Selasa 22 Jul 2014 12:00 WIB

Indonesia Janganlah Kau Robek!

Red:

Oleh: Muhammad Subarkah -- Ibarat kisah para Rasul, suasana ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mirip situasi ketika Nabi Musa AS bersama para pengikutnya berada dalam posisi terjepit di tepian pantai Laut Merah akibat dikejar bala tentara Raja Fir'aun. Di depan hanyalah lautan luas bergelombang. Di bagian belakang mereka dalam jarak yang tak terlampau jauh, bala tentara itu sudah begitu dekat akan segera menangkapnya.

Di tengah situasi panik, tiba-tiba pertolongan Allah datang kepada Nabi Musa. Dia mendapat wahyu agar segera memukulkan tongkatnya ke air laut. ''Pukulkan tongkatmu ke air laut. Nanti laut akan terbelah, dan segera melintaslah,'' begitu perintah Tuhan yang kemudian berbisik di telinga Nabi Musa. Tanpa pikir panjang diturutilah perintah itu. Dan, benar lautan pun terbelah. Di tengahnya tampak sebuah celak yang mirip lorong. Maka, Nabi Musa dan seluruh pengikutnya segera melintasi jalanan baru itu. Mereka pun semangat sampai ke seberang.

Nah, Pilpres 2014 itu kini membuat kebingungan rakyat. Laksana gelombang laut situasi berputar dan bolak-balik tak keruan. Perang klaim kemenangan terjadi. Ancaman kekerasan tiba-tba terkuak. Sebagian etnis Tionghoa yang biasanya tinggal di arena bisnis elektronik di kawasan Glodok mulai mengungsi.

''Lihat teman-tema saya di Glodok sana. Mereka sudah risau. Sebagian sudah pergi ke luar negeri. Mereka takut akan munculnya kerusuhan,'' kata Lim Kok Heng, pebisnis bahan bangunan di Kota Tangerang.

''Dalam situasi ini, maka jelas kita perlu pemimpin. Pemimpin yang mampu menjaga dan menenangkan hati rakyat. Kami tak ingin ada kerusuhan lagi,'' ujar Heng kembali.

             

                                                            ******

Dalam situasi yang serbagamang ini, pihak pemimpin umat seperti Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan para pemimpin bangsa harus segera mengambil sikap yang arif dan bijaksana. Mereka harus berani mengambil peran kenabian, yakni mampu menenangkan masa dan merangkul semua pihak agar tetap menjaga kedamaian.

''Keterbelahan bangsa kini begitu terasa. Bahkan, tingkatannya sudah luar biasa. Pada pilpres kali ini tampak jelas upaya untuk mencari kesalahan lawan politik hal lumrah dan biasa. Black campaign dan negative campaign  selalu terjadi. Bahkan, kini sudah menyentuh soal suku, agama, ras, dan antar holongan (SARA). Pembelahan bangsa ini akibat pilpres sudah begitu  dalam dan membuat luka,'' ujar Din.

Bukan hanya itu, lanjut Din, media massa yang menjadi pilar demokrasi ikut terbelah dan berpihak, bahkan ada yang begitu gencar membela masing-masing pasangan capres-cawapres. ''Jelas apa yang terjadi sekarang adalah musibah. Maka, kita harus segera waspada dan mengambil tindakan konkret untuk meredam perpecahan ini.

Bangsa Indonesia membutuhkan sikap legowo dan kenegarawanan dari kedua calon presiden untuk dapat menerima kemenangan tanpa euforia berlebihan serta menerima kekalahan dengan jiwa besar,'' Din Syamsuddin menegaskan.

Konflik akibat pilpres di dalam masyarakat memang tak bisa dibiarkan. Apalagi, selama ini konflik sosial di Indonesia cenderung tinggi. Data Kementerian Dalam Negeri menyatakan, pada 2013 dalam setahun terjadi 89 peristiwa konflik horizontal. Jumlah ini agak menurun bila dibandingkan jumlah konflik pada 2012 yang mencapai 128 konflik. Hal yang paling menyedihkan di beberapa daerah, misalnya Jawa Barat, banyak sekali konflik yang bernuansa sara. Berdasarkan data dari Kemenkopolhukam RI, dari 69 potensi konflik di Jabar, 45 di antaranya berlatarbelakang SARA.

Yang semakin membuat prihatin, di tengah munculnya "badai fitnah" dalam ajang Pilpres 2014 ini, tiba-tiba publik terhenyak oleh letupan konflik agraria di sejumlah tempat, terutama di Rembang dan Karawang. Bahkan, berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kondisinya sudah bisa dikatakan darurat. Alasannya, dalam lima tahun terakhir (2009-2013), jumlah kasus konflik agraria di Indonesia melonjak tiga kali lipat. Untuk tahun 2013 saja, jumlah letupan konflik agraria mencapai 369 kasus. Korban jiwa akibat konflik agraria ini mencapai 21 orang. Belum lagi, ada 30 orang tertembak, 130 orang mengalami penganiayaan, dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan.

Lalu, di wilayah mana saja konflik sosial akibat pilpres bisa terjadi. Kajian Indonesia Police Watch (IPW) memprediksi DKI Jakarta akan menjadi kota paling rawan konflik horizontal setelah pengumuman pemenang Pilpres 22 Juli 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Polda Metro Jaya Jaya (Polri) harus memaksimalkan kinerja intelijen agar bisa melakukan deteksi dini situasi pada 22 Juli 2014 saat KPU mengumumkan hasil pilpres," tutur Neta dalam siaran persnya sepekan silam. Selain Jakarta, setidaknya ada tiga daerah yang juga rawan konflik akibat pilpres. Wilayah itu adalah  Jawa Timur, Yogyakarta, dan Solo Raya.

Dan terkait soal isu kerusuhan, Juru Bicara Tim Pemenangan Prabowo Subianto-Hatta, Tantowi Yahya, di Gedung Parlemen, beberapa waktu silam, sempat menyatakan menjelang pelaksanaan pilpres ini memang banyak di antara WNI keturunan etnis Tionghoa yang hijrah sementara ke Singapura. Mereka khawatir dengan adanya prediksi kerusuhan saat pilpres nanti.

"Sudah banyak teman-teman saya yang kabur sementara. Mereka takut kalau rusuh. Ancaman adanya prediksi kerusuhan. Jadi, mereka ada yang juga menggunakan hak pilihnya di luar negeri," kata Tantowi.

Dia mengakui, para WNI keturan etnis Tionghoa masih trauma dengan kerusuhan Mei 1998. Terlebih, dengan adanya ucapan yang menyebutkan kalau Jokowi-JK kalah pada Pilpres 2014 karena dicurangi. Pernyataan ini seolah-olah memberikan anggapan kalau Prabowo-Hatta menang nantinya, merupakan hasil kecurangan.

"Statement itu mengerikan. Jadi, saya rasa itu adalah salah satu kekhawatiran yang wajar. Terutama, mereka masih dihantui trauma 1998," ungkapnya.

                                                    ********

Terkait situasi pascapemilihan presiden, Wakil Ketua MPR Dimyati Natakusuma menyatakan agar klaim dan pertentangan mengenai pemenang pilpres harus berakhir tanggal 22 Juli ketika KPU telah mengumumkan hasil rekapitualsi finalnya. Kedua pasangan calon presiden harus menerima ini sesuai dengan janji saat deklarasi pemilu damai dan pernyataan siap menang dan siap kalah.

"Semua pihak harus dewasa, baik yang menang maupun yang kalah. Para pemimpin negeri ini juga harus melakukan antisipasi atas adanya kemungkinan-kemungkinan buruk pasca 22 Juli. Persaingan pilpres jangan sampai merobek negeri ini," kata Dimyati.

Akhirnya, mudah-mudahan Allah masih mau menyelamatkan Indonesia dari ancaman bahaya dan konflik seperti dulu yang terjadi pada zaman Nabi Musa AS. Wallahu'alam. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement