Sabtu 05 Jul 2014 18:00 WIB
kabar dari brasil

Pele dan Dunia Kapitalis

Red: operator

oleh:Endro Yuwanto -- Brasil adalah versi ganjil Amerika Serikat (AS). Brasil adalah kebudayaan dunia baru yang teramat luas dan kaya sumber daya, tapi tidak menjelma menjadi hegemoni global. Di masa kejayaan Pele pada 1950-an hingga 1960-an, Brasil mengambil keputusan sadar untuk membalikkan keadaan ini.

Pertama, sederet presiden populis pada 1956 hingga 1964, lalu kediktatoran militer pada 1964 hingga 1985 secara agresif memberlakukan industrialisasi paksa dan nasionalisme ekonomi dengan menaikkan tarif, membuka  BUMN-BUMN, dan mengadakan proyek-proyek pekerjaan umum dengan laju yang menggila.

Rezim Presiden Juscelino Kubitschek pada akhir 1950-an dan 1960- an menggunakan slogan gaya Uni Soviet, “Pencapaian 50 tahun dalam waktu 5 tahun.” Dorongan ini mengena.

Pada akhir masa kepresidenan Kubitschek,pendapat rata-rata warga Brasil tumbuh dengan laju 11 persen per tahun. Pele pun digunakan oleh rezim sebagai simbol lonjakan ekonomi, yang oleh para ekonom

disebut sebagai “Mukjizat Brasil” sebagai bukti bahwa Brasil bisa menjadi kekuatan in ternasional dengan caranya sendiri tanpa harus meniru model-model asing. Pada 1970-an para diktator memasang foto Pele di bilboard samping slogan mereka, “Tak ada yang bisa membuat Brasil mundur sekarang.” Para dik tator militer mengumandangkan lagu kemenangan tim nasional sepak bola Brasil plus Pe le di Piala Dunia 1970 pada perhelatan resmi.

Seperti negaranya, Pele mulai mendulang banyak pemasukan. Klub Santos menggajinya sebesar 125 ribu AS atau Rp 137 juta, sebuah mobil Volkswagen, dan rumah untuk kedua orang tuanya. Ia menjadi atlet termahal pada zamannya. Namun, harta itu tidak menjadikannya kaya. Para penjinak mengerubungi uangnya. Agennya juga menguras tabungan pemain yang tercatat pernah menjuarai Piala Dunia 1958, 1962, dan 1970 itu.

Bila terjadi pada masa kini, Pele bisa cepat menutup kerugiannya dengan meneken kontrak pada sebuah klub kaya di Eropa. Namun pada 1960-an, pemerintah menyatakan bahwa Pele adalah “kekayaan nasional yang tidak untuk diekspor”. Pele pun bangkrut.

Kejatuhan Pele mencerminkan kekeliruanke keliruan Brasil sendiri. Seperti Pele, kediktatoran menarik kedatangan para kriminal yang merampok aset negara. Setelah geger minyak 1973, diktator militer memaksa menggenjot per ekonomian pada laju pertumbuhan spektakuler yang sama seperti sebelumnya. Ini berarti anggaran belanja negara membengkak yang berarti juga harus mengajukan pinjaman kepada bank-bank asing.

Dalam satu dekade, pemerintah berutang 40 miliar dolar AS atau setara Rp 454 triliun yang memicu serangkaian mimpi buruk. Brasil diterpa kasus pengangguran. Inflasi tinggi.

Pada akhir era kediktatoran militer pada 1985, Brasil menjadi kasus terburuk sedunia dalam hal ketimpangan sosial dan pendapatan.

Namun pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, Pele menempuh jalan yang berseberangan dengan Brasil. Ia urung gantung sepatu untuk menutup kerugiannya dengan bergabung ke New York Cosmos, tim bentukan Warner Communications dalam Liga Sepak Bola Amerika Utara yang baru saja berdiri. Ia bermain selama tiga musim dengan bayaran sebesar 7 juta dolar AS.

Seperti dikutip dalam buku Memahami Dunia Lewat Sepak Bola karya jurnalis asal AS Franklin Foer, bersama Cosmos, Pele akhirnya mampu secara finansial. Ia mengakui AS membuatnya menjadi kapitalis, bahkan kapitalis kelas kakap. Seiring gambaran tentang kejayaan dirinya yang memudar, kemampuannya mengeruk untung terus melonjak. Ia menjadi citra yang amat posmo, sebuah merek dagang yang didukung perusahaan multinasional.

Foto Pele kini tampil pada dua juta kartu MasterCard. Viagra, Nokia, Samsung, Coca Cola, dan Petrobras seolah mempertegas dia sebagai juru bicara internasional mereka. Setiap tahun ia mengantongi lebih dari 20 juta dolar AS (Rp 239 miliar) dari sponsornya saja

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement