Senin 26 Jan 2015 15:00 WIB

Menimbang Uji Publik

Red:

Pilkada "rasa baru". Kalimat ini pantas disematkan pada pelaksanaan pilkada yang akan berlangsung dengan menggunakan undang-undang yang baru. Ada beberapa hal baru terkait pelaksanaan pilkada, salah satunya adalah soal uji publik bagi bakal calon yang akan mengikuti proses pilkada.

Adanya uji publik calon kepala daerah tercantum dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) huruf b, dan Pasal 7 huruf d Perppu Pilkada yang akan disahkan menjadi UU. Oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudho yono saat itu, yang mengajukan perppu tersebut, uji publik bertujuan agar dapat mencegah calon yang integritasnya buruk dan kemampuannya rendah.

Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi II DPR pekan lalu, Prof Ramlan Surbakti dari Universitas Airlangga, Surabaya, tidak setuju uji publik masuk dalam tahapan pilkada. Kata dia, uji publik cukup dimasukkan ke dalam proses pencalonan oleh partai politik atau gabungan partai.

"Saya menyebut ini uji publik internal dilakukan oleh partai, dan uji publik eksternal oleh masyarakat. Uji publik internal hasilnya penentuan calon yang diusung oleh partai. Sebetulnya uji publik ini tidak ada gunanya karena tidak memiliki dampak. Hal ini tidak perlu diatur didalam pasal tetapi di pasar, artinya silahkan masyarakat yang menentukan," jelas Ramlan.

Ramlan juga mengusulkan adanya perumusan ketentuan soal pemilu bakal calon di internal partai. Isi ketentuan ini akan mengatur pengajuan seorang bakal calon kepala daerah. Pemilihan pendahuluan oleh anggota partai dibuktikan oleh berita acara hasil penghitungan suara pemilihan pendahuluan. Seperti dikutip rumahpemilu.org, berita acara itu nantinya wajib diserahkan kepada KPU kabupaten/kota atau KPU pro vinsi ketika menyerahkan nama calon untuk kemudian diverifikasi.

"Sebelum pemilihan pendahuluan dilaksanakan, sejumlah calon yang berkompetisi berdialog dengan para anggota dalam rapat anggota yang dikoordinasi oleh partai. Proses pemilihan penda huluan merupakan uji publik secara internal partai. Uji publik secara eksternal dilakukan pada hari pemungutan suara," kata Ramlan.

Namun, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris tidak sependapat dengan Ramlan. Menurutnya, uji publik dalam proses tahapan penyelenggaraan pilkada tak bisa dikembalikan kepada partai, apalagi dihapus dalam jadwal. Selain itu, dia menyatakan KPU sebagai penye lenggara pemilu harus terlibat, meski tak secara langsung.

"Kalau uji publik dikembalikan ke partai, namanya bukan uji publik. Saya jelas tidak setuju jika uji publik ini dikembalikan kepada partai. Kebetulan saya agak getol mengampanyekan uji publik ini, supaya tidak main-main dalam mengajukan calon pilkada itu," kata Syamsuddin, dalam laman pemilu yang dikelola oleh Perludem ini, Jumat (23/1).

Tahapan uji publik dalam pilkada sempat dikritik dalam Rapat Dengar Pendapat antara sejumlah fraksi di DPR dan penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kamis (22/1). Sejumlah fraksi menyatakan, pengajuan bakal calon kepala daerah adalah ranah partai pengusung, sehingga uji publik terhadap mereka seharusnya dilakukan oleh partai yang bersangkutan.

Syamsuddin berpendapat lain. Menurut dia, uji publik harus ada, sebab sebelumnya proses semacam itu tak pernah ada dalam partai ketika mereka me nga jukan bakal calonnya. Dia juga menilai, proses tahapan uji publik dalam Perppu Pilkada yang telah disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang, terlalu lama. Waktu tiga bulan pelaksanaan uji publik, menurutnya, dapat dipangkas,untuk memperpendek jadwal penyelenggaraan pilkada.

"Tapi [uji publik] jangan dihilangkan, karena banyak pihak, termasuk partai, yang mengusulkan itu ditiadakan. Padahal itu sesuatu yang signifikan dalam konteks kebutuhan kita dalam mencari kepala daerah yang memiliki kompetensi," kata Syamsuddin.

Syamsuddin memang seringkali mengusulkan agar dalam UU Pilkada ada memuat tentang uji publik bagi setiap kandidat. "Ini perlu ada agar tak semua orang yang merasa populer bisa maju dalam pencalonan di pilkada. Artinya, yang maju adalah mereka yang kompeten dan memenuhi kepantasan menjadi pemimpin karena sudah melalui uji publik," katanya dalam diskusi publik terkait RUU Pilkada di Jakarta awal Oktober tahun lalu.

Menurut dia, tujuan pemilu termasuk pilkada bukan hanya memilih pemimpin atau wakil-wakil rakyat saja. Tapi lebih dari itu, juga memilih orang-orang yang akuntabel. Namun, lanjutnya, skema pemilu-pemilu kita belum didesain untuk menghasilkan pemimpin/wakilwakil rakyat yang akuntabel.

"Tengok saja mulai dari pemilu legislatif sampai pilkada. Dalam pemilu legislatif kita tak bisa yakin yang kita pilih akan bertanggung jawab kepada kita semua. Sebab, jumlah daerah pemilihan (dapil) terlalu besar dan banyak," kata Syamsuddin. "Bagaimana kita bisa yakin wakil-wakil kita akan akun tabel kalau kita sendiri tidak tahu wakil-wakil kita."

Syamsuddin mengakui, sistem pemilu In donesia memang membuka peluang munculnya pemimpin yang tak akun tabel. Skema pemilu presiden dan pilkada juga sama. Tidak menjamin munculnya pemimpin yang kompeten. Ini karena mekanismenya sangat normatif administratif. Setiap pasalnya tak ditemui mekanisme calon itu kompeten. Parpol dan pemerintah tak berjuang untuk itu.

Tekan kekerabatan politik

Dimasukkannya pasal mengenai uji publik kepada bakal calon kepala daerah sangat terkait dengan upaya untuk me nekan kekerabatan politik (dinasti politik), yang marak dalam pilkada selama sepuluh tahun ini. Di sini nantinya akan ada uji integritas dan kompetensi. Masyarakat pun sejak awal bisa menilai, siapa calon yang layak atau tidak, apa kah punya potensi korupsi, dan sebagainya.

Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, pernah mengatakan sebanyak 10 persen kepemerintahan di Indonesia menerapkan dinasti politik. Masyarakat mungkin ternganga-nganga melihat kenyataan ini. Mantan bupati Kediri dua periode, Sutrisno, seperti tak kehilangan "kekuasaannya". Jabatan publik yang diembannya sejak 2000 hingga 2010 tidak lari ke mana-mana. Istri tuanya, Haryanti, yang melanjutkannya sampai 2015 nanti.

Haryanti menggantikan suaminya sebagai bupati Kediri setelah dalam Pilkada 2010 tampil sebagai pemenang. Uniknya, dalam kontestasi kepala daerah tersebut Haryanti tak hanya menga lahkan lawan-lawan politiknya, tapi juga istri kedua suaminya, Nurlaila, yang harus puas di tempat ketiga.

Cerita tentang kekerabatan politik atau populer dengan sebutan dinasti politik tak hanya menjadi milik keluarga Sutrisno. Masih banyak lagi cerita serupa bisa ditemui dalam pengisian jabatan kepala daerah pascareformasi politik tahun 1998 silam.

Hal tersebut bisa terjadi karena tak ada larangan bagi istri, anak, maupun keluarga kepala daerah petahana untuk maju dalam pilkada menggantikan suami ataupun ayahnya. Namun, hal ini tentu tidak baik bagi keberlangsungan demokrasi. Bila dibiarkan, kekuasaan pada akhirnya hanya dimiliki oleh segelintir orang. Selain itu, sirkulasi elite yang diharapkan membawa angin segar bagi perubahan tidak menjadi keniscayaan.

Apalagi bila individu yang tampil tak memiliki kompetensi untuk duduk sebagai pejabat publik. Dia hanya diuntungkan oleh kedudukan keluarganya yang masih menjabat sebagai kepala daerah. Hal ini sedikit banyak akan merugikan kandidat lainnya yang tak memiliki akses terhadap sumber-sumber kekuasaan dan ekonomi.

Pemerintah menginginkan tidak terjadi lagi estafet kepemimpinan kepala daerah dalam satu kekerabatan tanpa selang waktu masa jabatan. Dalam Draf RUU Pilkada yang diusulkan pemerintah pada awal-awal pembahasannya, calon kepala daerah tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan kepala daerah yang sedang menjabat, kecuali ada selang waktu minimal satu kali masa jabatan.

Namun, fraksi-fraksi di DPR saat itu terbelah pendapatnya mengenai usulan pemerintah terkait kekerabatan politik dalam pengisian jabatan kepala daerah. Mereka yang tak setuju dengan usul ini mengingatkan akan rentannya gugatan lantaran aturan tersebut tdak sesuai dengan konstitusi yang memberikan hak yang sama kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam pengisian jabatan-jabatan politik.

Sebagai jalan kompromi, Panitia Kerja RUU Pilkada Komisi II DPR kala itu sepakat diadakannya uji publik enam bulan sebelum pilkada terhadap para bakal calon kepala daerah, sebagaimana usulan pemerintah. Uji publik dilakukan untuk menimbang kompetensi dan integritas bakal calon yang akan maju dalam kontestasi pilkada.

Menurut Ketua Komisi II DPR saat itu, Agun Gunandjar Sudarsa, kebijakan uji publik ini dibuat untuk menekan fenomena "jual tiket" dalam proses pencalonan di masing-masing parpol. "Karena selama ini ada parpol yang tiba-tiba di detik-detik terakhir, langsung menjadikan pasangan calon. Sementara publik belum mengetahui rekam jejak pasangan tersebut," kata Agun dalam website pribadinya, kangagun.com, Senin (2/3).

Dalam RUU Pilkada nanti, jelas Agun, Komisi II DPR bersama Pemerintah akan memasukkan persyaratan uji publik berupa serangkaian tes kompetensi dan tes integritas. Syarat ini harus dilewati oleh bakal calon kepala daerah, sebelum tampil sebagai calon dalam pilkada baik melalui parpol maupun jalur independen.

Terlepas dari pro-kontra terhadap uji publik apakah dilakukan oleh internal partai atau dilakukan secara terbuka oleh sebuah tim mandiri yang dibentuk oleh KPU, langkah ini sangat positif. Dengan adanya uji publik, masyarakat akan mengetahui mana bakal calon yang memiliki integritas serta kompetensi, serta mana yang tidak. Kecuali itu, juga untuk menghindari munculnya figur yang hanya karena memiliki modal uang besar mendapat prioritas oleh partai untuk dicalonkan sebagai kepala daerah.

Oleh Nurul S Hamami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement