Jumat 29 Aug 2014 12:00 WIB

Maju Mundur WTO

Red:

Oleh: Agung P Vazza -- Perdagangan bebas tak terbendung. Suka atau tidak, Indonesia sudah berada dan larut bersamanya. Se telah melalui perjalanan panjang, sejak 1947, Gene ral Agreement on Tariff and Trade (GATT), kini bertransformasi menjadi World Trade Organization (WTO). Sebuah organisasi formal dan mengikat yang menaungi seluruh aturan main perdagangan dunia.

Menyusun aturan main perdagangan dunia pastinya bukan perkara mudah. Buktinya sampai saat ini, WTO yang res mi terbentuk pada 1995 belum menghasilkan kesepakatan apapun. Sejumlah perbedaan mendasar di setiap negara membutuhkan perundingan dan negosiasi teramat sangat panjang. Indonesia pas tinya terlibat aktif dalam setiap perundingan dan negosiasi dengan tetap mempertahankan kepentingan perekonomian dan perdagangan nasional.

Setelah sekitar 20 tahun perundingan dan negosiasi WTO berlangsung, titik ce rah muncul di Bali, saat digelar Konfe rensi Tingkat Menteri ke-9 WTO, awal Desember 2013. Sejak dimulai, sebanyak 160 negara anggota WTO sempat diba yangi kekhawatiran gagal membuah ha sil. Bahkan sempat pula muncul pan dang an Konferensi di Bali adalah pertaruhan bagi kredibilitas WTO. Namun setelah melalui perundingan alot, akhirnya tercapai tiga kesepakatan.

Pertama, paket pertanian (agrikultural) yang membolehkan negara berkembang melakukan proteksi berupa subsidi pertanian sampai 10 persen dari nilai total produksi dengan acuan harga 1986- 1988. Sebaliknya negara maju berkomitmen mengurangi subsidi pertanian. Paket ini sempat ditolak India, yang meng ingin kan subsidi bisa mencapai 15 persen de ngan acuan harga yang lebih update. Ne gara maju dimotori Amerika Serikat me nolak keinginan India tersebut. Ak hir nya, disepakati paket jalan tengah, sub sidi pertanian India dikecualikan sebagai solusi sementara proteksi dan penguatan stok produk pertanian dalam negerinya, sampai menemukan solusi permanen dalam kurun empat tahun, sampai 2017.

Kedua adalah paket untuk negara miskin atau Least Development Countries (LDCs). Dalam paket ini negara miskin men dapat kemudahan lalu lintas dan fasilitas perdagangan. Ketiga, melonggarkan fasilitasi perdagangan (trade facility) guna meningkatkan kapasitas pelayanan dari negara miskin dan negara berkembang. Cara ini dilakukan dengan catatan bantuan dari negara maju baik bantuan secara financial (keuangan) maupun transfer teknologi. Paket kedua dan ketiga, berjalan mulus.

Seluruh pemangku kepentingan WTO pun lega. Penantian panjang terbitnya aturan main perdagangan dunia akhirnya membuahkan hasil. Direktur Jenderal WTO, Roberto Azevedo, menilai Bali Agree ment sangat bersejarah karena menjadi kesepakatan pertama yang diha silkan WTO. "Untuk pertama kalinya da lam sejarah, WTO telah berhasil. Sebe lumnya, saya menantang semua pihak di Bali, untuk menunjukkan kemauan politik yang diperlukan untuk sampai garis akhir, dan ternyata berhasil," kata Azevedo, dikutip dari situs WTO. Sikap Indonesia sendiri, yang saat itu diwakili Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, sempat mendapat kritik dari sejumlah kalangan dalam negeri lantaran dianggap kurang maksimal melindungi sektor pertanian nasional.

Batas ratifikasi Kesepakatan Bali tersebut pun ditentukan pada 31 Juli 2014, dengan target implementasi pada 2015. Namun, hanya berselang beberapa hari sebelum deadline 2014, India menge luarkan pernyataan mengejutkan. Da lam sebuah pertemuan WTO di Jenewa, menjelang deadline 31 Juli 2014, India me nolak sepakat terhadap Bali Agreement.

Pernyataan tersebut dilontarkan Menteri Perdagangan India, Nirmala Sitharaman. "Saya percaya WTO bisa meng hargai sensitifitas (sektor pertanian) di India dan negara berkembang lain, serta melihat isu ini dari sisi positif," ungkap Nirmala dikutip Reuters. India mengingin kan deadline ratifikasi diundur sampai akhir tahun, atau setidaknya sampai India menemukan solusi permanen terkait pengurangan subsidi dan penguatan stok produk pertanian, sebelum benar-benar meratifikasi Kesepakatan Bali. Lain kata, India menolak solusi sementara selama empat tahun, sampai 2017.

India, masih menurut Nirmala, kha watir jika meratifikasi Kesepakatan Bali sesuai deadline WTO, sekaligus implementasinya pada 2015, maka pada 2017 nanti India bakal kehilangan posisi tawar terkait isu subsisi dan penguatan stok produk pertanian. "India tidak ingin meng halangi Kesepakatan Bali, tapi kami berupaya mendapatkan level komitmen yang setara. Solusi permanen bagi ketahanan pangan kami adalah keharusan, tidak bisa menunggu lama," tambah Nirmala.

Menteri Keuangan India, Arun Jaitley, salah satu kunci berpengaruh di pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi, yang sejak awal sudah menentang Kese pakatan Bali mengeluarkan pernyataan lebih tegas. "India tidak akan kompromi demi mempertahankan kepentingan peta ninya. Kalaupun diisolasi, bukan masa lah. Terkadang kita memang harus sen dirian untuk bersikap tepat," tegas Arun dalam wawancara dengan NDTV yang dikutip Reuters.

Langkah India yang mendapat du kung an dari Bolivia, Kuba, dan Ve ne zuela, tentu saja membuat petinggi WTO terkejut. "Kami akan mencoba segala yang kami bisa," ujar Roberto. Apapun kegagalan meratifikasi Kesepakatan Bali merupakan sebuah pukulan besar bagi organisasi perdagangan dunia itu. Yang pasti, WTO merencanakan pembahasan ulang atas isu yang ditolak India tersebut kembali digelar September mendatang.

Sejumlah negara maju, khususnya Ame rika Serikat diprediksi juga bakal tetap dengan sikapnya. Perundingan boleh jadi kembali alot. Langkah maju yang sudah dibuat, harus kembali mundur ke proses sebelum Kesepakatan Bali. Dan kredibili tas WTO kembali jadi pertaruhan.

AFTA-AEC

Tertundanya ratifikasi dan implementasi Kesepakatan Bali tersebut, kembali membuktikan sulitnya mencapai kese pakatan perdagangan dunia. Apalagi ka bar burung mencuat India juga tengah melobi Tiongkok untuk mendapatkan du kungan. Bagi Indonesia, tertundanya Ke se pakatan Bali membuka sedikit peluang untuk lebih bersiap diri, khususnya di sektor pertanian, sebelum Kesepakatan Bali benar-benar diimplementasikan.

Perselisihan dalam perundingan aturan main perdagangan dunia seperti itu memang bukan sekali dua kali terjadi. Ini pula yang seringkali menjadi alasan selama sekitar 20 tahun terakhir, WTO belum menghasilkan kesepakatan berarti (bisa diimplementasikan). Kendati begitu, dorongan untuk segera memulai era per dagangan bebas yang sebenarnya sudah sangat kuat di hampir semua negara anggota WTO. Dorongan ini selanjutnya terwujud dalam tren regionalisasi di ham pir semua kawasan di dunia. Kawasankawasan tertentu dengan batasan-ba tasan tertentu membentuk area perda gang an bebas, yang kemudian dikenal dengan free trade area (FTA).

FTA tersebut bisa berupa kesepakatan perdagangan bebas antarnegara di dalam satu kawasan, bisa juga bersifat bilateral, dengan tetap mengacu pada pokok-pokok sesuai aturan main dalam WTO. Di beberapa kawasan, era perdagangan bebas bahkan sudah dimulai. Salah satunya tak lain ASEAN Free Trade Area (AFTA), kawasan perdagangan bebas negara-negara Asia Tenggara. Dan salah satu bentuk tak terpisahkan dari AFTA adalah implementasi ASEAN Economic Community (AEC) 2015.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, di Cebu, Filipina, 2007, sudah menyepakati AEC diimplementasikan mulai Januari 2015. Hanya dalam hitungan beberapa bulan ke depan, Indonesia akan larut dalam perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara. Sebagai negara terbesar di kawasan, tidak ada pilihan bagi Indonesia kecuali ‘bertarung’ dan bersaing di rumah sendiri. Banyaknya jumlah penduduk Indonesia bisa berarti pasar menggiurkan bagi negara-negara ASEAN. Dan persaingan merebut pasar domestik boleh jadi sebuah keharusan bagi Indonesia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato dan penyampaian nota keuangan di hadapan DPR, 16 Agustus 2014 lalu, menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi 5,0 persen pada 2004 dan terjaga pada kisaran rerata 5,8 persen dalam periode 2005-2013.

Tak hanya itu, tahun 2014 Bank Du nia juga mengumumkan Indonesia termasuk 10 besar ekonomi dunia berdasar kan metode perhitungan Purchasing Power Parity. Pertumbuhan ekonomi juga se makin inklusif dan berkualitas. Pertum buhan kualitas manusia Indonesia yang tercermin dari Human Development Index (HDI) meningkat dari 0,640 pada 2005 menjadi 0,684 pada 2013, sesuai data UNDP dalam Human Development Re port 2014. Rata-rata pendapatan per kapita rakyat Indonesia pada tahun 2004 adalah sebesar 1.161 dolar AS, dan selama sembilan tahun meningkat rata-rata 13,0 per sen per tahun, sehingga pada 2013 mencapai 3.475 dolar AS. Angka ini berdasarkan data indikator ekonomi Bank Dunia.

Data dan angka tersebut cukup mencerminkan kemampuan Indonesia bersaing dalam AFTA dan AEC 2015. Namun berpuas diri bukanlah pilihan tepat. HDI Indonesia 2013 versi UNDP memang meningkat menjadi 0,684, tapi dengan kekayaan sumber daya alam yang lebih besar, HDI Indonesia masih berada di bawah Singapura (0,89) dan Brunei (0,85), serta Malaysia (0,76). Simak juga angka Corruption Perceptions Index (CPI) 2013 versi Transparency International, yang menggolongkan Indonesia sebagai negara dengan korupsi tinggi. Singapura menjadi negara terkecil korupsinya di ASEAN.

Sedangkan Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/ GCI) 2013- 2014 versi World Economic Forum (WEF), Indonesia di peringkat 38 dari 148 negara. Indonesia lebih baik dari Vietnam, Timor Leste, Kamboja, dan Filipina. Namun, Indonesia masih kalah dengan Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Berdasar angka-angka tersebut optimisme tak pelak sebuah keniscayaan. AFTA dan AEC 2015 hanya salah satu dari sekian banyak ‘serbuan’ tren ka wasan perdagangan bebas. Dan menghadapi itu banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement