Senin 20 Oct 2014 19:00 WIB

Belum Mampu Mandiri

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Pada beberapa hari terakhir ini, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar Amerika Serikat, melemah. Nilai rupiah selalu di atas Rp 12 ribu per dolar AS. Pada saat yang sama, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun tak menggembirakan karena beberapa kali ditutup di bawah level 5.000.

Pada Kamis (16/10) lalu, contohnya, IHSG ditutup melemah 11 poin atau 0,2 persen pada level 4.952. Sebenarnya IHSG tak lesu sendirian pada hari yang sama. Mayoritas bursa dunia, khususnya di Asia, juga berkontraksi. Rupiah masih loyo karena hanya bernilai Rp 12.260 per dolar AS pada hari itu juga.

Tentu ini sinyal tak menggembirakan bagi ekonomi Indonesia. Jika terus berlanjut, investor pun makin kuat menahan diri untuk menginvestasikan dananya di negeri ini. Ekonom yakin, mereka hanya akan wait and see sambil menunggu kondisi yang lebih kondusif.

Fakta tersebut juga memperlihatkan ekonomi Indonesia masih rentan terhadap gejolak domestik maupun global. Bahkan, isu Bank Sentral AS pun selalu menghantui pengambilan keputusan di Tanah Air. Meski demikian, lembaga pemeringkat global Moody’s Investors Service yakin, nasib ekonomi Indonesia pada masa mendatang bisa lebih baik lagi. Moody’s menilai fundamental kredit Indonesia tergolong sehat, makroekonomi solid, dan mampu mengurangi tekanan politik yang kerap terjadi.

Fundamental Indonesia dinilai cukup kuat untuk menghadapi imbas negatif dari tekanan eksternal, seperti kenaikan suku bunga AS dan pelemahan ekonomi Cina. Karena itulah, lembaga ini me naik kan peringkat utang Indonesia ke investment grade pada akhir 2011 lalu.

Pemerintah pun seharusnya tak terlalu khawatir dengan rencana Bank Sentral AS yang hendak meninjau ulang suku bu nga acuannya. Apalagi, beberapa pejabat tinggi The Federal Reserve juga memberi sinyal suku bunga acuan akan tetap men dekati level nol, setidaknya hingga bulanbulan awal, bahkan mungkin hingga pertengahan 2015.

Indonesia selalu khawatir dengan kebijakan yang diambil oleh AS, termasuk The Fed. Soal suku bunga acuan menjadi perhatian serius pemerintah dan Bank Indonesia karena kebijakan yang diambil Bank Sentral AS dianggap selalu berimbas langsung terhadap perekonomian nasional. Apalagi, suku bunga yang men dekati nol persen ini sudah berlangsung sejak 2008.

Apa yang harus dilakukan Indonesia untuk menghadapi perubahan suku bunga AS tersebut? Joseph Eugene Stiglitz, ekonom Universitas Columbia, AS, menyarankan otoritas moneter Indonesia perlu mengintervensi pasar keuangan, terutama terhadap nilai tukarnya. “Salah satu pelajaran besar dari krisis keuangan global dan krisis keuangan Asia, pasar keuangan ternyata sangat berubah-ubah.

Arus dana bisa masuk dengan cepat, tetapi juga bisa melesat keluar,” ujar Stiglitz di sela-sela acara seminar internasional di Bali, beberapa waktu lalu. Ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS, menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Aditya swa ra, mengakibatkan biaya persiapan menghadapinya juga makin besar. “Tapi, kalau tidak naik, sudah terjadi kenaikan harga dulu di pasar,” katanya.

Mengapa Indonesia sangat tergantung pada luar negeri, khususnya AS? Mirza mengatakan, ini karena Indonesia selama ini memanfaatkan pembiayaan dari luar negeri sangat besar. Surat utang yang men jadi modal di APBN juga 37 persen di danai oleh asing. Karena dari pajak ti dak cukup, akhirnya perlu surat utang da ri luar negeri. “Antara pajak dan penda patan selain pajak tak cukup untuk membiayai pengeluaran. Dan ada pengeluaran tak produktif, yaitu BBM,” ujar Mirza.

Mirza juga sangat khawatir dengan jumlah subsidi BBM yang besar, khususnya untuk BBM. Padahal subsidi yang mencapai Rp 400 triliun akan lebih produktif bila digunakan untuk membangun beragam infrastruktur yang dibutuhkan oleh rakyat, seperti rumah sakit, waduk, atau sistem pengairan.

Tidak hanya pemerintah yang bergantung pada financial market luar negeri. Sektor swasta pun sangat membutuhkannya. Ketergantungan swasta dari luar negeri besar sekali. Indikasinya sangat jelas, utang swasta meningkat dari 70 miliar dolar AS pada 1999 menjadi 135 miliar dolar tahun ini.

Utang tersebut dipakai swasta untuk membiayai ekspansi di dalam negeri. Dana mereka pakai untuk ekspansi pabrik maupun infrastruktur. Pendanaan dari luar negeri ini biayanya akan naik. “Jadi kita tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi pada suku bunga AS itu. Bisa, dalam mimpi mungkin. Tapi, nggak bisa dalam kenyataan,” ungkap Mirza.

Stiglitz mengakui Indonesia mampu secara impresif keluar dari krisis Asia be berapa waktu lalu. Setelah itu, In do nesia menjadi salah satu negara emerging mar kets yang menunjukkan performa mena wan. Indonesia juga cukup sukses mengurangi kemiskinan. “Tapi, keuntungan pertumbuhan ekonominya tak dinikmati merata oleh masyarakatnya,” jelas peraih Nobel pada 2001 ini.

Ketimpangan sosial di Indonesia ma kin membesar. “Karena itu keberlanjutan pertumbuhan ekonominya dira gukan,” ujar Stiglitz. Apalagi, hingga kini Indonesia juga masih menghadapi tiga masalah utama yang sangat penting, yaitu 1) infrastruktur yang tidak memadai, 2) sumber daya ma nusia yang tidak memadai, serta 3) struktur ekonomi dan sistem keuangan yang belum solid.

Indonesia boleh saja fokus menggarap manufaktur. Namun, Stiglitz mengingatkan, manufaktur yang menjadi dasar pertumbuhan bagi banyak negara pada masa lalu, perannya berubah. Kini terjadi penurunan lapangan kerja global dalam manufaktur. Ini terjadi karena pabrik banyak menggunakan robot serta perubahan teknis lainnya yang mengarah ke beberapa relokasi bernilai tambah tinggi.

Dalam jangka pendek, ekspansimanufaktur juga butuh lokasi-lokasi baru. Contohnya, upah di Cina saat ini sudah tinggi dibandingkan beberapa tahun lalu. Kondisi ini memicu relokasi kegiatan produksi. “Pertanyaannya adalah, di mana mereka akan direlokasi?” ujar Stiglitz.

Setiap negara mempunyai kesempatan untuk menarik ekspansi produksi dari negara mana pun yang sudah jenuh de ngan manufaktur. Namun, kuncinya ada lah produktivitas tenaga kerja serta infrastruktur. Di samping itu, kebijakan mo neter dan nilai tukar mata uang juga akan sangat penting. Mereka yang berharap mendapatkan relokasi produksi tak selalu harus menunggu aliran modal asing.

Perusahaan-perusahaan lokal juga perlu diberi kesempatan lebih untuk ber kembang. Terutama bagi usaha kecil me nengah (UKM). Mereka perlu mendapat kan akses kredit yang lebih mudah. “Pe ran UKM ini sangat krusial,” tutur Stiglitz. Sektor jasa juga layak terus diperhatikan bagi negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Tren ke depan, orang menginginkan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan telekomunikasi yang lebih baik. Secara global, permintaan kunjungan wisata juga akan meningkat.

Negara yang selalu mengandalkan sumber daya alam (SDA) perlu lebih berhati-hati karena suatu ketika sumber daya tersebut menipis. Fakta juga menunjukkan, negara-negara yang mengandalkan SDA biasanya tumbuh lebih lambat dan lebih banyak menghadapi masalah inequality (ketimpangan sosial). Mengapa terjadi seperti itu? Stiglitz menyatakan, itu terjadi sebagian karena nilai tukar yang terlalu tinggi, mereka kesulitan mengelola volatilitas harga komoditas, serta menghadapi masalah korupsi. “Indonesia perlu hati-hati menghadapi masalah ini.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement