Selasa 21 Jun 2016 16:00 WIB

Urgensi Ziswaf untuk Pemberdayaan Usaha Mikro

Red:

Masalah harta zakat masih belum sepenuhnya disadari masyarakat. Zakat masih dipandang sebagai bagian dari ritual keagamaan, bukan upaya mendorong pemberdayaan umat.

Di lain sisi, fenomena tentang kata syariah yang dilabelkan di beberapa lembaga keuangan, seperti koperasi masih menimbulkan banyak keraguan. Banyak yang berargumen, mengapa koperasi harus ada nama syariahnya, padahal tata kelola koperasi juga sudah syariah.

Hal itu mengemuka dalam Diskusi Ekonomi Syariah Kontemporer (DESK) yang digelar SEBI Islamic Business and Economics Research Center (SIBER-C) di kampus STEI-SEBI Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Asisten Deputi Pembiayaan Syariah Kementerian Negara Koperasi dan UKM Drs Tamim Saefudin menyatakan, penting bagi koperasi menyandang label syariah. Perlu diingat, ucap dia, koperasi menyalurkan pembiayaan ke sektor bisnis, bahkan sektor keuangan. "Nah, sektor penyaluran inilah yang nantinya dibedakan dalam hukum syariah," ujar Tamim Saefudin.

Sementara itu, Ketua IKOSINDO Ahmad Sumiyanto menjelaskan perihal zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf) harus memiliki visi redistribusi aset. Harta ziswaf harus segera diberdayakan untuk distribusi aset karena keberkahan ziswaf akan hadir ketika harta tersebut ditasarufkan dengan segera.

"Maka, ketika harta ziswaf ini disalurkan untuk usaha mikro, baik secara langsung atau melalui koperasi dan BMT terlebih dahulu, itu merupakan salah satu sarana menyalurkan kebermanfaatan harta ziswaf," tegas Ahmad Sumiyanto.

Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Oni Sahroni mengemukakan, secara fikih, kaidah asalnya menyatakan bahwa setelah dihimpun, harta zakat harus langsung disalurkan kepada mustahik. Bahkan, kalau bisa mustahik yang berada di daerah tempat zakat itu diambil.

Namun, karena keadaan yang mendesak dan melalui beberapa alasan dalam proses identifikasi hukum fikih maka akhirnya harta zakat, infak, dan sedekah ini dibolehkan jika disalurkan untuk pembiayaan usaha.

"Asalkan dengan beberapa syarat, seperti adanya maslahat dalam hal tersebut dan kondisinya memang terdesak jika tidak ada lagi sumber modal lain yang legal dan halal," jelas Oni.

Dari segi pencatatan akuntansi, dosen STEI SEBI Dadang Romansyah menjelaskan beberapa koperasi syariah yang ditemukan selama ini masih ada yang mencatat dana wakaf sebagai penambah modal pada koperasi. Hal ini dapat dibilang rancu, sebab apabila koperasi mengalami kerugian maka sumber modal yang berasal dari wakaf itu bisa jadi habis.

"Saran saya, harusnya wakaf ini diinvestasikan ke baitul mal, biar baitul mal yang mengelola. Sehingga, nanti bagi hasil investasinya dijaga oleh baitul mal, koperasi tinggal menerima bagian saja dan SHU koperasi pun masih tetap aman," papar Dadang.

Diskusi ini menghasilkan beberapa pemikiran terkait perkembangan realisasi dana ziswaf yang terjadi selama ini. Contohnya, koperasi yang hanya boleh menghimpun wakaf produktif yang ditentukan oleh Badan Wakaf Indonesia. Keterbatasan koperasi dalam memanfaatkan dana wakaf yang diberikan pun harus diperhatikan.

Artinya, dalam pemanfaatannya, meskipun dana zakat, infak, dan sedekah boleh dimanfaatkan sebagai modal usaha, tapi dengan syarat dan ketentuan tertentu yang tidak boleh keluar dari syariat Islam.   Oleh Irwan Kelana, ed: Ichsan Emrald Alamsyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement