Jumat 24 Oct 2014 18:00 WIB

'PR' Bagi Menpora Baru

Red:

Pemerintahan baru Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dihadapkan pada wajah perolahragaan na sional yang tidak meng gembirakan. Bila mengacu pada torehan prestasi sebagai tolok ukur pencapaian, maka dalam lima tahun terakhir ini dapat dikatakan jeblok –baik di level Asia Tenggara, Asia, maupun dunia. Padahal, selain sebagai alat untuk membangun karakter bangsa, prestasi olahraga juga menunjukkan kemajuan suatu bangsa.

Di Asia Tenggara, Indonesia bukan lagi jagonya. Dalam pesta olahraga mul tica bang SEA Games yang terakhir di Myan mar 2013 lalu, Kontingen Merah Putih hanya mampu berada di peringkat ke-4, jauh melorot dari posisi juara umum SEA Games 2011 di Jakarta dan Pa lembang. Sekadar menengok ke belakang, Indonesia menjadi kekuatan baru im perium olahraga Asia Tenggara sejak kali pertama meng ikuti SEA Games pada 1979. Ini menjadi pelengkap kemajuan Indonesia di bidang ekonomi dan politik di antara negara-ne gara Asia Tenggara dalam dua dasawarsa.

Atlet-atlet kita selalu menjadi juara umum dan hanya disela oleh Thailand pada 1985 dan 1995. Posisi terhormat itu kembali direbut pada 1997 di Jakarta, namun lepas lagi di Brunei pada 1999 se iring dengan terpuruknya ekonomi Indo nesia dihantam badai krisis moneter dan pergolakan politik menyusul jatuhnya rezim Soeharto. Baru pada 2011 Indo nesia kembali menjadi juara umum ketika menjadi tuan rumah, tapi lepas lagi di Myanmar dua tahun kemudian. Sejak 1995 terbukti kita tidak bisa lagi berjaya di kandang lawan.

Di level Asia, yang setingkat lebih tinggi, pada perhelatan Asian Games 2014 yang baru saja berakhir di Incheon, Korea Selatan, 5 Oktober lalu, Indonesia gagal memperbaiki peringkat. Meskipun mampu menyamai perolehan empat me dali emas seperti saat di Asian Games Guangzhou, Cina, 2010, namun posisi In donesia turun dari peringkat 15 ke pe ringkat 17. Di tingkatan Asia ini pen capaian Indonesia di bawah Thailand, Malaysia, dan Singapura. Dalam persiap an ke Incheon, Menpora Roy Suryo me nargetkan Indonesia membawa pulang sembilan medali emas dan bertengger di peringkat "sepuluh besar" Asia.

Naik setingkat lagi ke level dunia, Indonesia terpuruk di Olimpiade 2012 London. Tak satu pun medali emas ber hasil dibawa pulang. Padahal, sejak bulu tangkis resmi dipertandingkan di Olim piade Barcelona 1992, Merah Putih selalu berkibar di tiang teratas sebagai pertanda keberhasilan merebut medali emas. Di London, Indonesia hanya mam pu mere but satu perak dan satu perunggu yang keduanya berasal dari cabang angkat besi. Saat di Olimpiade 2008 Bei jing, Ci na, Kontingen Indonesia mampu mem persembahkan satu emas, satu perak, dan tiga perunggu. Peringkat pun melorot jauh, dari 42 di Beijing menjadi ke-63 di London.

Catatan-catatan prestasi atlet-atlet Indonesia di antara kekuatan Asia Teng gara, Asia, dan dunia dalam kurun lima ta hun terakhir menjadi "pekerjaan ru mah" bagi siapa pun menpora yang du duk dalam kabinet Jokowi-JK. Masya rakat menanti kerja keras menpora dalam membangun olahraga Indonesia dengan pencapaian prestasi sebagai tolok ukur keberhasilannya. Ke depan, Indonesia akan tampil di SEA Games 2015 Singa pura, Olimpiade Rio De Janeiro 2016, dan menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Tiga pesta olahraga inilah akan menjadi rapor bagi berhasil-tidaknya Jokowi-JK dalam membangun prestasi olahraga nasional. Di tangan menpora yang baru lah pelaksanaannya.

Alami kemunduran

Bila olimpiade menjadi ukuran paling akhir kemajuan prestasi olahraga, maka pencapaian Indonesia di Olimpiade London 2012 merupakan cermin kega galan pembinaan olahraga secara nasio nal. Dua tahun setelahnya, pembenahan juga belum mencapai hasil maksimal. Ini terbukti dengan turunnya peringkat Indonesia di arena SEA Games 2013 dan Asian Games 2014.

Walaupun, harus diakui, ada ke majuan di cabang bulu tangkis, atletik khususnya nomor lompat jauh, dan Wushu. Di Asian Games Guangzhou 2010, bulu tangkis hanya menyumbang satu emas, tapi di Incheon mampu mempersem bah kan dua emas. Sedangkan di cabang atletik dan Wus hu di Guangzhou tak berhasil me nyum bang emas, tapi di Incheon ma singmasing membawa pulang satu emas.

Kegagalan Indonesia Raya berku man dang di London menjadi petunjuk bagi seluruh pihak yang terkait bahwasannya pembinaan prestasi olahraga nasional mengalami kemunduran. Seharusnya, bisa memperbaiki catatan prestasi di Beijing empat tahun sebelumnya, atau minimal mempertahankannya.

Kalaupun tidak mau dikatakan me ngalami kemunduran, setidaknya pem binaan prestasi mengalami stagnasi. Ini terkait dengan masih bertumpunya Indo nesia pada dua cabang untuk merebut medali yakni dari bulu tangkis dan ang kat besi. Bulu tangkis sudah menyum bang medali sejak di Barcelona, semen tara angkat besi memulai perolehan me dali di Sydney 2000.

Padahal, beberapa cabang olahraga tidak hanya bisa dimainkan dan menjadi dominasi atlet-atlet di luar benua Asia. Contohnya di cabang tinju, taekwondo, gulat, juga sepak bola. Di cabang sepak bola, Korea Selatan dan Jepang yang menjadi semifinalis Olimpiade London membuktikan Asia juga bisa bersaing dengan negara-negara dengan tradisi sepak bola yang kuat.

Waktu persiapan yang kurang di sebutsebut sebagai faktor gagalnya Indonesia mempertahankan tradisi me dali emas olimpiade. Idealnya persiapan telah dila kukan setelah Olimpiade Beijing 2008. Na mun, yang terjadi persiapan ha nya dila kukan setahun terakhir. Lifter Eko Yuli Irawan yang menyabet medali perunggu di London, mengungkapkan sekaligus menyayangkan persiapan lifter-lifter yang akan diproyeksikan ke olim piade baru berjalan enam bulan sebelum ajang digelar. Ia memban dingkan dengan negara lain yang melakukannya empat tahun sebelum nya. Eko yakin, bila per siapan dilakukan lebih awal, bukan tidak mungkin medali emas bisa digondol oleh lifter Indonesia.

Cabang bulu tangkis juga tidak mela kukan persiapan yang matang. Saat itu tak ada proyek khusus olimpiade yang menjadi kawah candradimuka untuk me nempa para pemain agar mampu merebut emas. Pelaksanaan hanya berlangsung seperti biasa di mana para pemain pelatnas diikutkan dalam turnamen-turnamen yang mendapat poin untuk lolos ke olimpiade. Hasilnya, tak ada satu pun medali yang berhasil dibawa pulang ke Tanah Air.

Menghadapi tiga pesta olahraga mul ticabang yakni SEA Games 2015, Olim pade 2016, dan Asian Games 2018, per soalan waktu persiapan yang kurang tersebut tak boleh terjadi lagi. Seluruh pemangku kepentingan dalam pem binaan prestasi olahraga nasional harus benarbenar memperhitungkan masalah persiap an itu. Jangan hanya sekadar ber wacana akan segera melakukan eva luasi dan pem benahan, namun hasilnya jalan di tempat.

Berkaca pada kegagalan di London, Myanmar, dan Incheon, seluruh elemen masyarakat olahraga nasional semestinya mulai serius memikirkan pembenahan persoalan olahraga Indonesia secara menyeluruh. Tak lagi bisa berpangku tangan dan saling menyalahkan.

Komitmen pemerintah

Para pembina klub-klub maupun induk organisasi cabang olahraga, baik di pusat maupun daerah, memang tak bisa dilepaskan dari pencapaian prestasi para atlet. Tapi, di atas itu semua adalah diperlukannya komitmen politik yang kuat dari pemerintah dalam membangun sistem keolahragaan nasional, mulai dari pemasyarakatan, pembinaan, hingga pencapaian prestasinya.

Pembangunan keolahragaan nasional terkait erat dengan pengadaan sarana dan prasarana olahraganya. Kesamping kan dulu penggunaan sport science se bagai alat untuk melahirkan atlet-atlet yang tangguh, kuat, dan cepat. Sulit mengharapkan prestasi dunia tanpa ditopang oleh infrastruktur olahraga yang memadai —tidak hanya massal tapi juga bertaraf internasional.

Sekarang sukar menjumpai tanahtanah kosong yang bisa dijadikan la pa ngan sepak-bola bagi anak-anak. Seka lipun se kadar lapangan sepetak yang cu ma meng gunakan batu bata atau po tongan bambu sebagai gawangnya. Anak-anak tak lagi bisa bermain seperti itu lantaran memang tak ada lagi lahan nya. Semua tanah sudah penuh dengan bangunan yang tak lagi menyisakan lahan untuk bermain bola.

Padahal, pengenalan sepak bola sejak usia dini amat diperlukan dalam upaya menjaring sebanyak-banyaknya calon pemain bola profesional. Nah, bagaimana bisa mendapatkan sebanyak mungkin pemain berbakat kalau bibitnya saja sudah susah dicari lantaran kian sedikitnya anakanak yang berminat bermain sepak bola karena keterbatasan sarana yang ada.

Keadaan tersebut menandai peme rintah tidak memiliki komitmen kuat dalam membangun sarana dan prasarana keolahragaan nasional. Tanah-tanah lebih banyak dibiarkan dibeli oleh para pemodal dari kalangan dunia usaha untuk menjadi perumahan, apartemen, maupun pusat-pusat perbelanjaan. Tak ada lahan yang sengaja dipertahankan atau dibeli oleh pemerintah untuk mem bangun sarana dan prasarana olahraga. Pembangunan nasional benar-benar menganaktirikan sektor olahraga yang sebenarnya juga menjadi ajang yang tepat untuk membangun karakter bangsa.

Pemerintah pusat maupun daerah seharusnya memiliki kebijakan yang jelas mengenai pembangunan keolahragaan nasional. Di dalamnya termasuk me nye diakan infrastruktur olahraga, mulai dari yang sifatnya olahraga rekreasi hingga yang bertaraf internasional atau olim piade. Infrastruktur olahraga rek reasi di perlukan untuk memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masya rakat. Sedangkan infrastrukur berstan dar internasional terkait erat dengan target pencapaian prestasi di tingkat dunia.

Membangun prestasi keolahragaan nasional memang bukan perkara gam pang. Perlu komitmen kuat pemerintah. Inilah PR bagi menpora yang baru. Se perti kata Presiden Jokowi dalam pidato usai pelantikannya Senin (20/10) lalu: kerja, kerja, kerja..! ‘

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement