Kamis 27 Nov 2014 14:00 WIB

Teringat Pesan Mourinho untuk Timnas

Red:

Timnas Indonesia babak belur di Piala AFF 2014 di Hanoi, Vietnam. Boro-boro menargetkan juara dalam turnamen yang dulunya bernama Piala Tiger tersebut. Bahkan, untuk sekadar lolos dari fase grup saja, Boaz Solossa dan kawan-kawan tinggal menunggu keajaiban.

Itu lantaran skuat Garuda Jaya saat ini baru mengoleksi satu poin dari dua laga di Grup A. Adapun, Filipina dipastikan lolos dengan torehan enam poin dan Vietnam mengemas empat poin. Sementara itu, juru kunci ditempati Laos yang belum mengoleksi poin dan sudah tersingkir lebih dulu.

Meski peluang untuk lolos tinggal satu persen, lebih baik tidak usah memimpikan datangnya mukjizat. Hal itu disebabkan Indonesia wajib menang telak melawan Laos pada laga terakhir sembari berharap Vietnam kalah dari Filipina.

Cukup mudah mencari alasan kalau timnas Indonesia mendapat kegagalan. Apalagi, hasil buruk yang ditorehkan sangat tidak wajar. Kekalahan 0-4 dari Filipina, Selasa (25/11), jelas tidak bisa dimaafkan pencinta sepak bola Tanah Air.

Sebagai perbandingan, lebih satu dasawarsa lalu, Indonesia bisa meraih hasil gemilang dengan menenggelamkan Filipina, 13-1. Kemenangan 12-0 juga pernah diukir timnas pada 22 September 1972. Raihan itu menjadi catatan kemenangan terbesar sepanjang masa timnas.

Sayangnya, pendulum sangat cepat bergeser. Pada saat negara Asia Tenggara terus menggenjot kualitas kompetisi dan kemampuan individu pemain, Liga Super Indonesia terlihat jalan di tempat kalau tidak boleh disebut mengalami kemunduran.

Sebagai perbandingan, Vietnam, Filipina, Myanmar, dan Singapura, bahkan Malaysia pada awalnya bukan tandingan pemain kita. Hingga awal 2000-an, lawan sepadan Indonesia adalah Thailand. Hanya negeri Gajah Putih semata yang selalu menyulitkan langkah timnas.

Seiring berjalannya waktu, negara yang pada mulanya dipandang sebelah mata kini menjelma menjadi kekuatan menakutkan. Tidak salah, ketika Indonesia paling banter hanya menggenggam posisi runner-up Piala AFF empat kali, negara tetangga sudah mampu menjadi juara.

Singapura, negara yang luasnya hampir sama dengan DKI Jakarta sudah meraih empat kali juara. Thailand mengumpulkan tiga trofi serta Malaysia dan Vietnam masing-masing telah mengukir sejarah dengan sekali juara. Bayangkan, untuk berprestasi di tingkat ASEAN, Indonesia sudah tertinggal jauh.

Terkait biang kegagalan di Piala AFF kali ini, apakah benar kesalahan berada di tangan pelatih Alfred Riedl? Apalagi, pelatih asal Austria itu sempat mengeluhkan persiapan anak didiknya yang terbilang mepet. Dia juga menyoroti kegagalan Indonesia pada masa lalu akibat dari rendahnya disiplin pemain.

Tidak cukup, juru taktik asal Austria itu mengungkapkan betapa buruknya kualitas kompetisi domestik yang cenderung brutal hingga mengkhawatirkan masa depan sepak bola Indonesia.

Atau, jangan-jangan kesalahan memang ada pada para pemainnya? Setelah tenaga pemain terkuras di laga Liga Super Indonesia, performa yang ditunjukkan mereka di perhelatan internasional tidak sebagus ketika membela klub.

Ah, sudahlah. Seperti adagium yang beredar di masyarakat, mudah menyalahkan dan mencari alasan saat sebuah tim mengalami keterpurukan dan banyak alasan mencari pembenaran ketika sebuah tim meraih kemenangan, apalagi merebut juara.

Jika berbicara kutukan prestasi timnas Indonesia yang terakhir kali menorehkan juara di SEA Games 1991 di Filipina, mungkin ada akar masalah yang selama ini tidak pernah tersentuh untuk diselesaikan PSSI. Apa itu? Bisa jadi alasan ini belum tentu benar, namun saya jadi teringat dan seketika langsung percaya dengan pendapat Jose Mourinho.

Pelatih Chelsea yang dikenal dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos tersebut menilai bahwa pemain timnas Indonesia tak memiliki potensi spesial. Hal itu diutarakan Mourinho usai the Blues mempermalukan skuat Indonesia, 8-1, dalam laga uji coba di Gelora Bung Karno pada 25 Juli 2013. Dari satu pertandingan itu saja, the Special One seolah bisa melihat masalah akut sepak bola Indonesia.

Karena itu, pada sesi konferensi pers usai pertandingan, ketika ditanya tentang penampilan tim yang saat itu diasuh Rahmad Darmawan, Mourinho memberikan jawaban yang membuat jurnalis kaget. "Jika Indonesia tidak punya potensi spesial, bermainlah dengan penuh kegairahan yang besar dan kebanggaan," kata pelatih asal Portugal itu.

Ketika penilaian Mourinho itu dikonfirmasi ke Rahmad Darmawan yang sangat mengidolakan pelatih asal Portugal tersebut, ia malah tidak memercayainya. Entah bermaksud membela anak didiknya atau memiliki alasan lain, pria yang juga prajurit marinir itu menganggap wartawan yang hadir salah mengartikulasikan pernyataan Mourinho.

Meskipun masih perlu penelitian yang mendalam untuk membuktikan pendapat Mourinho, mengapa kita tidak mengonfrontasikannya dengan penampilan pemain timnas pada era sekarang? Mengapa kita tidak membuat perbandingan pemain timnas sekarang dengan era dulu ketika mereka masih belum mengenal kontrak dan bayaran tinggi?

Satu hal yang saya percaya dari pemain timnas pada era Peri Sandria dan kawan-kawan yang bisa mengharumkan bangsa, yaitu mereka dididik pelatih Anatoli Polosin untuk bermain spartan di lapangan. Para pemain dilatih keras sampai muntah-muntah. Pola latihan seperti itu menghasilkan penggawa yang tidak manja. Mereka akhirnya memiliki kebanggaan ketika membela panji Indonesia dalam ajang sepak bola internasional.

Sehingga, ketika bertanding di lapangan, tidak semata taktik yang menentukan, tapi mental juga berbicara. Hal itu yang menurut saya tidak ditemukan dalam diri pemain timnas sekarang. Pola latihan yang pas-pasan dan belum menyatunya pemain dari klub berbeda serta menganggap panggilan timnas seperti pertandingan rutin membela klub membuat kekuatan Indonesia rontok dan semakin tak diperhitungkan untuk sekadar level Asia Tenggara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement