Senin 25 Jul 2016 14:00 WIB

OJK: Evaluasi Model Bisnis Baru Bermasalah

Red:

JAKARTA -- Otoritas mensyaratkan mitigasi risiko atas pengembangan bisnis dan produk yang dilakukan bank-bank syariah. Jika tetap bermasalah, bank harus mengevaluasi model bisnisnya.

Direktur Pengaturan, Perizinan, Penelitian, dan Pengembangan Perbankan Syariah OJK Deden Firman Hendarsyah mengatakan, OJK sudah menerbitkan POJK Nomor 24/2015 tentang produk dan aktivitas bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) serta Surat Edaran OJK Nomor 36/2015 tentang produk dan aktivitas BUS dan UUS. Pada lampiran SEOJK tersebut, disertakan kodifikasi produk.

Bila bank syariah ingin mengeluarkan produk generik, bank hanya perlu melapor kepada OJK setelah produk luncur. Saat pemeriksaan tahunan, OJK mengecek prosedurnya.

Namun, jika produk yang diajukan bank syariah adalah produk baru maka harus izin ke OJK. OJK akan lihat manajemen risikonya, termasuk pengecekan apakah produk serupa dimiliki induk bank syariah atau tidak. Secara umum, analisis dilakukan dari sisi prudensial dan kesyariahan, sehingga risiko sudah diantisipasi di awal.

''Kami minta bank untuk self-assessment mitigasi risiko. Nanti, OJK lihat apakah uji mandiri ini sudah komprehensif atau belum. Kalau ada yang kurang, kami minta mereka tambah,'' ungkap Deden beberapa waktu lalu.

Memang sedang ada bank syariah yang melakukan konsolidasi internal untuk menata model bisnis mana yang cocok. Saat ada produk bank syariah yang kurang bagus perkembangannya, ini bukan karena belum ada mitigasi, melainkan karena ini model bisnis baru yang pasti memiliki risiko strategis dan risiko bisnis.

Tinggal bagaimana risiko-risiko ini dimitigasi. ''Misalnya, mulai sedikit-sedikit. Kalau bank syariah melihat produk mereka ada yang tidak cocok, mereka akan lihat bisnis proses yang tepat. Jadi, fokus evaluasi model bisnisnya,'' kata Deden.

Kepala Unit Usaha Syariah Maybank Indonesia (Maybank Syariah) Herwin Bustaman menjelaskan, lini bisnis Maybank Syariah mengikuti lini bisnis induk, Maybank Indonesia, yaitu produk konvensional ada pula produk syariahnya, kecuali kartu kredit dan kredit tanpa agunan. Dari sisi dana, Maybank Syariah diuntungkan dengan strategi Sharia First.

Namun, berbeda dari bank syariah lain, Maybank Syariah juga menggarap segmen korporasi. ''Titik kritisnya pada model bisnis di mana syariah jadi dominan, produk dibuat unit syariah dan yang memasarkan konvensional,'' ungkap Herwin.

Model seperti ini, ia akui, memang mirip yang dilakukan Maybank Group di Malaysia. Bank syariah di Indonesia harus pintar mencari cara jika tidak ingin mengalami kesulitan.

Beberapa waktu lalu, Karim Consulting Indonesia menilai, mayoritas bank syariah banyak menghadapi krisis bisnis tahap dua. Krisis ini adalah saat bank syariah punya kecenderungan terdorong masuk ke lini bisnis baru yang menawarkan kecepatan tumbuh tinggi dengan risiko NPF tinggi pula.

Lini bisnis baru ini akan memberi prospek bagus jika merupakan hasil cerminan induk atau tambahan atas lini bisnis induk. Tapi, akan agak berisiko jika induk tidak mempunyai lini bisnis baru seperti yang dimulai anak syariahnya atau lini bisnis baru perusahaan anak lebih besar dari induk.

Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia Adiwarman Karim mengatakan, hal yang paling penting adalah antisipasi dan persiapan matang semua rencana. Ini harus dilakukan semua bank. Perubahan harus didesain dan direncanakan dengan baik, sebab perubahan pucuk manajemen perusahaan akan ikut membawa perubahan, baik pada bisnis maupun kultur internal perusahaan.

Jika kultur perusahaan berubah, mengejutkan dan menurunkan mental SDM, Adiwarman mengkhawatirkan daya pantul SDM internal hilang, sehingga sulit mengembalikan bank ke kondisi semula karena mental pekerja sudah jatuh. ''Ini yang dikhawatirkan terjadi pada BUS besar. Satu BUS besar kami lihat sudah menyelesaikan pekerjaan rumahnya,'' ungkap dia.    rep: Fuji Pratiwi, ed: Ichsan Emrald Alamsyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement