Rabu 10 Feb 2016 17:00 WIB

Catatan Sepak Bola- Pers dan Sepak Bola

Red:

Tanggal 9 Februari selalu diperingati sebagai Hari Pers di Indonesia. Perayaan Hari Pers tak terlepas dari sejarah dibentuknya wadah profesi bagi insan jurnalistik pada 70 tahun silam di Kota Surakarta.

Kala itu, Sumanang Surjowinoto memimpin lembaga profesi yang dinamakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sepanjang 70 tahun setelah berdirinya PWI, dunia pers terus berkembang pesat.

Peran pers pun terasa di sejumlah sektor, tak terkecuali di dunia olahraga. Dalam tulisan ini, saya ingin mengaitkan peran pers secara umum pada perkembangan dunia olahraga, utamanya sepak bola.

Pers dan dunia olahraga memang tak bisa dilepaskan. Posisi pers tak hanya sebagai media, tapi juga alat yang kerap digunakan sebagai strategi dalam memenangkan pertandingan. Kondisi ini berlaku di cabang olahraga tak terukur.

Tak heran, sesi konferensi pers sebelum jalannya laga sepak bola kerap digunakan untuk menyerang psikologi lawan. Dalam sebuah laga antarnegara, pers tak jarang "berperang" untuk membela tanah airnya.

Saya ingin mengambil contoh pada saat sesi konferensi pers jelang laga antara tim nasional Indonesia melawan Qatar di kualifikasi Piala Dunia 2014. Saat itu, salah satu wartawan Indonesia sengaja "meneror" pemain Qatar dengan pertanyaan mengenai kemungkinan rusuh di Stadion Gelora Bung Karno.

Kebetulan wartawan Indonesia itu lancar berbahasa Arab karena lama mengenyam pendidikan di pesantren. Mendengar pertanyaan itu, salah satu ofisial Qatar berang. "Apakah Anda mencoba menakut-nakuti pemain kami?" teriak sang ofisial, menyela sesi tanya jawab kala itu.

Pers Qatar lantas balas melancarkan strategi menyerang tim Indonesia di sesi konferensi pers. Kali ini beberapa wartawan asal negara itu meminta pandangan pemain Indonesia soal kemungkinan "dibantai" dengan skor besar di kandang sendiri. 

Sengitnya sesi konferensi pers antara wartawan Indonesia versus wartawan Qatar itu menular ke lapangan. Hasil pertandingan pun menggambarkan serunya laga yang berkesudahan 3-2 untuk kemenangan Qatar.

Harus diakui, peran pers memang belum optimal dalam mengangkat prestasi sepak bola Indonesia. Patut diakui pula pers juga bertanggung jawab atas sengketa persepakbolaan yang melanda Indonesia kini.

Sebab, tak jarang insan pers nasional menyambi sebagai pengurus cabang olahraga, utamanya di PSSI. Pada akhirnya muncul oknum wartawan dengan peran bak birokrat pelat merah yang memiliki jiwa korsa atas institusi di luar medianya.

Namun, kondisi di sepak bola berbanding terbalik di dunia bulu tangkis. Pada dunia tepok bulu ini, peran pers Indonesia benar-benar lebih terasa di lapangan. Tak banyak wartawan bulu tangkis Indonesia yang tertarik dalam mengulik intrik politik.

Mereka lebih memilih menjalin relasi yang baik dengan para atlet, pelatih, bahkan insan bulu tangkis dunia. Tak heran, pada akhirnya banyak pewarta yang berhasil "mempromosikan" nama atlet muda nasional hingga akhirnya sukses di level dunia.

Di sisi lain, beberapa atlet Indonesia nyatanya juga punya minat besar pada dunia pers. Sebagai contoh nyata adalah eks perenang nasional Richard Sambera yang pernah menjadi pembawa acara dalam berita di stasiun televisi swasta.

Peraih tujuh emas di nomor renang 100 meter SEA Games juga pernah menjadi kepala editor untuk sebuah majalah. Hingga kini, dia pun banting setir menjadi seorang politisi.

Pesepak bola yang masih aktif bermain, seperti Bambang Pamungkas dan Ramdani Lestaluhu juga punya ketertarikan besar dengan dunia pers. Keduanya bahkan memiliki kolom khusus di salah satu laman olahraga nasional. Bambang malah rela mengeluarkan koceknya pribadi untuk membesarkan media yang dia geluti itu.

Lantas bagaimana relasi antara pers dan sepak bola di mancanegara? Harus diakui, relasi pers dan sepak bola di mancanegara jauh lebih maju dibanding di Indonesia. Di Eropa, pers malah ikut berperan dalam merevolusi aturan dunia kulit bundar. Sebagai contoh, bagaimana pers Inggris yang gencar menggulirkan isu penggunaan teknologi garis gawang usai insiden di Piala Dunia 2010.

Kini, perjuangan itu berbuah dengan diterapkannya teknologi garis gawang di sejumlah kompetisi top dunia. Tak hanya itu, peran sentral wartawan di dunia sepak bola juga tercermin dari mekanisme penetapan pemain terbaik dunia, alias Ballon d'Or. Sejumlah wartawan berperan untuk mem-voting siapakah pemain yang berhak menjadi peraih titel terbaik di muka bumi.

Sejatinya penghargaan ini malah merupakan hajatan tahunan yang digelar oleh media terkemuka Prancis, France Football/,/ bekerja sama dengan FIFA. Namun, sejak tahun 2010, FIFA mengambil penuh hajatan itu.

Di Italia, peran pers malah lebih "ideologis" dalam membicarakan sepak bola. Ibarat media politik yang terafiliasi parpol, di Italia media olahraga seakan terkait membela salah satu klub. Posisi ideologis media di Italia ini juga terkait basis kota tempat mereka berdiri.

Ini seperti media yang berbasis di Kota Milan, La Gazetta Dello Sport, yang senantiasa jadi corong dua klub asal Kota Mode, Inter Milan dan AC Milan. Sedangkan, Corriere Dello Sport menjadi media yang terafiliasi klub asal Italia Tengah serta Selatan seperti AS Roma dan Napoli. Sedangkan, Tutto Sport yang berbasis di Kota Turin kerap menjadi media propaganda Juventus jelang melakoni laga Seri A.

Tetapi, media tak melulu berperan secara ideologis dalam menyokong klub afiliasinya. Peran media tak jarak merusak, seperti dengan memasuki area privat pesepak bola. Kasus teranyar adalah harian olahraga Jerman, Bild, yang mendapat tuntutan dari pemain Bayern Muenchen, Arturo Vidal.

Vidal tak terima dengan pemberitaan seputar kehidupannya di luar lapangan yang ditulis Bild. Gelandang timnas Cile itu membantah kabar jika dirinya gemar meminum miras seperti diberitakan media dengan sirkulasi terbesar keenam di dunia itu. "Itu adalah kabar bohong dan saya telah menunjuk kuasa hukum untuk mengambil langkah hukum," ungkap Vidal, lewat akun Twitter resminya, pekan lalu.

Tetapi, tak selamanya pesepak bola "membenci" pers layaknya Vidal. Beberapa pesepak bola bahkan ada yang jatuh cinta pada insan pers, bahkan hingga menjadikannya teman hidup. Ini seperti Iker Casillas yang beristri wartawan asal media Telecinco, Sara Carbonero.

Berawal dari sesi wawancara pada 2009, Casillas jatuh jati pada Carbonero hingga kini keduanya berumah tangga dan telah dikaruniai seorang putra.

Rasa benci dan cinta itulah yang membuat relasi pers dan dunia sepak bola terasa begitu lekat. Relasi yang bukan lagi hubungan mutualisme antarprofesi, melainkan sudah melebur jadi satu. Ini seperti yang diungkapkan seorang Jose Mourinho bahwa pers adalah bagian dari 90 menit pertandingan.

"Bagi saya, kick off pertandingan sepak bola sudah berlangsung sejak sesi konferensi pers dimulai," kata Mourinho dalam buku berjudul Jose Mourinho: Fifty Definitive Fixtures. Oleh Abdullah Sammy

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement