Sabtu 23 Jul 2016 21:29 WIB

Underdog

Red: Arifin

Bagi sebagian penggemar sepak bola, barangkali pagelaran Piala Eropa 2016 lalu berakhir antiklimaks setelah Portugal keluar sebagai juara.

Bagaimana tidak, tampil tak meyakinkan sejak awal turnamen, Seleccao justru mampu mengalahkan tim yang dianggap lebih layak juara, yakni tuan rumah Prancis.

Banyak yang kemudian mencibir pencapaian tertinggi Cristiano Ronaldo dan kawan- kawan sebagai dampak perubahan format Piala Eropa dari 16 tim menjadi 24 tim.

Maklum, kelolosan skuat Fernando Santos ke fase knock-out saat itu diraih setelah menduduki peringkat ketiga Grup F di bawah Hungaria dan Islandia.

Meskipun lolos sebagai peringkat ketiga, Portugal malah bertemu dengan lawan-lawan yang tergolong tim kecil di fase gugur, sebut saja Wales dan Polandia. Bandingkan saja dengan nasib Italia yang meskipun menjadi juara di grupnya malah harus berhadapan dengan Spanyol dan Jerman di fase knock-out.

Melihat fakta tersebut, tak bisa disangkal bahwa faktor keberuntungan ikut menentukan kejayaan negara miskin itu di Piala Eropa. Meskipun demikian, seharusnya tak bisa dikatakan jika mereka tak layak mengangkat trofi kejuaraan tertinggi antarnegara-negara Eropa tersebut.

Apa pasal? Dalam sejarahnya, faktor kejutan memang kerap mewarnai turnamen- turnamen besar sepak bola. Kesuksesan Denmark pada Piala Eropa 1992 serta kejayaan Yunani pada Piala Eropa 2004 adalah sedikit contoh yang menunjukkan tim-tim underdog bisa merasakan panggung tertinggi.

Denmark saat itu bahkan sebenarnya tak lolos ke putaran final Piala Eropa yang berlangsung di Swedia. Mereka hanya bertindak sebagai pengganti Yugoslavia yang terkena sanksi akibat perang yang berkecamuk di negara tersebut. Tapi, di luar dugaan, Brian Laudrup dan kawan-kawan mampu mengalahkan juara bertahan Belanda di semifinal lewat adu penalti serta klimaksnya mengalahkan juara dunia Jerman di partai puncak.

Kisah Yunani pada 2004 justru lebih heroik. Berada di pot empat atau di antara negara-negara yang paling tak diunggulkan, skuat Otto Renhagel mampu membalikkan perkiraan semua pengamat usai menyingkirkan sejumlah tim besar di babak-babak awal, seperti Spanyol, Prancis, Republik Ceska, hingga puncaknya mengalahkan tuan rumah Portugal di final.

Unexpected victoryPortugal di Piala Eropa 2016 yang uniknya terjadi pada tahun yang sama dengan kesuksesan Leicester City merajai Liga Primer Inggris agaknya telah mem - berikan makna baru bahwa sepak bola belum sepenuhnya dikuasai oleh segelintir kelompok kecil.

Sebagian kecil suporter sepak bola, termasuk saya, sudah jengah menonton La Liga yang dalam satu dekade terakhir hampir selalu dikuasai Barcelona dan Real Madrid.

Begitu juga Bundesliga yang didominasi klub kaya Bayern Muenchen, serta Seri A yang dalam lima musim terakhir selalu dimenangi Juventus.

Kehadiran tim-tim underdog macam Leicester di Liga Primer yang sukses mendobrak kemapanan menunjukkan gelar prestisius sepak bola masih bisa dinikmati tim-tim kecil.

Mereka yang tak melulu mengandalkan jorjoran uang di pasar transfer demi mendapatkan pemain bintang, sesuatu yang kembali dilakukan klub-klub kaya Liga Primer musim ini seperti Manchester United, Manchester City, dan Chelsea.

Saya yakin, keberadaan tim-tim underdogterkadang menjadi bumbu pemanis hidangan bernama sepak bola. Jika melulu tim-tim besar yang menjadi juara, olahraga ini saya rasa tak lagi lezat dinikmati serta layak disebut permainan global. Apakah pembaca setuju?      

Oleh Fernan Rahadi

Twitter: @fernanrahadi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement