Selasa 16 Sep 2014 14:30 WIB

Djohermansyah Djohan, Dirjen Otda Kemendagri: “Sikap Pemerintah Langsung, Langsung, Langsung…”

Red:

Mulanya pemerintah menghendaki gubernur dipilih DPRD, dan bupati/walikota dipilih langsung. Apa alasannya?

Pemerintah melihat dari prinsip desentralisasi dan otda. Nah, 75 persen otda kita di kabupaten/kota. Maka kita usulkan gubernur cukup dipilih Dewan, karena kewenangannya tidak besar. Apalagi pilgub itu mahal. Ada yang Rp 500 miliar, ada yang Rp 1 triliun. Tapi, kan (fraksi-fraksi di DPR) nggak mau semua. Ada alasan gubernur adalah training fornational political leadership. Jadi, kalau jadi gubernur, ntar jadi presiden. Dan. kemudian terbukti ada gubernur yang jadi presiden, Jokowi.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/ Wihdan

Belakangan sikap pemerintah berbalik, gubernur dipilih langsung, bupati/walikota dipilih DPRD, dan sempat disetujui banyak fraksi. Apa pertimbangannya?

Itu sebetulnya untuk efektivitas desentralisasi dan otda. Jadi kalau gubernur dipilih langsung, dia kan kuat power-nya, karena menerima mandat dari rakyat. Kalau bupati/walikota dipilih DPRD kan legitimasinya tidak kuat. Karena itu, gubernur bisa dengan mudah mengendalikan dan mengontrol bupati/walikota. Itu pandangan otonominya.

Karena sekarang ada kecenderungan bupati/walikota nggak patuh pada gubernur, raja-raja kecil. Dipanggil gubernur dia bilang ‘saya lagi di lapangan ngurusin rakyat nih pak’. Dipanggil rapat nggak datang. Dikasi bantuan nggak hadir. Meninggalkan daerah nggak lapor. Kalau tiba-tiba terjadi gempa bumi bagaimana? Tapi mereka bisa bilang sama gubernur ‘kan kita sama-sama dipilih rakyat pak, ini rakyat kami, rakyat bapak mana’. Berantakan semua, pemerintahan nggak efektif. Jadi kita harus bangun hirarki. Pemerintah itu harus hirarkis. Kalau hirarki nggak jalan, pemerintahan kacau.

Sampai kapan pemerintah bertahan dengan posisi itu?

Sampai 14 Mei 2014, posisi pemerintah gubernur dipilih langsung, tapi dengan perbaikan-perbaikan. Segala kekurangan, hal negatif, dan keburukan pemilihan langsung, harus diatasi. Sedangkan, bupati/wali kota dipilih DPRD. Tapi, mereka (yang menginginkan seluruh pilkada langsung) menolak. Alasannya, pilkada langsung keinginan rakyat.

Maka, supaya kita bisa menyelesaikan RUU Pilkada, apalagi masa tugas DPR habis bulan Oktober 2014, ketika rapat di Cikopo, Bogor, 1- 3 September, pemerintah akhirnya menyepakati. Sudahlah, daripada kita berlarut-larut, gubernur maupun bupati dan wali kota dipilih langsung.

Tapi, yang mengagetkan pemerintah, mereka kemudian meminta semuanya dipilih oleh DPRD. Fenomena apa ini? Kita pelajari, kita kaji, dan seperti yang terungkap di masyarakat itu rupanya efek pascapilpres.

Setelah sebagian besar fraksi di DPR menghendaki kembali dipilih DPRD, apakah pemerintah akan kembali ke sikap semula?

Sekarang ini posisi pemerintah tetap sesuai yang kami ajukan 2 September: langsung, langsung, langsung.

Kenapa tidak kembali ke sikap semula, kan sudah ada dukungan politik yang kuat?

Kita mendengar suara masyarakatlah. Di masyarakat kan kecenderungannya kuat sekali tetap menghendaki demokrasi partisipatif, melibatkan langsung masyarakat memilih pemimpinnya di daerah, seperti juga memilih presiden di tingkat negara. Tapi, pemilihan langsung dengan perbaikan pada kekurangan dan kelemahan selama ini dengan pilkada serentak dan menekan biaya pilkada, supaya namanya pilkada murah.

Yang pro kembali ke DPRD kan bisa bilang bahwa biayanya bisa lebih murah kalau ke DPRD…

Ya memang. Dari triliunan rupiah, biayanya nanti hanya akan ratusan juta saja. Ke Dewan ongkosnya murah banget. Nggak perlu surat suara. Hanya nasi kotak sama debat-debat visi misi. Tapi, aspirasi yang sekarang berkembang di masyarakat mendukung pilkada langsung. Mudah-mudahan ‘kembali ke pangkuan ibu pertiwi’, saya bilang begitu sama fraksi-fraksi di Dewan. ed:harus husein

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement