Selasa 25 Nov 2014 16:00 WIB

HARI GURU- Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Itu Masih Ada

Red:

Gelar pahlawan tanpa tanda jasa untuk para guru perlahan mulai terkikis. Namun, bukan berarti menghilang. Di salah satu belahan negeri ini, tepatnya di Kampung Pasir Gede, Desa Sirnagalih, Kecamatan Cigalotong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, terdapat sekumpulan guru yang rela berbakti untuk dunia pendidikan meski dengan upah sangat minim.

Tekad mereka untuk memberikan pendidikan yang layak bagi siswa putus sekolah mengalahkan seluruh godaan dan iming-iming gaji besar di institusi lain. Berbagai upaya pemerintah dilancarkan untuk meningkatkan kesejahteraan pada guru untuk menjawab permasalahan tenaga pendidik. Komersialisasi pendidikan di satu sisi, juga memberikan peluang para guru untuk menerima imbalan yang lebih besar ketimbang menjadi pasukan tanpa bayaran.

Kepala Sekolah SMK Widya Mukti Dadan Erawan (32) mengatakan, honor guru di sekolah yang ia pimpin masih jauh dari standar. "Saat ini honor sebesar Rp 4.500 per jam,’’ kata Dadan kepada Republika, belum lama ini.

Menurutnya, setiap guru mendapat jatah mengajar 13 jam per pekan. Jika dikalkulasi, dalam sebulan guru tersebut hanya mendapat upah sebesar Rp 234 ribu. "Itu angka maksimal. Guru yang jam mengajarnya di bawah itu ada banyak," ujarnya.

SMK Widya Mukti bukan sekolah besar. Lokasinya berada di tengah-tengah sawah terasering serta perkampungan sederhana warga. Sekolah kejuruan yang menawarkan program jurusan administrasi perkantoran itu hanya memiliki tiga kelas.

Mendiang Haji Rukana pada 2012 berinisiatif membangun sekolah tersebut untuk memberikan kesempatan pada siswa yang tidak mampu mengenyam pendidikan lanjut. Dengan bantuan dana dari Yayasan Widya Mukti yang didirikannya, sekolah di tengah sawah itu membebaskan biaya pendidikan bagi seluruh peserta didik.

Dadan mengatakan, awalnya ia melamar karena melihat plang pengumuman penerimaan siswa di sekolah baru itu. Ternyata setelah menjadi bagian dari staf pengajar di sekolah tersebut, Dadan harus menghadapi tantangan besar dalam hidupnya.

Kebanyakan murid di sekitar wilayah itu bersekolah hanya sampai jenjang SMP. Keba nyakan warga kampung itu dari kalangan kurang mampu. Orang tua pun kurang mendorong anak-anaknya melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. ‘’Alasan mereka biasanya biaya. Lebih baik anak mereka kerja karena jelas menghasilkan uang ketimbang sekolah,’’ kata Dadan.

Magister manajemen sistem pendidikan dari Universitas Galuh, Ciamis, itu pun giat melakukan ‘blusukan’ ke rumah-rumah warga, bahkan hingga larut malam. Tujuannya mengajak agar anak-anak tetap mau bersekolah. Tak jarang, Dadan harus bermain petak umpet dengan para orang tua karena mereka malu bertemu dengan guru.

Sudah susah mengumpulkan murid, ternyata mencari guru yang mau mengajar juga sama susahnya. ‘’Guru-guru banyak yang tidak tertarik apalagi gaji kurang. Untungnya ada saja guru yang mau berkorban,’’ kata Dadan.

Kini SMK Widya Mukti memiliki total 16 guru. Ginanjar Muhamad, guru bahasa Sunda di SMK Widya Mukti salah satunya. Ginanjar me ngaku sulit menjelaskan mengapa ia rela tetap mengajar di sekolah itu. Alumnus UPI, Bandung, itu mengatakan, sudah banyak rekan yang meng ajar dan mendapatkan honor jauh lebih besar darinya. ‘’Banyak yang mengajar dapat Rp 15 ribu hingga Rp 30 ribu per jam. Tapi, entah mengapa saya lebih senang di sini, ‘’ ujar Ginanjar.

Tampaknya, kepuasan melihat siswa-siswa yang tidak mampu bisa bersekolah menjadi bayaran yang setimpal bagi jiwa Ginanjar. ‘’Saya sih tidak melihat bayaran. Sampai saat ini rezeki untuk kebutuhan sehari-hari selalu ada,’’ katanya. ¦ c71 ed: andi nur aminah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement