Selasa 27 Jan 2015 17:00 WIB

Islamofobia di Meja Peneliti

Red:

Peneliti mendefinisikan Islamo fo bia secara berbeda, tapi esensi istilah ini pada dasarnya sama: se buah ketakutan berlebihan, kebencian, dan permusuhan terhadap Islam dan Muslim yang diabadikan oleh ste reotip negatif yang mengakibatkan bias, diskriminasi, dan marginalisasi serta eksklusi Muslim dari kehidupan sosial, politik, dan kemasyarakatan.

Banyak yang menyebut fobia ini muncul setelah Tragedi 11 September 2001—biasa disingkat 9/11—saat aksi tero risme dilakukan dengan menab rak kan pesawat dan meruntuhkan me nara kembar WTC di Amerika Serikat. Namun sejatinya, Islamofobia telah ada jauh se belum itu dan meningkat frekuen sinya selama dekade terakhir. Runnymede Trust, sebuah lembaga think tank sayap kanan di Inggris, misalnya, mengidenti fikasi delapan komponen Islamofobia pa da laporannya tahun 1997, dan kemudian menghasilkan laporan tindak lanjut pada 2004 setelah 9/11 dan tahun-tahun awal perang Afghanistan dan Irak. La poran kedua tentang fobia Islam diluncurkan setelah serangan teroris pada 2005 yang membuat hidup lebih sulit bagi Muslim di Inggris.

Lembaga Survei Gallup beberapa tahun lalu juga mengembangkan satu set khusus analisis, berdasarkan pengu kuran pendapat publik mayoritas dan minoritas kelompok di beberapa negara untuk memandu pembuat kebijakan dalam upaya mereka guna mengatasi ma salah global Islamofobia. Gallup me nunjukkan bahwa AS mengidentifikasi lebih dari 160 tersangka teroris Muslim- Amerika dan pelaku tindakan teror da lam satu dekade sejak 9/11. Liputan me dia membawa tersangka terorisme Muslim- Ame rika ke tingkat internasional, menciptakan ke san—mungkin secara tidak sengaja—bahwa terorisme Muslim-Amerika lebih menonjol. Mereka mengesampingkan fakta bahwa sejak 9/11, komunitas Muslim-Amerika telah membantu aparat keamanan dan penegak hukum mencegah hampir dua dari setiap lima plot teroris Alqaidah yang mengancam AS, dan juga bahwa tips dari komunitas Muslim-Amerika adalah sumber informasi awal bagi pihak berwenang untuk menggulung jaringan itu.

Secara global berdasar penelitian Gallup, banyak umat Islam melaporkan tidak merasa dihormati oleh orang-orang di Barat. Secara khusus, 52 persen warga AS dan 48 persen war ga Kanada mengatakan Barat tidak menghormati masyarakat Muslim. Persentase yang lebih kecil muncul di Italia, Prancis, Jerman, dan Inggris.

Beberapa elemen dapat memengaruhi interaksi dan tingkat penghormatan antara masya rakat Muslim dan Barat. Perbedaan budaya, agama, dan kepentingan politik dapat membentuk opini satu populasi terhadap yang lain. Isla mo fobia dalam kaitan ini cenderung didasarkan pada ketakutan atau kebencian pada umat Islam karena alasan politik atau budaya mereka, serta sikap religiositas umat Islam.

Contoh dari praktik Islamofobia ada di berbagai negara. Pada akhir 2009, partai terbesar di par lemen Swiss melakukan referendum la rang an pembangunan menara. Hampir 60 persen dari pemilih Swiss dan 22 dari 26 wilayah mendukung larangan tersebut, yang menyebabkan teriakan Islamofobia oleh para pemimpin di negara-negara, seperti Pakistan, dan organisasi- organisasi seperti PBB.

Dalam memandang fobia Islam dan intoleransi, mereka cenderung mendua. Ketika pada bulan berikutnya setelah referendum Gallup melakukan survei terkait hal ini, kebanyakan warga Swiss mengatakan bahwa kebebasan beragama adalah penting bagi identitas Swiss. Meskipun perdebatan yang sangat umum pada pelarangan simbol agama Islam, banyak penduduk Swiss tidak percaya bahwa komunitas Muslim Swiss harus merasa didiskriminasi.

Center for American Progress dalam pene liti an bertajuk "Fear, Inc." menyebut promosi Is lamofobia menciptakan prasangka dan dis kriminasi bagi komunitas Muslim di AS. Pra sang ka memainkan peran kunci dalam kebera da an dan proliferasi Islamofobia. Prasangka saja, sebagai penilaian negatif, pendapat, atau si kap, adalah kerugian bagi kesejahteraan ke seluruhan populasi. Prasangka dikombinasikan dengan tindakan nyata, naik ke tingkat diskriminasi, menciptakan lingkungan yang berbahaya bagi korbannya.

Di AS, sekitar satu-setengah dari sampel perwakilan nasional dari Mormon, Protestan, Katolik, Muslim, dan Yahudi sepakat bahwa secara umum kebanyakan orang Amerika berprasangka terhadap Muslim. Secara khusus, 66 persen umat Yahudi dan 60 persen Muslim mengatakan bahwa warga AS pada umumnya berprasangka buruk terhadap kaum Muslim Amerika.

Sebanyak 48 persen Muslim Amerika mengatakan mereka mengalami diskriminasi ras atau agama, setara dengan kaum Hispanik (48 persen) dan Afrika-Amerika (45 persen), yang dihitung dari kombinasi kelompok-kelompok yang sama. Arab-Amerika (52 persen) adalah yang paling banyak menyatakan mereka mengalami diskriminasi.

Dari survei Gallup ditemukan bahwa pengetahuan yang mereka dapatkan tentang agama Islam, entah akurat atau tidak, tampaknya memengaruhi persepsi mereka terhadap kaum Muslim. Warga Amerika yang mengatakan mereka tidak memiliki prasangka pribadi terhadap Muslim, 29 persen dari mereka me ngatakan tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang Islam. Bahkan, orang-orang yang mengatakan bahwa mereka tidak berprasangka terhadap Muslim umumnya adalah mereka tidak memiliki pengetahuan tentang Islam.

Dalam survei itu, juga dinyatakan keakraban dengan individu Muslim membuat perbedaan dalam tingkat prasangka pribadi terhadap umat Islam. Lima puluh tiga persen dari orang-orang Amerika yang mengatakan bahwa mereka tidak berprasangka terhadap Muslim mengatakan mereka tahu seseorang yang mempraktikkan ajaran Islam.

Gallup menemukan Muslim Amerika, bagaimanapun, adalah salah satu kelompok agama yang paling terintegrasi di AS. Dalam Gallup Religious Tolerance Index, yang me ngukur sikap masyarakat terhadap agama yang berbeda dari mereka mengategorikannya menjadi tiga, yaitu terisolasi, toleran, dan terintegrasi. Di antara kelompok agama di AS, 44 persen Muslim Amerika masuk dalam katagori terintegrasi, setara dengan Mormon (46 persen) dan lebih besar dari Yahudi Amerika (36 persen), Protestan (35 persen), dan Katolik (34 persen).

Maka, tak heran ketika Presiden Amerika Serikat Barack Obama menitipkan pesan kepada Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk tak salah bersikap mengantisipasi meningkatnya fobia Islam di benua Eropa. Ia mengingatkan negara-negara di Uni Eropa untuk "tidak hanya merespons dengan palu" saja, tetapi mengintegrasikan Muslim ke dalam masyarakat. Amerika belajar banyak sejak 9/11.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement