Selasa 30 Sep 2014 12:00 WIB

Profesional Sebaiknya Tetap di Indonesia

Red:

Moh Jumhur Hidayat, lahir di Bandung, tanggal 18 Februari 1968, adalah salah satu sosok yang expert dalam soal ketenagakerjaan. Mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia periode 2007-2014 ini sudah semenjak mahasiswa menggeluti isu kaum pinggiran, yakni buruh dan petani.

Jumhur sempat kuliah di ITB Jurusan Teknik Fisika tahun 1986. Namun, sebelum lulus pada tahun 1989 dan divonis penjara selama tiga tahun karena menggerakkan berbagai demonstrasi menentang Pemerintah Orde Baru terkait penggusuran tanah-tanah rakyat. Setelah keluar dari penjara, ia melanjutkan kuliah dan menyelesaikan sarjana di Universitas Nasional (UNAS) tahun 1996, kemudian menyelesaikan pendidikan S-2 di UI pada bidang sosiologi.

Selain itu, Jumhur pun sempat memimpin lembaga think-tank yang berisi kalangan muda, yakni Center for Information and Development Studies (CIDES). Berbagai forum pelatihan dan seminar, terutama dalam bidang ekonomi, politik dan ketenagakerjaan, baik di dalam maupun di luar negeri juga kerap diikutinya. Bermacam penghargaan selama memimpin BNP2TKI juga telah diraihnya.

Nah, dalam wawancara ini, Jumhur dimintai pendapatnya mengenai nasib pekerja Indonesia di era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mulai berlaku pada tahun 2015. ''Untuk bidang ketenagakerjaan, jujur saja, Masyarakat Ekonomi ASEAN itu merugikan Indonesia!'' katanya.

===============

1. Apa tantangan utama bangsa ini dengan hadirnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015?

Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 hanya salah satu saja dari tantangan globalisasi yang kita hadapi. Tantangan lain bahkan sedang kita jalani seperti perjanjian-perjanjian perdagangan bebas CAFTA dengan Cina, IAFTA dengan India, dan sebagainya. Belum lagi tantangan seperti dalam APEC yang terus-menerus mendesak penurunan tarif dalam cukai perdagangan. Kalau soal tantangan utama, ya tentunya SDM, karena dengan SDM unggul berbagai hal bisa terpecahkan.

Tapi, mencapai SDM unggul ini bukan sekadar memintarkan orang menjadi sarjana atau doktor atau kaum profesional, melainkan memberi kesempatan pada mereka untuk mengabdi dan terus berkarya dan berinovasi. Jangan sampai semakin banyak sarjana dan doktor pertanian tapi bangsa ini menjadi salah satu negara pengimpor pangan terbesar di dunia.

Demikian juga semakin banyak insinyur dan doktor dalam bidang industri tetapi yang terjadi malah deindustrialisasi. Menurut saya, ini bukan kesalahan para profesional itu, melainkan kesalahan pada visi besar pembangunan yang digariskan para pemimpin. Jadi yang salah ya para pemimpinnya karena tidak memberi peluang mereka berkarya dan berinovasi di negerinya akibat diserbu oleh produk-produk impor.

2. Bagaimana Anda melihat nasib bangsa ini? Apakah sebenarnya siap bersaing?

Ya kalau tidak diorientasikan pada kemampuan diri sendiri, maka akan semakin menjadi bangsa yang bergantung. Artinya tidak siap bersaing karena semua kebutuhan sudah disediakan bangsa lain dan kita tinggal mengonsumsinya. Lama-kelamaan secara agregat dalam skala nasional kita akan kehilangan daya beli kemudian masuk lingkaran krisis dan menjadi bangsa yang tertinggal secara kolektif walau ada segelintir yang mungkin hidup serbaberkecukupan dan menjadi manusia maju. Tapi kan jelas bukan ini tujuan kita berbangsa dan bernegara. Intinya kita harus memacu dan fokus pada semua aspek dalam persaingan global, khususnya peningkatan produktivitas SDM, karena kita tidak mau terus-menerus bergantung bangsa lain.

3. Bagaimana solusinya agar bisa keluar dari situasi bangsa kuli dan menjadi kuli bangsa-bangsa akibat ASEAN Free Trade 2015 itu?

Untuk bidang ketenagakerjaan, jujur saja, Masyarakat Ekonomi ASEAN itu merugikan Indonesia. Bayangkan saja, dari delapan jenis pekerjaan yang sudah masuk dalam MRA (mutual recognition agreement) yaitu insinyur, arsitek, dokter, dokter gigi, perawat, petugas pariwisata, akuntan, dan tenaga survei, sesungguhnya bangsa kita masih membutuhkan mereka.

Sementara itu, untuk jenis pekerjaan lain yang kita punya banyak SDM-nya masih belum diperjanjikan. Kesimpulannya, yang akan terjadi inflow tenaga kerja ke pasar kerja Indonesia. Jadi, jangan heran kalau nanti ada dokter orang Filipina atau Vietnam bekerja di rumah sakit di Wonosobo atau Garut. Demikian juga jangan heran kalau nanti insinyur dan akuntan dari Malaysia dan Thailand akan bekerja di perusahaan-perusahaan besar di kota-kota besar di Indonesia.

4. Bagaimana mengantisipasinya bila benar demikian?

 Tidak ada cara lain, tinggalkan berleha-leha dan singsingkan lengan baju, khususnya bagi para pejabat yang akan menjadi pembimbing peningkatan daya saing ini. Berbagai instrumen harus didayagunakan, misalnya mengampanyekan kepada komunitas pengusaha di Indonesia untuk tetap mempekerjakan tenaga kerja lokal. Pemerintah juga perlu mengampanyekan kepada komunitas profesional, agar tetap bekerja di Tanah Air sejauh jenis pekerjaan itu tersedia, karena sikap ini adalah bagian dari pengabdian nyata kepada bangsa walau ada tawaran upah lebih tinggi di pasar kerja ASEAN.

Kesadaran ini juga bisa disebut sebagai revolusi mental dalam menghargai kemampuan negeri sendiri. Selanjutnya pemerintah perlu mewajibkan agar negara mitra asal pekerja yang akan datang ke Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran Beserta Anggota Keluarganya. Sejauh ini, dari 10 negara anggota ASEAN hanya Filipina dan Indonesia yang sudah meratifikasinya.

Di samping itu, pemerintah dapat pula menetapkan persyaratan bahwa pekerja asing yang akan masuk wajib mengerti dan bisa berbahasa Indonesia sebagai dasar untuk melakukan transfer teknologi dan pengetahuan (know-how).

5. Apa hanya itu saja langkah antisipasinya?

 Ya tentu masih banyak lagi seperti program jemput bola (reach-out) untuk melakukan sertifikasi kompetensi kerja secara sistematis dan masif di kantong-kantong kaum profesional. Agar program sertifikasi ini bisa diikuti oleh sebanyak-banyaknya pekerja Indonesia, maka sarana untuk menuju sertifikasi seperti pendidikan khususnya pendidikan profesi dan kejuruan serta pusat-pusat pelatihan yang layak dan berstandar internasional harus dibangun.

Selanjutnya melakukan diplomasi multilateral maupun bilateral setingkat kepala pemerintahan atau setidaknya setingkat menteri untuk membuka pasar kerja di luar delapan jenis pekerjaan yang sudah terpayungi oleh MRA, di mana Indonesia memiliki keunggulan. Sedangkan untuk mengantisipasi kebutuhan jangka menengah dan panjang, diperlukan suatu perencanaan tenaga kerja nasional yang terintegrasi dengan perencanaan industri nasional terutama industri manufaktur, pertanian dan perkebunan serta kelautan dan perikanan. 

5. Soal internal Indonesia, bagaimana anda melihat tuntutan buruh soal kenaikan upah dan sistem kerja outsourcing. Lalu bagaimana cara mengatasinya?

 Sudah saatnya penentuan upah dilakukan dengan berbasis pada produktivitas (productivity wage). Dengan begitu akan terasa lebih adil bagi mereka yang bekerja keras dengan mereka yang "sekadar bekerja". Namun begitu, di dalam industrinya juga harus disiapkan sistem di mana yang produktif akan tampak dibanding yang tidak produktif. Begitu juga dengan mesin-mesin industrinya harus banyak yang diremajakan sehingga secara total, produktivitas meningkat.

Kalau soal outsourcing, sebenarnya aturannya sudah jelas. Tinggal pengawasannya saja yang ditingkatkan sehingga yang seharusnya tidak boleh outsourcing ya jangan dilakukan. Kalau dilakukan, ya harus ada tindakan sanksinya. Menurut saya, karena kita punya banyak BUMN, maka sudah sepatutnya BUMN menjadi teladan yang baik, bukan malah menjadi teladan melakukan outsourcing yang melanggar aturan.

6. Bagaimana Anda melihat munculnya kesadaran baru bahwa negara ini harus mandiri secara penuh, misalnya kekayaan alam dikelola oleh bangsa sendiri. Bisakah kesadaran ini diremehkan?

Kita adalah bangsa yang hampir memiliki semua untuk memenuhi kebutuhan kita semua. Masalahnya, bangsa ini kufur nikmat sehingga kelimpahan yang diberi Tuhan itu tidak dikelola dengan benar. Keunggulan komparatif kita dengan adanya kesuburan tanah, kekayaan alam, dan penduduk yang besar tidak bertransformasi menjadi keunggulan kompetitif. Beberapa keunggulan komparatif itu tidak akan bertahan lama karena bersifat non-renewable, sementara keunggulan kompetetif dengan SDM unggul adalah renewable.

Singkatnya, tambang semakin digali semakin habis, tapi SDM semakin ditantang keahliannya akan semakin hebat. Soal mengelola kekayaan alam oleh bangsa sendiri, ya sudah tentu bisa bahkan sekarang pun bisa, hanya saja kok kesempatan itu banyak diberi ke swasta, termasuk swasta asing. PT. Pertamina dan PT Aneka Tambang itu kan sebetulnya mampu mengelola kekayaan alam Indonesia.

Kalau soal dana investasi, sekarang ini begitu banyak sumber-sumber dari pasar uang Internasional. Sejauh mereka melakukan dengan good governance dan clean government, maka dana dalam jumlah besar pun itu tentunya bisa diakses, apalagi diakses oleh korporasi sekelas Pertamina atau Aneka Tambang.

7. Bagaimana Anda melihat kekuatan pasar internasional, khususnya pasar tenga kerja Indonesia. Perlukah pemerintah banyak terlibat mengaturnya?

 Fenomena migrasi internasional itu semakin kuat karena adanya ketimpangan distribusi tenaga kerja antarnegara. Ada negara yang sangat butuh tenaga kerja tapi ada negara yang kelebihan angkatan kerja. Nah, dorongan yang semakin kuat ini memerlukan peran negara atau pemerintah karena kalau tidak, maka bisa terjadi penyerbuan pasar kerja Indonesia oleh pekerja asing atau keluarnya tenaga kerja kurang terdidik ke pasar kerja kurang berkualitas di luar negeri, seperti misalnya menjadi PRT, nelayan penangkap ikan di perairan internasional, dan tenaga kasar lainnya yang tingkat perlindungannya rendah bahkan menjurus perdagangan manusia (human trafficking).

Khusus pasar kerja luar negeri ini, saya pernah terlibat langsung ketika menjadi Kepala BNP2TKI. Saking kuatnya permintaan untuk tenaga kurang terdidik menjadi PRT dan nelayan, maka persyaratan yang ketat pun mereka hindari dengan menjadi TKI nonprosedural. Tapi, ini jelas kriminal bagi pelaku penempatannya dan mereka yang diberangkatkan bisa menjadi korban. Sedihnya, kalau sudah ada masalah maka publik mengalamatkan kesalahan pada BNP2TKI, padahal BNP2TKI tidak memproses keberangkatannya.

8. Anda pernah dipenjara semasa Orde Baru, berunjuk rasa menentang penggusuran. Apa hikmah dari peristwa tersebut? Apalagi Anda dipenjara cukup lama dan pernah merasakan ditahan di Nusakambangan?

Seperti kata Bung Hatta, penjara adalah sekolah yang baik bagi orang pergerakan. Saya benar-benar merasakan hal itu. Bahkan, di penjara kita bukan hanya melatih kecerdasan pikiran, tapi juga kecerdasan emosi dan spiritual. Dalam penjara saya banyak membaca, menulis, dan merenung tentang banyak hal, khususnya masalah kemasyarakatan. Hikmahnya, saya lebih mengenal diri saya, masyarakat kita, dan tentunya ingin ikut serta atau terlibat dalam perkembangan masyarakat Indonesia hingga menjadi lebih baik. n muhammad subarkah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement