Kamis 04 Dec 2014 18:00 WIB

Area Terlarang untuk Perkebunan

Red:

Menjamurnya perkebunan kelapa sawit di Riau tak pelak membawa dampak buruk pada lingkungan. Ketua Walhi Riau Riko Kurniawan mengatakan, dari 3,4 juta hektare lahan kelapa sawit di Riau, dua juta hektare di antaranya masuk kawasan hutan. Data ini berbeda dengan yang dimiliki BPMPD Riau yang menyebut area perkebunan sawit di Riau 2,4 juta hektare lahan.

Menurut Riko, secara regulasi, kawasan hutan sebenarnya bisa dilepaskan untuk perkebunan selama bukan hutan gambut dalam dan hutan alam. Namun, katanya, pada praktiknya banyak area terlarang yang dialihfungsikan untuk perkebunan. Tak hanya itu, banyak juga perkebunan kelapa sawit yang lokasinya tumpang tindih di kawasan moratarium.

Deputi Walhi Riau Boy Jerry Sembiring menambahkan, mayoritas perusahaan pemilik perkebunan sawit hanya memiliki izin usaha perkebunan. Padahal, seharusnya perusahaan juga memiliki izin hak guna usaha (HGU). Secara regulasi, HGU tidak bisa terbit jika perkebunan sawit berada di kawasan hutan.

"Karena sawit itu bukan berada di bawah Undang-Undang Kehutanan, tapi Undang-Undang Perkebunan," kata Boy.

Dampak dari alihfungsi hutan menjadi perkebunan sawit mulai dirasakan masyarakat sejak 17 tahun silam. Riau mengalami kebakaran hutan di mana-mana. Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau merupakan salah satu wilayah yang menjadi langganan kebakaran hutan di Provinsi Riau.

Salah satu warga Desa Sungai Tohor, Abdul Manan, menuturkan bahwa selama periode 2014 saja sudah ada 200 hektare lahan terbakar, baik hutan desa maupun perkebunan milik warga. Bencana ini amat merugikan masyarakat. Selain karena dapat membahayakan kesehatan, asap dari kebakaran hutan juga mengganggu aktivitas warga sehari-hari. Asap dari kebakaran hutan tak hanya menimpa warga setempat, tetapi juga sampai ke Malaysia, yang bertetangga dengan Desa Sungai Tohor.

Manan mengungkapkan, kebakaran terjadi karena tanah gambut di desa mengering. Desa Sungai Tohor termasuk salah satu lokasi di Provinsi Riau bertanah bergambut. Tanah jenis tersebut cocok untuk menanam pohon rumbia atau sagu. Karenanya, mayoritas profesi warga desa ini merupakan petani sagu.

Ia melanjutkan, tanah gambut menjadi kering bermula ketika perusahaan mulai masuk desa dan melakukan kanalisasi. Perusahaan membuat kanal agar kadar air di tanah gambut berkurang sehingga bisa ditanami kelapa sawit dan akasia. Air dari rembesan tanah gambut kemudian masuk ke kanal dan dialirkan ke laut.

"Kalau tanah gambut sudah kering, kena api sedikit dari puntung rokok saja sudah bisa terbakar," ujarnya.

 

Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan mengatakan, pembuatan kanal di lahan gambut sangat berbahaya. Sebab, apabila tanah gambut kehilangan air, lama-kelamaan permukaan tanah akan semakin turun. Menurutnya, sejak maraknya terjadi kebakaran hutan di Riau, permukaan tanah di Riau sudah mengalami penurunan sedalam 1,5 meter. Agar kondisi seperti itu tak terus terulang, Haris mendesak pemerintah untuk menindak tegas perusahaan yang merusak lingkungan.

Saat ini, Riau merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia yang sumber dayanya didominasi kelapa sawit, minyak bumi, gas alam, dan karet. Namun, penebangan hutan yang terus terjadi telah mengurangi luas hutan secara signifikan, dari 78 persen pada 1982 menjadi hanya 33 persen pada 2005. Rata-rata 160 ribu hektare hutan habis ditebang setiap tahun dengan tujuan pembukaan kebun-kebun kelapa sawit.ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement