Kamis 02 Oct 2014 12:00 WIB

Gerakan Sapu Bersih Versus Minority Government

Red:

Oleh: Harun Husein (wartawan Republika) -- Presiden terpilih terpilih belum lagi dilantik. Pemerintahan baru belum lagi berjalan. Tapi, perta rungan politik sudah sedemikian panas. Betapa tidak, kubu koalisi berkuasa sudah mengalami kekalahan telak dari kubu oposisi. Pertarungan ini mungkin akan terus berlanjut sepanjang periode pemerintahan ini, dan terus menciptakan gonjang-ganjing politik seperti yang pernah terjadi Amerika Latin.

Kubu oposisi mengklaim telah me nang dengan skor telak 4:0. Pertama, me reka menguasai mayoritas kursi par lemen. Enam partai di KMP, yaitu Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP, saat ini menguasai 352 kursi DPR, atau 62,86 persen, sedangkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) hanya 208 atau 37,14 persen.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ilustrasi Daan Yahya

Kedua, KMP berhasil mengegolkan perubahan cara penentuan pimpinan parlemen, dari semula secara proporsio nal berdasarkan hasil pemilu, menjadi dipilih. Akibatnya, PDIP pun tak oto matis menjadi ketua parlemen. Dengan menguasai mayoritas kursi, kini justru KMP yang berpeluang besar menguasai parlemen, baik DPR maupun MPR.

Ketiga, lewat Pansus Tata Tertib DPR, KMP juga berhasil mengamankan klausul agar pimpinan DPR —yang disepakati satu ketua dan empat wakil ketua-- harus diajukan secara paket, dan kelima pimpinan DPR itu harus berasal dari fraksi berbeda. Peluang KIH menguasai parlemen pun hampir habis, karena KIH hanya terdiri atas empat fraksi.

Dan, setelah Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), skenario yang dirancang KMP pun semakin mulus. Dan kini, mereka bukan lagi hanya membahas siapa yang jadi ketua DPR, MPR, dan wakil-wakilnya, tapi juga siapa yang menduduki pimpinan alat kelangkapan DPR, terutama komisi-komisi.

Masih untung, UU MD3 tidak me ngutak-atik cara pemilihan pim pinan DPRD provinsi dan DPRD kabu paten/ kota. Di tingkat lokal, penentuan pim pinan DPRD tetap proporsional, bukan voting. Sehingga, dari 34 provinsi, KIH masih bisa menjadi ketua DPRD di 16 provinsi: 15 untuk PDIP, dan satu untuk PKB yaitu Jawa Timur (lihat: Peta Koa lisi Prabowo-Jokowi di Tingkat DPRD Provinsi). Meski demikian, di ke-16 provinsi itu, hampir semua wakil ketua DPRD-nya akan berasal dari KMP.

Keempat, keberhasilan KMP me ngembalikan pilkada ke DPRD, lewat RUU Pilkada. Dengan cara ini, KMP akan menguasai sebagian besar jabatan gubernur, bupati, dan walikota. KMP adalah mayoritas di 33 DPRD provinsi, dan hanya menyisakan satu untuk KIH, ya itu DPRD Bali, itu pun dengan selisih satu kursi: KIH mendapat 28 kursi, dan KMP 27 kursi. Selisih yang tipis, dan rawan.

Kendati sampai saat ini Partai Demokrat masih terus beretorika sebagai penyeimbang, namun pada keempat medan pertempuran ini, Partai Demokrat yang mempunyai 148 kursi memainkan peran menentukan. Di DPR periode 2009-2014, di Senayan ada tiga partai yang berada di kubu KIH, yaitu PDIP, PKB, dan Hanura. Total kursinya 139. Sementara, ada lima partai di kubu KMP, yaitu Golkar, Gerindra, PKS, PAN, PPP, dengan 273 kursi. Jika Demokrat mendukung KIH, maka suaranya menjadi 287. Tentu akan menang melawan 273 suara KMP. Tapi, Demokrat ternyata condong ke KMP.

Tanda-tanda itu sudah terbaca saat rapat paripurna RUU MD3. PDIP, PKB, dan Hanura, walk out, tapi Partai Demokrat tetap bertahan. Bahkan, kemu dian Demokrat memimpin rapat Pansus Tata Tertib, yang makin mem buka jalan mempertegas dominasi KMP di Se nayan. Sementara, saat paripurna RUU Pilkada, saat hendak voting, Demokrat justru walk out, sehingga KMP bak dapat durian runtuh. Amien Rais menyebutnya sebagai permainan yang cantik.

Langkah Demokrat itu bisa jadi by design, karena SBY adalah orang yang realistis dan penuh perhitungan. Karena konstelasinya memang sudah jelas. Jokowi-JK boleh saja menguasai peme rintah pusat, tapi KMP akan menyapu bersih yang tersisa. Bukan hanya mengambil semua posisi di parlemen pusat, tapi juga mengontrol daerah.

Jika Mahkamah Konstitusi kelak menolak permohonan judicial review UU Pilkada, di atas kertas 28 gubernur sudah berada di tangan KMP, dan hanya menyisakan satu untuk PDIP dan koalisinya, yaitu Bali, itupun rawan karena selisihnya yang tipis. Lima provinsi lainnya yang merupakan daerah khusus dan istimewa, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, DI Yogya karta, Papua, dan Papua Barat, kalau pun tetap dipilih langsung peluangnya bisa jadi fifty-fifty. Bahkan peluang KMP bisa besar, jika pemerintahan Jokowi mengeluarkan kebijakan-kebijakan tak populis seperti menaikkan harga BBM.

Lagipula, meski Jokowi-JK me ngua sai eksekutif di pusat, pemerin tahannya belum tentu akan berjalan mulus. Sebab, kebijakannya bisa jadi akan dihadang oleh DPR yang dikuasai KMP. Jangankan menghadapi koalisioposisi yang solid seperti KMP, peme rintahan SBY yang membuat koalisi besar yang menguasai 75 persen kursi DPR, serta sudah mengikat mitra koa lisinya dengan kontrak politik, masih kalang kabut. Terutama ketika bergulir hak angket Century, hak angket mafia pajak, dan menolak kenaikan harga BBM.

Kubu Jokowi berulangkali menga takan koalisi pemerintahan SBY tidak efektif. Jokowi pun menghadirkan anti tesa, membangun nilai-nilai baru, yang terumuskan lewat jargon koalisi ram ping dan koalisi tanpa syarat non transaksional. Golkar yang mulanya sudah mendekat, belakangan harus me nanggung malu karena konon konsesi sejumlah menteri yang dimintanya untuk mendukung Jokowi di pilpres serta pemerintahan dan parlemen kelak, ditolak mentah-mentah.

Para pimpinan PDIP seperti Tjahjo Kumolo beberapa kali mengatakan tak perlu khawatir dengan pernyataan koalisi tanpa syarat, karena tidak mungkin tak kebagian kue. PDIP, kata dia, telah menghitung ada lebih dari seribu jabatan yang bisa dibagi jika kekuasaan bisa diraih. Selain menteri, dia menyebut posisi pimpinan DPR, BUMN, dubes, dan lain sebagainya. Meski demikian, partai-partai lain tetap saja khawatir merapat, dan memilih bergabung dengan KMP yang lebih ‘jelas’ dan lugas.

Wacana yang dilemparkan Jokowi memang ideal. Bahkan, demi tekad membentuk zaken kabinet, dia sempat menyatakan menteri tak boleh me rangkap jabatan di partai politik. Wa cana ini bukan hanya membuat partaipartai lain enggan mendekat, tapi juga sempat membuat kebakaran jenggot para tokoh partai di internal koalisinya, seperti Muhaimin Iskandar dan Puan Maharani.

Sejak awal, Jokowi mengaku tak khawatir goyangan parlemen saat menjalankan pemerintahannya nanti. Sebab, meski tak didukung koalisi yang kuat (baca: banyak partai dan banyak kursi), Jokowi pernah mengatakan, "Saya akan berkoalisi dengan rakyat." Jokowi memang tak asal ngomong. Dia sudah punya bukti saat memeritah DKI Jakarta. Meski partai pendukungnya di parlemen bukan mayoritas, toh program-program pemerintahannya tetap berjalan.

Bisa jadi pula, dalam perhitungan politik kubu Jokowi-JK, koalisi-koalisi yang terbangun dalam pemilu presiden, akan segera bubrah begitu hasil pilpres diumumkan, seperti pascapilpres 2004 dan 2009. Sehingga, koalisi Jokowi yang hanya meraih 37 persen kursi DPR, tinggal menggaet satu-dua partai saja. Keyakinan itu antara lain terlihat pada ucapan JK.

Saat merespons pemecatan kader Golkar pendukung Jokowi seperti Nusron Wahid, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Poempida Hidayatullah, dia mengatakan setelah menang pilpres akan memecat balik. Yang dia maksud adalah akan menguasai Golkar saat menang pilpres, seperti yang dilaku kannya pasca-pilpres 2004.

Tapi, situasinya ternyata kini ber beda. Upaya menggoyang posisi Aburizal Bakrie di Golkar tak berjalan. Bahkan, menanggapi para koleganya yang berteriak-teriak di koran, dan membuat gerakan mengambil-alih Golkar, ditanggapi Ical dengan setengah meledek: "Mereka itu hanya mangap, nggak punya kekuatan." Setelah Ical bertemu Agung Laksono —yang mencalonkan diri sebagai ketua umum, dan pernah berkata akan membawa Golkar merapat ke Jokowi— wacana pengambilalihan Golkar itu kemudian bak kerupuk terkena udara. Melempem. Golkar yang pragmatis, dan tak pernah berada di luar pemerintahan sejak awal Orde Baru, di tangan Ical justru tetap solid di bawah bendera KMP. Golkar bahkan diduga menjadi otak dibalik empat kekalahan telak KIH.

Kini, setelah empat kekalahan itu, nyatalah bahwa pemerintahan Jokowi- JK akan berada pada sebuah situasi yang diistilahkan ilmuwan politik Jose Antonio Cheibub dkk –dalam papernya Government Coalition and Legislative Success Under Presidentialism—, sebagai pemerintahan minoritas (mino rity government). Situasi ketika ekse kutif dan legislatif dikuasai partai atau koalisi partai yang berbeda. Situasi yang bisa menciptakan kebuntuan (deadlock).

Ilmuwan politik lainnya, Scott Main waring, telah meneliti semua negara yang menerapkan kombinasi sistem presidensial-multipartai, yang diterapkan selama hampir seratus tahun –sejak awal 1900-an hingga 1990- an, dan mendapati tidak ada yang stabil. Situasi minority government atau pemerintahan terbelah (divided government) ini menyebabkan eksekutif lemah, menyulitkan kedua lembaga mencapai konsensus, dan menciptakan konflik berkepanjangan antarkedua lembaga.

Inilah yang menjelaskan mengapa dulu pemerintahan-pemerintahan di Amerika Latin terseok-seok dan jatuh bangun. Sebab, kebijakan apa yang bisa digolkan jika parlemen dikuasai oleh oposisi? Bahkan, parlemen yang kuat dan mempunyai hak impeachment, bisa membuat seorang presiden was-was, karena setiap saat bisa didepak dari istana.

Mainwaring mendapati hanya satu negara yang berhasil stabil dengan kombinasi presidensialisme-multipartai, yaitu Chile. Itu karena Chile mene rapkan koalisi sebagai jalan keluarnya, meski koalisi hanya lazim dalam sistem parlementer. Konsekuensinya, bagi-bagi jatah kursi menteri. Ya, tidak ada makan siang gratis dalam politik. Dan cara inilah yang diduga diterapkan SBY dengan setgab, yang makin kentara ketika Marzuki Alie, Ketua DPR yang juga anggota Dewan Pembina Demok rat, mengusulkan pembangunan gedung baru DPR yang arsitekturnya mirip gedung parlemen Chile.

Alhasil, sekadar mengandalkan popularitas tanpa dukungan parlemen, merupakan sikap yang tak realistis. Dan itu pernah terjadi pada Presiden AS, Barack Obama. Kebijakan populisnya, Obamacare, ditolak parlemen yang dikuasai Partai Republik, yang berbuntut shut down pemerintahan AS.

Tampaknya, kubu Jokowi semakin menyadari situasi itu. Wacana ideal tentang kabinet ramping, zaken kabinet, dan koalisi tanpa syarat, terkesan mulai dikompromikan. Jumlah menteri yang tetap 34 —seperti era SBY— dan penciptaan istilah menteri profesional dan profesional partai, merupakan indikasinya.

Dengan istilah menteri profesional partai, Muhaimin Iskandar dan Puan Maharani berpeluang menduduki kursi menteri, sekaligus memperkuat partaipartai di internal koalisi. Sebab, bila sampai salah satu partai, seperti PKB sampai keluar dari KIH, urusannya bisa makin runyam.

Tetap banyaknya jumlah menteri itu dan istilah professional partai itu, bisa jadi juga sedang disiapkan untuk membuka jalan bagi masuknya partaipartai lain. Akhir-akhir ini, semakin sering terdengar tawaran transaksional terang-terangan dari JK dan para tokoh PDIP dan PKB, untuk menarik partai lain masuk dalam KIH, dengan imbalan kursi menteri.

Mengundang partai lain masuk ke KIH, memang merupakan langkah paling realistis, jika pemerintahan Jokowi-JK ingin berjalan, membuka peluang menduduki kursi pimpinan DPR yang syaratnya telah dipatok UU MD3 dan Tatib DPR, serta mengaman kan jabatan gubernur, bupati, dan walikota, serta parlemen lokal. Bahkan, mereka tak cukup menambah satu partai, tapi dua partai. Mengambil Demokrat saja, yang hanya punya 61 kursi di parlemen mendatang, tak cukup membuat KIH menjadi mayoritas.

Persoalannya, akankah partaipartai yang kini tergabung di KMP akan tergoda? Tampaknya, sulit. Situasi saat ini memang bukan semata karena dendam politik dan fatsun politik untuk menghargai kesepakatan koalisi yang telah dibuat di internal KMP, tapi juga karena partai-partai di KMP melihat kue besar dan menggiurkan, yaitu posisi pimpinan parlemen dan jabatan gubernur, bupati, dan walikota. Inilah yang mungkin membuat KMP tetap solid, karena ada peluang berkuasa de ngan cara berbeda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement