Rabu 28 Sep 2016 17:00 WIB

Pembiayaan Syariah Alami Tantangan

Red:

JAKARTA — Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) menyebut, pertumbuhan pembiayaan dalam perbankan syariah masih memiliki tantangan yang besar. Sebab, kondisi perekonomian masih belum begitu bagus sehingga sulit untuk mencari bisnis yang aman untuk dibiayai.

Sekretaris Jenderal Asbisindo Achmad K Permana mengatakan, portofolio syariah hampir 70 persennya angsuran. Sehingga, apabila booking pembiayaan baru tidak lebih dari total angsuran, akan terjadi negative growth.

Adanya tantangan tersebut membuat pertumbuhan pembiayaan tidak naik signifikan dan risiko NPF juga semakin besar. Menurut Permana, sebenarnya beberapa aturan relaksasi yang dilakukan oleh Bank Indnonesia dapat membantu untuk menumbuhkan pembiayaan.

Akan tetapi, ada faktor fundamental, yakni banyak sekali pembiayaan yang memburuk akibat melemahnya kondisi perekonomian global. "Ekspor komoditas sumber daya alam dan perkebunan sedang tidak bagus. Secara umum, kondisi makro juga cenderung tidak lebih bagus sehingga menyebabkan situasi tidak kondusif untuk melakukan pembiayaan," kata Permana kepada Republika, pekan lalu.

Sementara itu, NPF untuk unit usaha syariah (UUS) masih cukup aman. Permana mengatakan, NPF di UUS Bank Permata saat ini masih di kisaran 2,8 persen. Tetapi, menurut Permana, hal ini bukan berarti UUS harus disokong oleh bank induk. Apabila bank induk masuk ke bisnis yang pembiayaannya tidak memadai, maka akan berpengaruh kepada UUS.

Corporate Banking Director Bank Muamalat Indonesia Indra Y Sugiarto mengatakan, pembiayaan di sektor komoditas sejauh ini masih menjadi tantangan bagi perbankan syariah. Apalagi, pada 2012 harga komoditas perlahan mulai jatuh sehingga pembiayaannya banyak yang bermasalah.

"Ketika itu komoditas batu bara yang banyak bermasalah sehingga kami harus restruktur," ujar Indra di Jakarta, pekan lalu. Selain itu, pembiayaan yang bermasalah juga disebabkan oleh penurunan kondisi perekonomian nasional dan global.

Indra mengatakan, sampai akhir tahun Bank Muamalat menargetkan NPF bisa turun antara 2,5 persen hingga tiga persen. Untuk mencapai target tersebut, Bank Muamalat sudah melakukan perbaikan untuk kualitas pembiayaan dan restructuring. Sedangkan, sampai akhir 2016, Bank Muamalat menargetkan pertumbuhan pembiayaan bisa mencapai tujuh persen.

Beberapa sektor pembiayaan yang disasar, yakni infrastruktur, agrokultur, power plant, rumah sakit, dan sekolah. Indra menambahkan, untuk pembiayaan korporat sampai akhir 2016 ditargetkan bisa mencapai antara Rp 700 miliar sampai Rp 800 miliar.

Meskipun harga komoditas sedang menurun, Bank Muamalat tetap menyasar pembiayaan di sektor perkebunan seperti kelapa sawit. Menurut Indra, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pembiayaannya masih prospektif karena produknya, yakni CPO menjadi kebutuhan primer masyarakat, seperti untuk sabun, sampo, dan minyak goreng.

"Untuk kelapa sawit, NPF-nya nol dan sekarang harga CPO sudah mulai naik. Dari sebelumnya sekitar 500 dolar AS per ton, sekarang sudah 800 dolar AS per ton," kata Indra.

Sementara itu, Plt Direktur Bisnis Konsumer BNI Syariah Kukuh Rahardjo mengatakan, pada semester I 2016 BNI Syariah telah membukukan laba bersih sebesar Rp 145,65 miliar atau naik 45,73 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 99,94 miliar. Pertumbuhan laba tersebut disokong oleh ekspansi pembiayaan yang terjaga kualitasnya.

Menurut Kukuh, pencatatan laba bersih tersebut sebagian besar disumbang oleh konsumer dengan portofolio 55 persen dari total pembiayaan. NPF untuk pembiayaan konsumer juga cenderung masih aman, yakni di angka 2,1 persen. Sampai akhir tahun BNI Syariah menargetkan pertumbuhan pembiayaan konsumer sebesar Rp 1,2 triliun.

"Sampai dengan Agustus 2016, pembiayaan konsumer sudah mencapai Rp 810 miliar," ujar Kukuh. Pertumbuhan pembiayaan BNI Syariah dilakukan dengan penjagaan terhadap kualitas pembiayaan sehingga NPF pada triwulan kedua 2016 terjaga di level 2,80 persen. Angka ini berada di bawah rata-rata industri perbankan syariah.

Selain pembiayaan konsumer, BNI Syariah juga memberikan pembiayaan di sektor ritel produktif/SME sebesar 22,78 persen, pembiayaan komersial sebesar 16,38 persen, pembiayaan mikro sebesar 5,77 persen, dan kartu pembiayaan Hasanah Card 2,11 persen. Untuk pembiayaan konsumer, sebagian besar portofolio merupakan BNI Griya iB Hasanah, yakni sebesar 86.02 persen. Di sisi lain, dana pihak ketiga sampai Juni 2016 telah meningkat menjadi Rp 21,83 triliun dibandingkan dengan Juni 2015 yang mencapai Rp 17,32 triliun.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, pembiayaan bermasalah baik bank umum syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS) terus meningkat jika dibandingkan pada akhir 2015. Pembiayaan bermasalah BUS pada akhir 2015 hanya sebesar 4,84 persen, tetapi terus mengalami kenaikan hingga puncaknya pada Mei 2016 hingga sebesar 6,17.

Hanya, lambat laun turun hingga pada akhir Juli hanya menjadi 5,32 persen. Sedangkan, UUS, pembiayaan bermasalah pada akhir 2015 sebesar 3,03 persen. Angka itu kemudian naik hingga mencapai level tertinggi pada Mei 2016 sebesar 3,97 persen. Tetapi, lambat laun turun hingga pada Juli 2016 sebesar 3,54 persen.     rep: Rizky Jaramaya, ed: Ichsan Emrald Alamsyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement