Selasa 06 Jan 2015 15:00 WIB

Deny Rahardian, Direktur Eksekutif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP): Segera Implementasikan One Map Policy

Red:

Konflik antara pemerintah, pihak korporasi dan masyarakat adat terkait kepemilikan lahan bukan barang langka di Indonesia. Meski begitu, sengketa tersebut mengalami peningkatan. Apa sebabnya dan bagaimana menyelesaikannya? Republika mewawancarai Direktur Eksekutif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Deny Rahardian terkait hal itu. JKPP bergerak dalam bidang pemetaan wilayah masyarakat adat.

Bisa digambarkan bagaimana akar konflik tanah adat di Indonesia?

Kehutanan selama ini adalah salah satu lembaga yang menguasai lahan Indonesia. Sekitar 140 juta hektare wilayah Inadonesia dianggap sebagai kawasan hutan. Itu ditentukan oleh kehutanan sendiri. Padahal, di sana ada masyarakat, desa tua, mereka mengelola wilayah tersebut.

Tetapi, tiba-tiba mereka dianggap masuk di dalam kawasan hutan. Masyarakat harus meninggalkan wilayahnya. Apalagi di taman nasional, tiba-tiba kawasan hutan itu bisa dipinjam-pakaikan kepada swasta. Selain itu, tiba-tiba masuklah perizinan di situ. Yah, mau nggak mau, masyarakat harus pergi. Masyarakat yang terusir.

Mengapa baru belakangan kita lihat peningkatan sengketa antara masyarakat adat dengan perusahaan atau pemerintah?

Sebenarnya sengketanya sudah lama, dari dulu sering terjadi. Tapi ,sekarang ini mungkin eskalasinya lebih tinggi. Mungkin karena ada peluang-peluang yang bisa kita gunakan, yaitu peluang kebijakan dari pemerintah sebagai alternatif penyelesaian konflik lahan antarmasyarakat adat, lokal, dengan konsesi atau pemerintah.

Kalau dulu, ada kebijakan pemerintah yang cukup represif dengan zaman Orde Baru. Tak ada peluang sama sekali bagi masyarakat untuk penyelesaian sengketa tanah. Tetapi, dengan pengembangan pemerintahan lebih regulatif, lalu ada kebijakan, itu membuka peluang-peluang penyelesaian konflik lahan.

Dahulu, kita sama sekali tak diberikan peluang. Ujung-ujungnya, masyarakat banyak dicap sebagai "PKI". Tapi, perkembangan pemerintahan yang lebih demokratis, apalagi sekarang dengan adanya kebijakan baru yang cukup progresif bagi masyarakat, yah, itu jadi peluang.

Seberapa luas tanah adat yang sudah dipetakan?

Pemetaan partisipatif ini mulai ada di Indonesia pada 1992-an. Seiring berjalannya waktu, pemetaan terus dilakukan. Sekarang sudah 5,4 juta hektare yang sudah dipetakan di seluruh Indonesia. Masyarakat sendiri yang memetakan. Difasilitasi oleh fasilitator yang berlatih di Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Dari 5,4 juta hektare ini, 4,9 juta adalah wilayah adat. Sisanya adalah wilayah klaim untuk penyelesaian konflik.

Lalu, sebenarnya peta partisipatif misalkan untuk peta desa, kami harap bisa menjadi salah satu percepatan untuk batasan desa. Dari sekitar 77 ribu desa yang ada, baru 19 persen yang sudah definitif. Dari Indonesia merdeka sampai sekarang, baru 19 persen desa yang sudah mempunyai peta. Itu menurut Badan Informasi Geospasial (BIG). Bayangkan, berapa puluh ribu lagi yang belum.

Apa yang mendasari perlunya pemetaan partisipatif wilayah adat belakangan?

Logikanya, negara ini dibagi menjadi administrasi, menjadi provinsi, dibagi lagi menjadi kabupaten, kecamatan, desa. Jadi, sebenarnya negara ini habis dibagi oleh desa. Tetapi sering disebut ada desa di dalam hutan, padahal terbalik. Yang ada, hutan di dalam desa. Administrasi terkecil adalah desa.

Pemetaan partisipatif ini digunakan oleh kawan-kawan aktifis konservasi untuk memetakan wilayah di sekitar taman nasional. Hasilnya digunakan oleh desa-desa untuk bagaimana masyarakat bisa mengelola atau menjaga batas wilayahnya. Dari itu akhirnya disimpulkan, pemetaan ini juga cocok untuk memetakan wilayah adat.

Ada beberapa yang bisa digunakan. Salah satunya untuk penyelesaian konflik. Bagaimana masyarakat bisa membuktikan wilayahnya. Misalnya, ada tumpang tindih dengan wilayah konsesi atau dengan taman nasional, desa tetangganya. Ada konflik batas antara desa, itu bisa diselesaikan dengan metodologi pemetaan partisipatif ini.

Dan sebetulnya, pemetaan partisipatif ini tak hanya membuat peta. Tapi, yang paling penting adalah membangun kesepakatan tata batas antara desa, wilayah adat. Kalau pemetaannya, satu dua hari sampai satu minggu cukup, tetapi yang paling banyak diskusinya adalah di tata batas itu. Lalu membangun kesepakatan batas wilayah. Ini juga disertai dengan kesepakatan-kesepakatan dengan tokoh-tokoh adat di desa tetangganya.

Lalu, dari 5,4 juta hektare ini, peta desa sudah bisa digunakan sebagai alat untuk perencanaan tata ruang wilayah. Nantinya dari rencana tata ruang wilayah ini diharapkan bisa masuk atau bisa diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang kabupaten dan provinsi di wilayah tersebut.

Jadi, bagaimana satu kecamatan, masyarakat merencanakan tata ruangnya jangka pendek, menengah, dan panjang. Dan ini kita gunakan juga format-format untuk, RT, RW, kabupaten, sampai provinsi. Sehingga, jika ini dibawa atau dilakukan lobi kepada pemerintah kabupaten atau provinsi diharapkan bisa terintegrasi.

Komnas HAM menemukan, kerap terjadi pelanggaran HAM dalam konflik wilayah adat. Bagaimana menurut Anda?

Yah, itu salah satu produk pemerintah dari sejak Orde Baru, ini masih dipakai sampai sekarang. Bagaimana penguasaan ruang dikuasai oleh orang banyak yang menggunakan kekerasan. Dan masyarakatlah yang memang selalu dimarginalkan, gitu.

Banyak sekali terjadi di daerah-daerah yang bersentuhan dengan perkebunan-perkebunan swasta. Yang banyak terjadi itu, yah, kriminalisasi, penangkapan karena masyarakat yang menghendaki atau menginginkan wilayahnya. Sementara, pemerintah atau siapa pun yang dilawan, itu menggunakan cara-cara seperti, kekerasan, intimidasi.

Yang kemarin itu di Mesuji, Lampung. Di sana banyak perusahaan sawit yang, katanya, masuk ke dalam wilayah desa. Tapi, ketika masyarakat ingin mengembalikan, bahwa ini adalah wilayah kami, masyarakat banyak yang ditangkap.

Bagaimana langkah konkret yang bisa dilakukan untuk menyudahi aneka konflik tersebut?

Kalau menurut kami, administratif, tata batas ini sudah selesai. Jadi semua peta desa sudah bukan indikatif lagi, tapi definitif. Lalu, bagaimana one map policy (kebijakan satu peta) ini diimplementasikan. Ketika ini sudah diimplementasikan, semua orang boleh melihat, bisa melihat, di mana wilayah masyarakat, di mana wilayah peta perizinan, peta pertambangan di mana, peta jaringan.

Peta jaringan masyarakat tak tumpang tindih lagi. Yang membuat konflik dan membuat kekacauan ini, kan karena adanya tumpang tindih. Misal, kehutanan mengklaim itu wilayahnya, pertambangan juga, ESDM beda lagi, dan ada saling tumpang tindih. Tak hanya satu, peta kehutanan dengan masyarakat ada banyak sekali. Di Morowali itu, jumlah pertambangan sudah 170 perusahaan. Kalau dijumlahkan, konsensi-konsensi dari 170 perusahan itu, melebihi luas wilayah Marowali sendiri, aneh sebenarnya.

Jadi, bagaimana one map policy bisa segera diimplementasikan sebagai alat untuk melihat, bagaimana supaya tidak ada lagi tumpang tindih dalam penguasaan lahan atau tata ruang.

Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 menetapkan hutan adat bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara. Bagaimana respons masyarakat adat?

Ini adalah satu peluang buat masyarakat adat tentunya. Yang menunjukkan di mana sih sebenarnya wilayah adatnya. Sudah ada payung hukumnya. Sebenarnya pemerintah sudah harus mengakui, ada wilayah adat di antara peta-peta sektoral lain (peta kehutanan, pertambangan, jaringan, PU, dan swasta lain). Peta wilayah adat, tumpang tindih. Masyarakat adat sangat responsif, euforia, bahwa kita sudah menang.

Tapi, itu sebenarnya tahap awal saja. Dari payung hukum putusan MK ini, banyak sekali turunannya. Misalkan bagaimana putusan itu diturunkan dengan peraturan menteri lalu dengan undang-undang yang saat ini terus didorong, yaitu RUU Pengakuan dan Perlindungan Hukum Adat. Pascaitu, banyak sekali peraturan atau regulasi pemerintah yang cukup progresif.

Itu bisa digunakan sebagai pintu masuk bagi masyarakat adat, untuk menunjukkan, pemerintah juga mengakui masyarakat adat itu ada. Dengan UU, desa yang dulunya terpecah-pecah menjadi desa administratif ini, bisa menjadi desa namanya desa adat.

Target penyelesaian peta partisipatif sendiri?

Kalau dari visi-misi Presiden Joko Widodo, dari mulai debat hingga kemarin itu, masih tetap, bahwa dia akan mengimplementasikan ini. Tinggal, menurut saya, keikhlasan dari masing-masing sektoral tadi, Kementrian Kehutanan, ESDM, dan lain-lain. Dan sejak one map policy ini diluncurkan oleh pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) tiga tahun lalu, yang terjadi hanya "pura-pura". Kalau peta wilayah adat sudah diakui atau diterima, maka rencana tata ruang harus memperhatikan itu.

Memang segera kita dorong bagaimana one map policy bisa menjadi kebijakan satu peta. Yang jadi pekerjaan rumah (PR) buat kami, peta wilayah adat atau peta kelola masyarakat belum memiliki wali data. Wali data ini, misalkan, perizinan hutan adanya di kehutanan. Peta perusahaan tambang ada di ESDM.

Peta jaringan jalan semuanya infrastruktur ada di PU. Nah, kalau peta wilayah masyarakat siapa yang pegang? Ini sedang kita dorong siapa yang bisa menjadi wali data. Misalkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kementrian Agraria dan Tata Ruang. Kemarin sebenarnya badan pelaksana REDD. Dia mau menjadi jembatan, menjembatani, menerima, menjadi wali data sementara untuk nantinya bersama-sama mendorong kepada kementrian atau lembaga yang cocok untuk menjadi wali data peta masyarakat. n c70 ed: andri saubani

***

Perjuangan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat

Perlawanan masyarakat adat atas penguasaan negara terhadap wilayah adat harus melalui jalan terjal. Adalah Mimi, seorang ibu rumah tangga dari Alolama, Sulawesi Tenggara. Penemuan tambang emas di wilayahnya justru membuat ia mendekam di balik jeruji besi. "Ada desa yang dianggap masuk di dalam konsesi perusahaan tambang emas, lalu penduduknya diusir dari desa," kata Direktur Eksekutif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Deny Rahardian, Rabu (24/12).

Deny menjelaskan, untuk membuktikan wilayah dari masyarakat adat, selama ini para aktivis berusaha melakukan pemetaan. Mereka menggunakan metode pemetaan partisipatif. Hasilnya, peta tersebut yang digunakan sebagai alat untuk melakukan perlawanan.

Selama ini, perlawanan yang dilakukan masyarakat adat sangat beragam. Kebanyakan dari mereka memang menggunakan cara-cara frontal. Namun, para aktivis datang dan mengajarkan cara halus untuk memperjuangkan wilayah adat mereka. Peta partisipatif adalah salah satu cara bagi masyarakat adat untuk bermain cantik dalam menjaga wilayahnya.

Dengan peta tersebut, masyarakat adat bisa membuktikan dan menunjukkan sejarah wilayahnya. Masyarakat adat bisa melakukan perlawanan terhadap sebuah perusahaan yang tiba-tiba datang dan mengklaim sebuah wilayah adat. "Peta itu (partisipatif) digunakan di pengadilan dan dimenangkan oleh masyarakat. Ibu Mimi bisa keluar dari penjara," ujar Deny, di kantornya, Bogor, Jawa Barat.

Pemetaan partisipatif ini digunakan untuk mempertegas batas-batas wilayah dari suatu masyarakat adat. Banyak peta-peta yang sudah dimiliki oleh sejumlah badan pemerintahan. Namun, sayangnya satu dengan yang lainnya saling tumpang tindih.

Perjuangan masyarakat adat ini juga tak lepas dari peran Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). AMAN adalah badan yang mendorong putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terlahir. Putusan yang menyatakan hutan adat bukan menjadi bagian dari hutan negara.

Putusan ini membuat masyarakat adat sangat euforia. "Tapi itu sebenarnya tahap awal saja, yang saat ini terus didorong yaitu RUU Pengakuan dan Perlindungan Hukum Adat," ungkap Deny.

Namun, dikatakan Deny, putusan MK tersebut bisa menjadi pintu masuk bagi masyarakat adat untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa masyarakat adat itu ada. Ia menjelaskan, adanya payung hukum bagi masyarakat adat semakin menguak kasus sengketa yang selama ini terjadi. Putusan MK dan sejumlah UU dianggap sebagai peluang alternatif penyelesaian konflik lahan antarmasyarakat adat, lokal, dengan konsesi atau pemerintah.

"Kalau dulu, tak ada peluang sama sekali bagi masyarakat untuk penyelesaian sengketa tanah," jelasnya. Namun, lanjutnya, dengan adanya perkembangan pemerintahan yang lebih regulatif, membuka peluang-peluang penyelesaian konflik lahan. Peluang yang tentunya lebih berpihak kepada masyarakat adat.  c70 ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement