Selasa 28 Jun 2016 15:00 WIB

CATATAN PIALA EROPA- Pemilu Versus Sepak Bola di Islandia

Red:

Datang sebagai debutan ke Prancis, Timnas Islandia sukses menembus fase gugur Piala Eropa 2016. Pencapaian ini, tercatat sebagai prestasi tertinggi yang pernah pasukan Nordik torehkan sepanjang sejarah. Tak ayal, rakyat Islandia pun benar-benar larut dalam kebahagiaan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Euforia kesuksesan sepak bola yang tengah masyarakat Islandia rasakan pun sanggup 'mengganggu' hajatan politik di negeri sendiri. Bagaimana bisa?

Tahun ini, Islandia sedang dalam proses transisi pemerintahan yang langka terjadi. Langka, karena untuk pertama kali sejak 20 tahun, masyarakat di negeri Pecahan Denmark ini akan memiliki presiden baru. Presiden Olafur Ragnar Grimsson, yang sudah berkuasa sejak 1996 silam memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi.

Lima kali memenangkan pemilihan umum (pemilu) tampaknya sudah cukup bagi Grimsson untuk memberikan kesempatan kepada pemimpin baru. Pemerintah dan parlemen setempat pun sepakat, pemungutan suara dilaksanakan Sabtu 25 Juni waktu setempat. Bulan Juni sengaja dipilih dengan pertimbangan tak lewat dari semester pertama 2016.

Tanggal 25 dipilih karena mempertimbangkan partisipasi Timnas Islandia pada Piala Eropa 2016 hanya akan berhenti hingga putaran grup. Semua sudah terkonsep, seisi penghuni negara yang berada di utara peta dunia itu pun antusias menghadapi Pemilu bersejarah ini.

Namun, siapa sangka Timnas Islandia yang melaju jauh di Piala Eropa 2016 membuat rencana pesta demokrasi di negara sendiri tak sesuai harapan. Sebab, ada puluhan ribu orang Islandia sedang tidak berada di negara sendiri ketika pemungutan suara dilakukan. Hampir sepuluh persen dari total 332 ribu penduduk Islandia berada di Prancis untuk 'menemani' Timnas mereka berjuang.

Puluhan ribu Icelander (sebutan untuk orang Islandia) memilih berpesta di Prancis. Mereka larut dalam keberhasilan lolosnya tim kebanggaan dari fase grup yang diisi negara kuat seperti Portugal. Pesta di Negeri Napoleon seolah membuat warga Islandia lupa untuk kembali ke kampung halaman. Demi sepak bola, mereka rela melewatkan pesta demokrasi yang niscaya jadi kegiatan politik terbesar di negara mereka sejak merdeka 17 Juni 1944 silam.

Dikutip dari Iceland Review, pemerintah Islandia sempat mengantisipasi hilangnya kontribusi pemilih ini dengan sebuah cara. Yakni memberikan imbauan kepada warga negaranya yang berada di Prancis untuk pulang. Imbauan tersebut disertai dengan mengirimkan paket surat suara ke kamp Timnas Islandia di Kota Annecy, Prancis.

Paket suara tersebut hanya ditujukkan untuk para pemain dan ofisial Timnas Islandia. Namun, langkah ini diharap bisa menginspirasi para Icelander untuk pulang dan melakukan pencoblosan. Awalnya, langkah ini diduga akan efektif, terlebih, para pemain dan ofisial Timnas Islandia aktif mengajak para suporter untuk terlibat dalam pesta demorkasi di rumah sendiri. Namun, ternyata langkah tersebut tidak membuahkan hasil.

Dikutip dari media lokal, Visir, sebuah kekhawatiran sempat membumbung ketika diketahui bandara Islandia sepi dari kepulangan para suporter menjelang pemilu. Seorang pakar ilmu politik asal perguruan tinggi ternama Islandia, Grétar Por Eyjólfsson, memprediksi tahun ini tingkat paritispasi pemilu akan menurun drastis.

Menurut Profesor asal Universitas Akureyri ini, tak ada yang pernah menyangka, gelaran sepak bola berdampak dalam proses demokrasi Islandia. Menurutnya, meski tak menyebut jumlah, tingkat partisipasi Pemilu Islandia selalu jadi yang tertinggi dibandingkan negara barat lainnya. Namun, akibat kegilaan masyarakat Islandia terhadap gelaran Piala Eropa 2016, prakiraan terburuk, jumlah pemilih hanya akan menyentuh angka 65 persen saja.

"Sangat menarik, untuk pertama kalinya Pemilu Islandia berada di bawah bayang-bayang sebuah acara sepak bola," ujarnya.

Pemilu Islandia pun selesai digelar, prediksi jumlah pemilih di angka 65 persen berhasil dihindari. Meskipun, puluhan ribu surat suara masih bersih tanpa sobekan coblos.

Dilansir dari Iceland Review, terhitung ada 73,6 persen pemilih dari total 332.529 penduduk Islandia (sensus Januari 2016). Jumlah pemberi suara yang sudah masuk batas usia pemilih itu mencapai 245,004. Untuk pemilu dengan label sangat langka, karena dipastikan akan mengangkat presiden baru, partisipasi ini dianggap sepi.

Walaupun demikian, Islandia tetap punya presiden baru, dia adalah Gudni Thorlacius Johannesson. Seorang sejarawan dan anggota Asosiasi Profesor Islandia. Gudni mengungguli sepuluh kandidat lainnya dengan raihan 38,6 persen suara atau sekitar 98.045 pemilih.

Jumlah raihannya tak terlalu jauh dari perolehan Halla Tomasdottir di peringkat kedua. Pebisnis wanita ini mengoleksi 29,4 persen suara atau sekitar 74.677 pemilih. Di tempat ketiga, seorang penulis dan aktivis lingkungan, Andri Snaer Magnason, dengan mengumpulkan 13,9 persen suara atau sekitar 35.306 pemilih. Sementara kandidat lainnya, dicoblos tak lebih dari lima persen pemilik suara.

Menilik catatan hasil Pemilu tersebut, ketiadaan para Icelander yang masih berpesta di Prancis tampak memberikan pengaruh besar. Seandainya 30 ribu warga Islandia tak peduli dengan perjuangan timnasnya di Prancis, mungkin saja Halla Tomasdottir yang akan menjadi presiden baru mereka. Dengan tambahan suara 30 ribu, pendiri Audur Capital yang bergerak di bidang konsultan keuangan Eropa itu bisa mengungguli Gudni.

Namun, tak berhenti sampai di situ, sepak bola juga memberikan pengaruh langsung terhadap kebijakan negara Republik Parlemen itu. Sang presiden terpilih, Gudni, langsung menggelar tugas kepresidenan pertamanya dengan mengunjungi Timnas Islandia di Prancis. Pria 48 tahun itu akan menghadiri laga monumental Islandia di babak 16 besar melawan Inggris, di Stadion Allianz Rivera, Nice, Selasa (28/6) dini hari WIB.   Oleh Gilang Akbar Prambadi, ed: Abdullah Sammy

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement