Rabu 29 Jul 2015 20:07 WIB

'Manipulasi' tak Kentara

Red:

Pelaku bisnis tentu berupaya menjual produk dengan kemasan menarik atau harga yang lebih murah ketimbang yang ditawar kan oleh pesaingnya. Di berbagai tempat, mi salnya, ditemui produk makanan, seperti kerupuk ikan, tetapi sebetulnya kandungan ikannya sangat sedikit dan lebih banyak digantikan oleh bumbu penyedap rasa ikan.

Barangkali penjual atau produsen produk tersebut tidak sengaja melakukan manipulasi dalam praktik bisnis seperti itu, atau mungkin tidak sadar bahwa yang diperbuatnya meru pakan hal yang sebetulnya tidak baik bagi pelanggannya. Penulis dalam berbagai kesempatan se ring memerhatikan produk-produk makanan yang kurang mencerminkan prinsip syariah, tetapi bukan dalam konteks halal dan haram saja.

Misalnya, soto ayam, adalah nama menu yang menggambarkan soto yang dominan mengandung ayam. Tetapi, kebanyakan soto yang saya beli, kandungan daging ayamnya hampir tak tampak, kalah oleh rajangan kubis dan campuran lainnya. Nama menu yang tepat mustinya so to kubis. Suatu ketika saya membeli bubur ayam. Ternyata, ayamnya hampir tak jelas, terkecuali nasi dan sedikit irisan telur. Itu lebih tepat diberi nama bubur nasi. Harusnya setiap nama-nama menu seperti itu konsisten mencerminkan isinya.

Pelabelan "halal" yang melekat pada label suatu produk bukan sekadar tanda bahwa produk tersebut tidak mengandung unsur-unsur atau bahan- bahan yang diharamkan. Melainkan juga merefleksikan tanggung jawab pelaku bisnis terhadap Allah terkait kepentingan manusia lain yang membeli atau menggunakan produk tersebut. Analog dengan itu pelekatan kata "syariah" pada suatu proses bisnis, atau pada lemba ga keuangan syariah, yang harusnya mencermin kan produk, sistem, dan proses keuangan berbasis ketentuan-ketentuan syariah dan bukan hanya labelling.

Begitu pula dengan hotel syariah. Sistem, jenis, kualitas layanan hotel harus sesuai dengan ketentuan syariah. Semua produk atau layanan berlabel "syariah" mengandung konsekuensi nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan agama yang menjamin kepentingan para pihak yang ber transaksi, sehingga tidak terjadi praktik kebatilan di antara mereka.

Bisnis berlabel syariah pada contoh produk makanan perlu memerhatikan empat dimensi kua litas. Yaitu, kualitas input (bahan baku atau pembantu), kualitas pengolahan (kebersihan, dan sebagainya), dan kualitas output (siap dikonsumsi), serta kualitas outcome (manfaat bagi pengguna). Ketika terjadi berbagai kasus pencemaran makanan dengan mencampurkan bahan pengawet, pewarna dalam produksi makanan, dengan maksud memperoleh keuntungan yang lebih besar, tindakan seperti itu merupakan pelanggaran terhadap prinsip ekonomi syariah. Pasalnya, makanan tersebut tidak lagi ber manfaat karena mengganggu kesehatan orangorang yang mengonsumsinya.

Prinsip dalam kehidupan, termasuk dalam kehidupan ekonomi, Islam mengajarkan dengan jelas mana cara-cara yang benar dan mana cara-cara yang tidak dibenarkan dalam men ja lan kan bisnis atau mencari keuntungan. Sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (QS al- Baqara: 42).

Dalam ekonomi Islam, sekali lagi penulis sampaikan bahwa insentif moral seharusnya lebih memotivasi pelaku bisnis untuk ber tanggung jawab kepada Allah dan terhadap kepentingan masyarakat. ??

Oleh Drs Syafaruddin Alwi MS* Anggota Dewan Pengawas Syariah Bank BPD DIY Syariah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement