Jumat 06 Feb 2015 17:48 WIB

‘Lindung Diri’ Ala Cina

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Cina belajar banyak dari peretasan. Upaya membangun perlindungan pun terus dilakukan. Baru-baru ini Pemerintah Cina mengeluarkan peraturan baru yang mewajibkan perusahaan yang menjual peralatan komputer untuk bank-bank Cina untuk menyerahkan kode sumber rahasia, tunduk pada audit invasif, dan membangun apa yang disebut ‘pintu belakang’ (back door) ke dalam perangkat keras dan perangkat lunak.

Aturan baru tercantum dalam dokumen 22 halaman yang disetujui pada akhir tahun lalu adalah yang pertama dalam serangkaian kebijakan yang diharapkan akan diresmikan dalam beberapa bulan mendatang. Beijing mengatakan, peraturan ini dimaksudkan untuk memperkuat cyber security dalam industri penting Cina.

Dokumen yang dirilis oleh Edward J Snowden, mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS, mengungkapkan upaya peretasan AS atas industri di Cina. Disebutkan dalam dokumen itu, lembaga mata-mata siber ini mencoba untuk memasuki sistem Huawei, baik untuk mencari tahu siapa yang mengendalikan perusahaan maupun menciptakan “pintu” agar AS bisa mengeksploitasi.

Atas dasar ini, Pemerintah Cina bertindak sigap. Komite keamanan siber—Central Leading Group for Cyberspace Affairs—didirikan dan dipimpin langsung oleh presiden. Komite ini disebut-sebut juga berusaha untuk menyapih dari ketergantungan pada teknologi asing, tujuan lama yang diperkuat dengan bocoran informasi dari Snowden.

Para analis mengatakan, kebijakan Cina yang baru seperti aturan perbankan dan hukum antiterorisme yang masih dalam bentuk draft akan menyebabkan aktivitas bisnis perangkat keras dan lunak asing semakin sulit di Cina. “Saya pikir mereka jelas menargetkan vendor asing yang beroperasi di Cina,” kata Matthew Cheung, seorang peneliti di perusahaan analisis Gartner. “Mereka mempromosikan teknologi lokal sehingga penyedia lokal yang memiliki kemampuan untuk menyediakan sistem untuk perusahaan-perusahaan ini bisa mendapatkan pangsa pasar yang lebih.”

Misalnya, aturan bank mengatakan, 75 persen dari produk teknologi yang digunakan oleh lembaga Cina harus diklasifikasikan sebagai “aman dan terkendali” pada 2019. Analis mengatakan “aman dan terkendali” - sebuah frase baru dalam kebijakan teknologi Cina - mungkin terbuka untuk interpretasi, namun pada praktiknya sangat sulit untuk memenangkan klasifikasi itu untuk produk mereka.

Bagi kebanyakan komputasi dan jaringan peralatan, kode sumber harus diserahkan kepada para pejabat Cina. Tapi, banyak perusahaan asing tak akan bersedia mengungkapkan kode karena kekhawatiran tentang hak kekayaan intelektual, keamanan, dan, dalam beberapa kasus, aturan ekspor Amerika Serikat.

Aturan baru juga menyerukan bagi perusahaan yang ingin menjual alatnya kepada bank di Cina wajib mendirikan pusat penelitian dan pengembangan di Cina, mendapatkan izin untuk pekerja servis peralatan teknologi, dan membangun port untuk memungkinkan pejabat Cina untuk mengelola dan memantau data yang diproses oleh perangkat keras mereka.

Perusahaan Cina juga harus mengikuti peraturan baru itu. Namun, bagi mereka akan lebih mudah karena untuk sebagian besar, pelanggan inti mereka ada di Cina.

RUU antiterorisme bergerak lebih jauh lagi. Dalam aturan hukum yang baru itu nantinya semua perusahaan wajib menyimpan semua data yang terkait dengan pengguna Cina hanya pada server yang berada di Cina, membuat metode untuk konten pemantauan ancaman teror, dan memberikan kunci untuk enskripsinya kepada otoritas keamanan publik Cina.

Untuk perusahaan multinasional, pasar Cina terlalu besar untuk diabaikan. Cina diperkirakan akan menghabiskan 465 miliar dolar AS pada 2015 pada teknologi informasi dan komunikasi, menurut perusahaan riset IDC. Lembaga ini mengatakan, perluasan pasar teknologi Cina akan mencapai 43 persen dari pertumbuhan sektor teknologi di seluruh dunia.

Dalam surat yang dikirim pada komite urusan cybersecurity Partai Komunis Cina yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping, kelompok usaha asing keberatan dengan kebijakan baru. Kelompok, yang antara lain terdiri atas Kamar Dagang dan Industri AS di Cina, menyerukan “diskusi mendesak dan dialog” tentang apa yang mereka katakan sebagai “tren” terhadap kebijakan cybersecurity.

Surat itu, seperti diberitakan New York Times adalah salvo terbaru dalam mengintensifkan tit-for-tat antara Cina dan AS atas keamanan online dan kebijakan teknologi. Sementara, Amerika Serikat telah menuduh militer Cina meretas dan mencuri dari perusahaan-perusahaan AS, Cina menggunakan alasan kekhawatiran tindakan mata-mata badan AS di luar negeri sebagai alasan untuk menyingkirkan teknologi AS secepat mungkin.

Filter Internet Cina bergerak untuk menciptakan dunia dengan dua internet, satu Cina dan satu global. Kebijakan baru lebih lanjut memaksa pembuat hardware dan software untuk membuat produk yang berbeda secara signifikan bagi kedua negara AS dan Cina.

Beberapa perusahaan teknologi terbesar di AS bisa terluka oleh aturan ini, termasuk Apple. Perusahaan ini menggunakan metode enkripsi baru pada iPhone 6 yang didasarkan pada algoritma matematika yang rumit terkait dengan kode unik untuk setiap ponselnya. Apple mengatakan tidak memiliki akses ke kode itu, tetapi di bawah hukum antiterorisme yang diusulkan, akan diminta untuk memberikan kunci sehingga Pemerintah Cina dapat mendekripsi data yang tersimpan di dalam perangkat iPhone.

Zuo Xiaodong, wakil presiden Cina Information Security Research Institute, mengatakan, kebijakan baru dan dorongan yang lebih luas untuk inovasi dalam negeri tidak dimaksudkan untuk menghilangkan perusahaan asing dari pasar Cina. “Kita bekerja dalam saling ketergantungan satu sama lain. Jika orang lain menghentikan layanan, apa yang bisa kita lakukan?” katanya, mencontohkan betapa mereka juga “direpotkan” ketika Microsoft menghentikan dukungan pada program Windows XP.

Ia juga menyatakan, industri perbankan tak ada pilihan untuk menggunakan perangkat asing karena memang belum ada industri dalam negeri yang bisa menciptakannya.

“Bank membeli senilai miliaran dolar AS untuk hardware dan software untuk mengelola transaksi karena perusahaan Cina belum bisa menghasilkan server yang lebih high-end dan mainframe mereka bergantung pada alat asing,” katanya.***

Siwi Tri Puji B

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement