Sabtu 28 Nov 2015 19:41 WIB

Buanglah Rasisme pada Tempatnya

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pada sela-sela sengitnya perebutan tiket 16 besar Liga Champions Eropa 2015/2016, sebuah artikel beserta video yang diunggah laman the Guardian, tengah pekan ini, sungguh menarik untuk dicermati sekaligus direnungkan. Media kenamaan asal Inggris itu memotret kiprah klub asal Israel, Beitar Jerusalem. Bukan profil klub sebagaimana lazimnya.

Ini bisa tergambar dari judul tulisan yang tak main-main: Here we are, the most racist football team in the country. Sidang pembaca tentu bisa memahami arti rangkaian kata tersebut jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia. Yes, Beitar adalah klub paling rasis di Israel.

Lalu, apa dalilnya? Sederhana saja. Fan setia the Menorah, julukan Beitar, yaitu La Familia, dengan gagah berani menyatakan diri sebagai anti-Muslim. Sikap ini tergambar dari ulah mereka menghina pemain Beitar sendiri, yaitu Zaur Sadaev, selepas mencetak gol ke gawang Maccabi Netanyal, 3 Maret 2013.

Hinaan itu tak lepas dari fakta bahwa Sadaev, pemain asal Chechnya, adalah seorang Muslim. Sementara, seperti dijelaskan di awal, La Familia sangat anti-Muslim. Tidak hanya untuk bermain, bahkan sekadar menunaikan kewajiban sebagai Muslim, yaitu shalat saja, rekan Sadaev, yakni Dzhabrail Kadiev, harus mengerjakannya di dalam bus.

Bukan di ruang shalat seperti Muslimin pada umumnya. Tidak hanya para fan, pemain-pemain Beitar pun alergi dengan pemain Muslim. Alasannya, ideologi klub yang berdiri pada 1936 tersebut mensyaratkan seperti itu. Meski demikian, sikap para pemain tak berlaku jika rekan mereka adalah seorang Yahudi ataupun Nasrani.

Apa yang dipertontonkan Beitar tentu sangat bertentangan dengan nilai- nilai sportivitas dalam sepak bola. Tidak hanya dalam sepak bola, untuk tataran norma kehidupan pun rasa- rasanya sikap Beitar amat memalukan. Publik bukannya tidak menyadari pentingnya menyingkirkan rasisme.

Di Inggris, negeri pencetus sepak bola modern bahkan terdapat sebuah kampanye bertajuk Let's kick racism out of football. Tujuan kampanye yang dimulai pada 1993 itu pun jelas: menyingkirkan rasisme dari sepak bola sejauh mungkin. Meskipun begitu, tak dapat dimungkiri, praktik tercela ini kerap kita temukan.

Masih segar dalam ingatan, ulah Luis Suarez, ketika masih membela Liverpool, melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada bek Manchester United, Patrice Evra.

Atau, ulah rasis fan timnas Kroasia terhadap bomber Inggris, Emile Heskey, beberapa tahun sebelum insiden Suarez. Rentetan itu merupakan bukti bahwa rasisme itu masih menjadi musuh nyata.

Kembali kepada Beitar, seharusnya fan dan pemain-pemainnya mencontoh klub Belanda, Ajax Amsterdam. Meskipun Ajax diidentikkan dengan Yahudi, dibuktikan dengan pengibaran bendera Israel di setiap laga mereka, ruang bagi pemain beragama lain begitu terbuka.

Contoh lain terlihat dari kiprah pemeluk Nasrani yang juga legenda Barcelona, Xavi Hernandez, bersama klub Qatar al-Sadd. Terlepas dari karakter personal masing-masing, harus diakui peranan klub membentuk pandangan seorang pemain juga krusial. Pernyataan Xavi ketika diwawancara media Aljazair, El Heddaf, beberapa waktu lalu, patut dicermati.

"Ini yang kami pelajari di Barcelona sejak kami bersekolah. Menghormati sesama, baik itu agama maupun kultur mereka," kata Xavi. Xavi pun menyampaikan penghormatannya kepada rekan-rekan pemain Muslim Barca, yaitu Seydou Keita, Eric Abidal, dan Ibrahim Afellay. "Mereka Muslim dan mereka hebat," ujar Xavi.

Menutup artikel singkat ini, ingin rasanya penulis menyampaikan langsung kepada para fan maupun pemain Beitar Jerusalem. Sesungguhnya, kehidupan bukanlah sesuatu yang bersifat tunggal. Kehidupan itu beragam layaknya pelangi. Oleh karena itu, mari menghargai sesama dan buanglah rasisme pada tempatnya.

Muhammad Iqbal

Twitter: @eijkball

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement