Senin 20 Oct 2014 17:00 WIB

Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Wakil Menteri Keuangan: Perlu Konsistensi Kebijakan

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,KATA PENGANTAR:

Pembangunan ekonomi Indonesia mendatang diperkirakan akan menghadapi masalah dan kendala yang lebih berat, bahkan lebih kompleks. Masalah masa lalu saja belum sepenuhnya dipecahkan oleh pemerintah.

Dengan peta politik sekarang yang cenderung lebih dinamis, langkah pemerintah dalam mengeksekusi beragam program diperkirakan akan lebih berat. Di sisi lain, jajaran pemerintahan pun sering tidak solid. Padahal, persaingan antarnegara dalam merebut market global makin keras. Indonesia bisa saja dilindas dan hanya menjadi market negara lain bila tak bisa terlepas dari belitan masalah.

Wakil Menteri Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menyatakan, pemerintah mendatang harus lebih berani dalam mengambil keputusan.

Meski menghadapi tantangan yang berat dari legislatif, pemerintah mempunyai kekuatan yang lebih besar karena pada praktiknya pemerintah itulah yang menjadi eksekutif. Lalu, bagaimana langkah-langkah strategis yang perlu segera dieksekusi oleh pemerintah mendatang?

Berikut pernyataan Bambang Brodjonegoro saat berbicara dengan beberapa wartawan di sela-sela acara seminar internasional bertema “Growth Strategy for a Rising Indonesia: Current Performances, Risk, Challenges, and Its Potential” di Bali pada 9-11 Oktober lalu.

Indonesia masih menghadapi banyak masalah ekonomi pada tahun-tahun mendatang, termasuk sulit keluar dari middle income trap?

Memang masalah tak bisa selesai dalam satu masa pemerintahan, dalam lima tahun saja. Masalah yang dihadapi berkelanjutan. Jadi, harus ada kesepahaman dan komitmen dari semua pihak.

Kita anggap semua orang sudah paham isu dan masalah yang dihadapi. Sekarang kita mulai bicara apa action riil yang bisa dilakukan jangka pendek, menengah, dan panjang. Sedikit negara yang bisa lolos dari middle income trap. Kita berharap Indonesia dari yang sedikit itu. Thailand dan Malaysia yang sebenarnya lebih mudah untuk keluar saja ternyata kesulitan, apalagi Indonesia yang lebih kompleks.

Fokus pemecahan masalahnya ke mana, terutama dikaitkan dengan seminar ini?

Topik khususnya ada dua hal. Pertama, kita lihat manufaktur karena kita sadar peran manufaktur sekarang menurun. Masih paling besar dari PDB, tapi angkanya di bawah tahun 1990-an yang waktu itu bisa 30 persen. Kedua, kita bicara isu inequality.

Paling sulit mengurangi ketimpangan ini. Apalagi inequality fenomena global, di mana pun negara di dunia ini tak luput dari inequality yang makin besar. Jadi, kita juga harus mulai berdiskusi, bagaimana kita tumbuh secara sustainable terutama didorong sektor manufaktur dengan tetap menjaga kualitas, dengan mengurangi inequality.

Kesenjangan investasi dengan pertumbuhan ekonomi masih besar?

Saya sempat sampaikan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) kita, rasio antara pertumbuhan investasi dan pertumbuhan ekonomi itu di atas 4,0. Jadi, kalau ingin meningkatkan perekonomian 1,0 persen, atau tumbuh 1,0 persen, investasinya butuh tumbuh 4,0 persen. Ini sangat tidak efisien. Artinya, kita harus mati-matian mencari uang untuk investasi. Ketika sudah tumbuh 4,0 persen, dapatnya hanya pertumbuhan ekonomi 1,0 persen.

Investasi kita menjadi kurang efisien terhadap pertumbuhan. Mengapa terjadi? Sebagai contoh, kalau seseorang ingin investasi di Indonesia, katakan membuat hilirisasi atau pabrik pengolah hasil alam. Karena di luar Jawa tidak ada kawasan industri, dan nature hilirisasi dekat dengan sumber bahan bakunya, maka dia harus bangun pabrik di tengah-tengah Sumatra, di pedalaman Sumatra, misalnya. Secara ekonomi bagus karena dekat dengan hutannya, kebunnya. Problemnya, pabrik ini untuk dibangun membutuhkan jalan, butuh listrik, dan seterusnya.

Jadi, bisa Anda bayangkan investasi di Sumatra tadi dengan biaya tinggi karena harus bangun jalan sendiri, bangun listrik, bangun rumah pegawai, dan segala macam sehingga itu semua masuk nilai investasi. Investasi tinggi, tapi pertumbuhan ekonomi riil satu persen saja karena melihat pada pertumbuhan pabrik itu sendiri.

Bayangkan kalau investasinya langsung di kawasan industri. Listrik sudah tersedia, ada air, jalan sudah tersedia, maka investasi kecil sudah bisa membuka output yang relatif besar. Kesenjangan muncul kalau ICOR masih tinggi.

Alokasi dana riset dan pengembangan (R&D) di Indonesia ternyata masih sangat rendah?

Dana untuk riset dan pengembangan masih di bawah 0,5 persen, padahal negara tetangga di ASEAN sudah di atas 1,0 persen, bahkan Korea sudah 3-4 persen dari PDB. Jelas ini satu masalah, tapi kan tidak semua R&D harus dibiayai dengan budget atau fresh money. Kita ingin mendorong R&D dari insentif. Sudah tekad kita mencari insentif pajak untuk R&D. Ada peraturan pemerintah mengenai tax allowance. Kalau jadi, salah satunya bisa untuk insentif R&D.

 

Perusahaan yang lakukan R&D, yang sektornya masuk ke kategori tax allowance, maka bisa dapat tambahan allowance dari pajak. Lebih baik fokus ke situ, syukur-syukur bisa tambah budget.

Sekarang kita punya dana pendidikan Rp 400 triliun. Harusnya ada bagian dari dana pendidikan itu untuk pengembangan riset karena riset dan pendidikan saling terkait. Sekarang ini ada kesan yang Rp 400 triliun itu tak boleh, atau tak bisa dipakai untuk pengembangan riset. Ini yang mungkin bisa menjadi terobosan yang harus dilakukan supaya sumber dana R&D lebih banyak.

Dengan kondisi seperti itu, kapan Indonesia bisa keluar dari kelompok negara berpendapatan menengah?

Mungkin yang paling realistis pada 2040. Pada 2035 bisa tercapai kalau ada extra effort, luar biasa, karena dibutuhkan pertumbuhan hampir 9,0 persen per tahun. Padahal, kita dalam sejarah susah meraih 9,0 persen. Kalau biasa saja, menjaga sekarang agar tak mengalami kontraksi, ya paling pada 2040.

Terobosan pemerintah ke depan untuk meningkatkan daya saing?

Pada intinya saya melihat sektor manufaktur akan punya daya saing kuat, paling tidak karena dua hal. Pertama, karena dia bisa berproduksi pada skala massal, skala besar, atau istilahnya pada level skala ekonomi. Yang kedua, kalau sektor manufaktur sudah menjadi bagian dari global value chain.

Untuk yang pertama mungkin contoh yang menarik, ya mungkin kita tak pernah berpikir sebelumnya adalah otomotif. Dulu orang melihat otomotif di Indonesia itu selalu bilang, otomotif itu sektor yang sangat diproteksi, diberi keleluasaan, diberi segala macam fasilitas. Tapi, hari ini yang menarik trade balance otomotif sudah growth. Ekspor otomotif Indonesia sudah lebih besar daripada impornya.

Artinya, sektor otomotif di Indonesia karena market yang begitu luas, bisa berproduksi pada skala ekonomi yang ujungnya cost of production per unitnya menjadi relatif rendah, kompetitif. Dengan cost per unit kompetitif, maka dia lebih kompetitif di pasar ekspor.

Saya lihat semangat pabrik otomotif di Indonesia tetap membawa bendera masing-masing, apakah dari Jepang, Korea, Eropa, adalah untuk ekspor. Itu satu hal yang beda. Biasanya kalau bicara dengan pengusaha otomotif Indonesia, dia bicara menambah merek, jenis, menambah merek di pasar Indonesia. Sekarang mereka excited dengan mengekspor, terutama misalnya sesama Toyota.

Toyota Indonesia excited bisa bersaing sesama Toyota di Thailand. Mereka bersaing bukan pada domestic sales, tetapi pada ekspor. Ini fenomena menarik. Artinya, untuk industri yang lain di luar otomotif kalau bisa berproduksi, meskipun awalnya targetnya pasar domestik, kalau bisa skala ekonomi, bisa ekspor.

Kedua, global value chain, artinya produk yang dihasilkan tidak harus barang jadi, barang akhir, bisa spare part, komponen, dan segala macam. Tapi, yang paling penting barang tersebut sudah jelas ke mana larinya. Ketika memproduksinya layar HP, sudah jelas dibuat di Indonesia akan dikirim ke pabrik HP di mana pun di dunia karena dia bagian dari global value chain. Anda bisa bayangkan betapa sulitnya masuk global value chain karena butuh konsistensi dari kualitas, konsistensi suplai. Jadi, mereka masuk global value chain, sudah kompetitif. Saya melihat dua itu saja sebagai dasar kita bisa kompetitif dalam manufaktur.

Investasi asing di Indonesia sekarang trennya seperti apa?

FDI (foreign direct investment) sekarang kita harapkan sebagai sumber dari manufaktur. Dulu FDI banyak lari ke tambang maupun perkebunan. Sekarang makin banyak masuk ke manufaktur. Kalau bisa kita harapkan FDI yang sudah masuk bisa ekspansi terus sehingga punya kemampuan untuk ekspor.

Masukan penting bagi pemerintah baru nanti?

Kalau bisa kita ingin memberikan masukan kepada new administration apa saja kebijakan dalam tempo lima tahun yang harus dilakukan, baik yang berdampak saat itu juga, jangka pendek yang berdampak 1-5 tahun, maupun yang berdampak sesudah itu. Artinya, jangan sampai karena mentang-mentang dampaknya baru 10 tahun lagi, kita tak pernah memulai dari sekarang. Karena saya yakin kalau tak pernah mulai, 10 tahunnya mundur terus, bukan 10 tahun dari sekarang, tapi dari lima tahun lagi. Ini harus didorong bahwa ada kebijakan yang harus dilakukan meskipun dampaknya belum terasa pada saat ini.

Strategi aplikatif seperti apa untuk mendorong percepatan ekonomi?

Yang pertama, kalau solusi, kita sudah punya solusi generiknya yang beberapa kali saya presentasikan, yaitu sustainable. Kita juga sudah identifikasi apa saja tahapannya. Itu sudah banyak di negara lain. Contoh Korea itu menarik. Yang kurang di Indonesia adalah konsistensi dari kebijakannya. Itu saja!

Kedua, iklim investasi dari policy. Maksudnya, konsistensi dari kebijakan jangan sampai karena ganti pemerintah seolah-olah yang dulu itu harus diubah. Yang paling simpel contohnya, kita selalu karena mungkin pada masa Orde Baru banyak yang tidak menyenangkan, kita anggap semua kebijakan Orba salah. Padahal, ada bagian kebijakan yang bagus dan perlu dipertahankan. Ini konsistensi karena namanya kebijakan tidak pernah menyelesaikan masalah dalam jangka pendek. Pasti butuh setahun sampai lima tahun, bahkan 10 tahun. Kalau tidak konsisten, tidak pernah menyelesaikan masalah.

Kedua, implementasi mungkin beberapa yang kita butuhkan. Kita mau percepatan kita butuh skala besar. Itu yang belum bisa dilakukan sehingga supaya kita keluar dari middle income trap. Ini menjadi lambat karena setiap kali akan implementasi selalu hasilnya di bawah perkiraan. Mengapa? Karena banyak constrains, kendala yang seharusnya kita atasi sendiri.

Apakah masalah tanah, apakah hubungan parlemen dengan pemerintah, apakah masalah korupsi. Pokoknya terlalu banyak masalah yang sebenarnya tidak perlu, yang ujungnya apa yang sudah bagus dalam konsep tak terealisasi. Sebenarnya semua orang tahu ini harus dilakukan. Tapi, kalau untuk melakukan itu saja sudah sulit, dengan segala macam risiko, maka yang terjadi adalah tidak konsisten. Tidak menghasilkan apa-apa.

Diversifikasi ekonomi Indonesia yang paling tepat bagaimana?

Langkah pertama diversifikasi ekonomi kita waktu itu selain pertanian, lebih pada ekspor komoditas, menjaga pasokan beras, swasembada beras, adalah bagaimana menggerakkan manufaktur. Manufaktur berkembang yang labor intensive, waktu itu Indonesia kan Orba, jadi tak ada yang namanya serikat buruh. Upah buruh relatif masih murah karena waktu itu kondisi ekonominya belum seperti sekarang sehingga waktu Indonesia fokus pada labor intensive.

Labor intensive industry tahun 1990-an yang berjaya tekstil, garmen, sepatu, dan elektronik. Kenapa ketika krisis finansial manufaktur turun? Ya, pertama banyak pelaku yang terkena dampak dari 1998. Mereka tidak recovery lagi. Sekali tutup tidak pernah membangun lagi.

Tapi, yang paling berbeda tahun 1998 kita sudah masuk masa Reformasi. Mulai ada serikat buruh, industrial relation tidak lagi seperti Orba sehingga labor intensive mulai dinilai lebih berisiko dibandingkan dengan sebelumnya. Dari situ peran labor intensive industry turun. Belum lagi apa yang dilakukan oleh Indonesia dan Brasil ditiru oleh negara lain, oleh Vietnam, Bangladesh, Kamboja, dan negara lain sehingga Indonesia tidak sendiri lagi di labor intensive industry. Jadi, kita berada dalam dilema tidak bisa lagi bersaing di labor intensive, tapi belum bisa masuk ke capital intensive karena kita belum punya kemampuan teknologi dan modal yang memadai.

Di situlah manufaktur sudah mulai turun. Kemudian, saya katakan tadi mulai naik lagi, tapi capital intensive. Labor intensive masih ada, tapi tidak seintensif tahun 1990-an. FDI baru kebanyakan capital intensive industry, dan itu baru bangkit dari sekarang. Sekarang ini belum bisa sampai ke 30 persen mengingat ekonominya sudah tumbuh lebih cepat.

Korea seharusnya bisa menjadi contoh bagi Indonesia?

Mereka percaya bisa maju terus dengan konsepnya. Ya, ini modelnya adalah apakah pemerintah mau rugi dulu untuk bisa mendorong daya saing sebelum nanti memetik hasilnya entah kapan. Kalau mau lakukan itu, kita lihat dulu konteks di Indonesia. Kalau mau lakukan sesuatu, artinya kita bersakit-sakit dulu, setelah beberapa lamanya baru bersenang-senang. Maka, syarat pertama perlu ada tadi, konsistensi kebijakan!

Kalau misalnya pemerintah sekarang bilang, saya mau lakukan ini demi kemajuan Indonesia 10 tahun lagi. Eh, lima tahun kemudian dia kalah pada pemilihan presiden. Mungkin karena dia melakukan kegiatan yang barangkali tidak terlalu menguntungkan bagi pemerintah, kegiatan tadi diganti oleh orang lain. Orang lain melihat, ah …. itu kebijakan nggak bagus. Kebijakannya jadi hilang!

Dengan itu saja sudah kelihatan Indonesia tidak bisa mengelola konsistensi kebijakan. Jadi, sistem politik itu sangat perlu. Di Korea kalau saya melihat politiknya, praktis dua partai besar sekarang. Kalau nggak yang ini, yang itu. Kemudian, partai yang berkuasa itu pun sekarang adalah partai yang sama dengan presiden sebelumnya. Kandidatnya saja yang berbeda. Jadi, di situ sudah kelihatan ada jaminan konsistensi kebijakan meskipun orangnya berbeda, menteri berbeda, at least platform partai sama. Ide yang sudah bagus pada masa lalu, oleh partai dia pasti akan diteruskan. Jadi, sistem politik seperti itu akan sangat menolong.

Syarat kedua adalah kualitas dari SDM (sumber daya manusia). Korea ketika mereka berusaha melakukan lompatan, fokus pada teknologi. Mereka menyekolahkan orang-orangnya secara besar-besaran ke luar negeri, di berbagai bidang, terutama di engineering, dan ke berbagai negara. Itu mereka lakukan sebagai modal awal untuk memperkuat ekonomi dan merekalah yang membawa ilmu-ilmu itu ke Korea.

Yang paling penting agar bisa menjalankan kebijakan jangka panjang, mau rugi dulu, baru untung kemudian. Untuk bisa suatu saat untung harus dijalankan oleh orang-orang yang berkualitas. Mereka sudah punya orang-orang itu setelah pulang dari luar negeri. Jadi, dari pemerintah ada konsistensi kebijakan dan yang melakukan orangnya sudah qualified.

Kalau ditanya Indonesia bagaimana? Sebaiknya melakukan apa? Saya melihat inovasi teknologi tetap sebagai kata kunci. Artinya dua hal yang berlaku untuk Korea, juga seharusnya berlaku di Indonesia meskipun untuk yang pertama agak sulit mengingat partai di sini terlalu banyak sehingga untuk bisa meneruskan satu kebijakan lain menjadi pertanyaan.

Sebagai contoh, begitu Orba, semua dihilangkan, termasuk program Keluarga Berencana (KB). Kemudian baru sadar KB itu penting dan sekarang katanya ada kementerian kependudukan. Sebenarnya kalau masalah KB sudah bisa dilanjutkan pada masa presiden 2000-an dan seterusnya, kan kita nggak perlu sepanik sekarang dengan pertumbuhan penduduk yang di atas rata-rata.

Kemudian, sektornya apa? Ya, tentunya kita harus melihat sektor yang punya daya saing. Tetap manufaktur harus dikedepankan karena itu yang bisa menciptakan lapangan kerja. Bagaimana dengan pertanian?

Kita buat manufaktur yang link dengan pertanian. Karena pertanian akan menghasilkan komoditas, sebagian bisa diproduksi lebih lanjut. Jadi, kalau kita bicara value added, bicara hilirisasi, jangan teman-teman berpikir tambang segala macam, atau sawit. Semua bisa hanya punya produk yang bisa dihilirisasi. Dari yang paling gampang, misalnya nanas daripada dijual buahnya, lebih baik kita buat nanas kalengan, kemudian bisa penetrasi ekspor jauh lebih besar.

N rakhmat hadi sucipto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement