Selasa 24 Jun 2014 13:52 WIB

Siapa Bilang Jawa Belum Islam?

Red:

oleh:Muhammad Subarkah -- ''Muslim Jawa itu Muslim nominal!'' Pernyataan yang meragukan orang Jawa bisa menjadi Muslim yang sejati seperti ini telah berdengung minimal dalam kurun setengah abad terakhir. Ini dimulai ketika ilmuwan sosial asal Amerika Serikat, Clifford Geertz, pada ujung dekade 50-an mengemukakan hasil penelitiannya mengenai pengaruh agama di kalangan masyarakat Jawa. Saat itu, Geertz melakukan penelitian di kota yang disebutnya sebagai Mojokuto atau tepatnya Kota Pare, Kediri, Jawa Timur.

Hasil penelitian Geertz kemudian menelurkan tiga varian tentang orang-orang Jawa (Trikotomi), yakni santri, priayi, dan abangan. Santri adalah mereka yang taat pada ajaran Islam, priayi adalah kelompok sosial yang terpengaruh ajaran leluhur, yakni Hindu-Buddha, dan abangan adalah kelompok rakyat jelata yang tak terlalu taat pada Islam dan mempraktikkan agama secara sinkretis.

''Memang sudah lama sekali pengelompokan Geertz itu. Banyak pihak yang bertanya apakah masih berlaku sampai sekarang, yakni setelah lebih dari setengah abad. Jawabnya sudah berubah sama sekali. Keberagamaan orang Islam di Jawa kini tak bisa lagi dianggap nominal. Islam sudah begitu merasuk ke dalam masyarakat itu?'' kata DR Pipip Rifai Hasan, pengajar pada Universitas Paramadina, ketika ditanya soal isu Islam nominal di kalangan kaum Muslim di Jawa.

                                                              *********

Adanya sinyalemen bahwa orang Jawa tidak bisa menjadi Islam yang kaffah yang itu kemudian dijawab oleh Pipip bahwa keadaannya sudah berubah, semakin membuat penasaran untuk melihat kenyataan yang terjadi di lapangan. Pada sebuah perjalanan yang khusus untuk melihat kenyataan berubahnya kondisi sosial keagamaan di Jawa itu terekam kuat ketika pergi mengunjungi sebuah kota kecamatan di wilayah Jawa 'pedalaman', yakni Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dan, memang Piyungan yang terletak di perbatasan tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul, belakangan mencuri perhatian publik karena mendadak ada sebuah website yang sangat 'menggebu-gebu' mengabarkan berita yang terkait dengan isu umat Islam. Bagi publik yang selama ini kerap menganggap bahwa orang Jawa tak bisa berislam secara kaffah atau total jelas tercengang-cengang. Apalagi, semenjak dahulu wilayah ini kondang sebagai wilayah kaum abangan. ''Mana mungkin mereka kini bisa jadi santri seperti itu,'' begitu pertanyaan yang berkelebat di banyak benak orang.

Klaim bahwa 'pedalaman' Jawa tak bisa berubah semakin kuat bila melihat kenyataan bahwa di sana terdapat beberapa situs pemujaan peninggalan masyarakat Hindu. Dengan begitu, menjadi sangat tidak masuk akal bila wilayah itu menjadi berwajah begitu Islami.

''Memang banyak yang terheran-heran setelah datang langsung ke sini. Mereka berkata kok bisa ya, Piyungan jadi seperti ini, yakni begitu banyak sekolah Islam, majelis taklim, swalayan dan BMT syariah. Ini terjadi sebab pasti yang kini datang berkunjung ke Piyungan masih membayangkan situasi Piyungan seperti tahun 1970-an,'' kata Nugroho, warga Dusun Ngijo, Piyungan.

Piyungan adalah salah satu contoh dari sekian banyak tempat di Jawa yang dahulu disebut daerah abangan yang kemudian berubah menjadi 'santri'. Wakil Ketua MPR Hajiryanto Y Tohari (lihat wawancara di halaman 28) yang besar dan berasal dari wilayah 'pedalaman Jawa' secara terbuka mengakuinya. Menurutnya, suasana Jawa yang semakin Islami kini sangat kuat terasa. Bila dulu di sebuah desa hanya terdiri dari satu surau, kini di dalam desa itu di setiap dusunnya berdiri banyak surau. Di tingkat desa kini berdiri sebuah masjid jami (raya) yang besar untuk melakukan shalat Jumat.

''Masyarakat Jawa kini tidak bisa lagi dilihat ala Trikotomi Clifford Geertz, adanya santri, abangan, priayi. Situasinya kini sangat berubah akibat dari meluasnya pembangunan,'' kata Hajriyanto. Menurut dia, situasi ini mau tidak mau muncul atas peran dari penguasa Orde Baru, Soeharto. 

Harus diketahui pula Islamisasi yang paling cepat itu terjadi pada masa Pak Harto itu. Jadi, daerah-daerah abangan menjadi santri terjadi pada kurun itu. Gerakan Yayasan Pak Harto dengan mendirikan masjid, Pak Harto naik haji, dan juga naiknya raja Yogyakarta pertama yang naik haji, Sultan Hamengku Bowono X dan Paku Alam, itu sebagai pertandanya,'' lanjut Hajriyanto.

Pendapat senada juga dinyatakan sosiolog UIN Yogyakarta, DR Mohammad Damami. Menurut dia, kini telah terjadi perubahan yang dahsyat dalam sisi keberagamaan masyarakat Jawa. Mereka kini semakin Islami atau kian menjadi santri. ''Yang mencengangkan lagi tingkat keberagamaan mereka pada Islam itu didapat melalui rasa kepercayaan diri yang kuat serta mandiri. Sebuah hal yang tak terbayangkan memang,'' ujar Damami.

                                                              *****

Pada tataran ilmiah, dalam beberapa bulan terakhir terbit sebuah buku karya sejarawan M.C Ricklefs, Mengislamkan Jawa; Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang. Dalam buku itu, Ricklefs membantah bahwa sebagian besar Muslim di Jawa kini masih tetap atau hanya terdiri dari kaum abangan atau menganut 'Islam KTP' saja.

Ricklefs menyatakan, kenyataan justru menunjukkan bahwa tanah Jawa semakin 'hijau' saja. Masyarakatnya semakin saleh atau malah kini sudah menjadi santri. Islamisasi semakin dalam dan sudah mencapai fase tak bisa dibalikkan.

''Kini, sulit untuk membayangkan bahwa pengaruh Islam yang semakin mendalam terhadap masyarakat Jawa dapat dihentikan atau dibalikkan arahnya oleh siapa pun yang menentangnya,'' ungkap Ricklefs dalam buku itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement