyingkatnya menjadi Jalan Jiung.

 

Kelak pemerintah memberikan penghargaan khusus kepada pionir musisi Betawi ini. Pertama, dalam surat keputusan Gubernur DKI Jakarta tertanggal 6 Desember 1995. Bentuk penghormatan itu dengan memberikan nama jalan di landasan pacu Kemayoran menjadi namanya, Jalan Benyamin Suaeb.

 

Tentu bukan tanpa sebab karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menganggap Ben sebagai salah satu ikon kota ini. Ia bukan hanya sebagai peraih dua Piala Citra melalui film Intan Berduri dan Si Doel Anak Modern.

Ben juga penerima tanda jasa negara berupa Bintang Budaya Parama Dharma. Bintang itu diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada perwakilan keluarga di istana negara pada Selasa, 8 November 2011.

Bisa dibilang penganugerahan bintang tersebut terlambat karena diperoleh setelah Ben wafat, enam tahun sebelumnya. Penganugerahan tersebut merupakan sebuah tanda kehormatan negara tertinggi di bidang kebudayaan. Tidak banyak seniman atau budayawan yang memperolehnya. Antara lain yang memperoleh, yakni Gesang, Titiek Puspa, dan Benyamin Suaeb.

“Keluarga tidak mempersoalkan walau pemberian bintang jasa itu dilakukan setelah bapak (Benyamin) tutup usia. Apa pun, kami mengucapkan terima kasih kepada pemerintah atas nama bangsa dan negara yang telah menganugerahkan bintang budaya kepada almarhum,” ujar Biem. 

Dengan bintang jasa negara tersebut, seseorang berhak mendapatkan kehormatan dengan upacara militer dalam pemakamannya. Dunia militer sesungguhnya juga bukan hal yang baru bagi Ben. Ia pernah tercatat sebagai pegawai sipil di Kodam Jayakarta. Diawali di bagian korps musik sejak 1957-1958, kemudian pindah ke bagian amunisi peralatan pada 1959-1960. Di situlah Ben mengikuti latihan dasar kemiliteran pada 1960.

 

“Mungkin karena pernah melebur menjadi bagian dari pegawai di Kodam Jaya, almarhum sangat disiplin dalam soal waktu,” kata Biem.

 

Hal itu juga dibenarkan oleh Agus Jiung, keponakan Ben. Agus sempat tiga tahun mengemudikan mobil Ben sebelum seniman serba bisa itu wafat pada 5 September 1995. Ketika mengantarkan Ben untuk pembuatan film, menyanyi, maupun membawakan acara, Ben selalu datang lebih awal dari waktu yang ditentukan.

 

“Satu jam atau setengah jam dari waktu yang ditentukan, kami sudah harus ada di lokasi. Beberapa kali saya menyaksikan beliau marah terhadap beberapa artis muda yang tidak menghargai waktu. Benyamin biasanya menghardik, ‘Artis kampungan, tidak disiplin!’,” ujar Agus.

 

Karena itu pula, ia melanjutkan, sejumlah artis muda segan dan takut jika ketahuan terlambat oleh Ben di lokasi acara. Kebesarannya sebagai seorang artis juga diakui teman sebayanya, Bob Tutupoly. Penyanyi senior itu mengaku beberapa kali berada dalam satu panggung menyanyi atau acara lain bersama Benyamin.

 

“Banyak yang bilang dia norak atau kampungan, tetapi nyatanya dia memiliki disiplin waktu yang tinggi. Kami seperti beradu cepat ke lokasi acara. Kebetulan kami dulu tinggal di satu kawasan Pondok Labu. Jadi, kalau dia disebut kampungan, itu tidak benar. Sebab Benyamin memiliki dispilin yang tinggi dan profesional,” ujar Bob.

Bukti profesionalitasnya, antara lain, dua kali memperoleh penghargaan tertinggi di bidang film sebagai peraih Piala Citra untuk pemeran utama terbaik pria.  

 

Ben, Bob melanjutkan, beberapa kali mencurahkan masalah pribadi kepada dirinya. Mungkin, karena sama-sama senior dan seusia sehingga tidak sungkan atau malu. “Saya tahu dia bisa menyanyi macam-macam genre musik, bukan cuma musik asli Betawi saja.”

 

Itulah kompletnya Ben, sang penghibur sejati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement