Ahad 25 Sep 2016 16:12 WIB

Buku Indonesia Menembus Jerman

Red: Arifin

Memperkenalkan buku yang efektif ternyata tak hanya lewat pameran.

 

Pada 2015, Indonesia sukses mewarnai Frankfurt Book Fair. Tahun ini Indonesia kembali menggelar diplomasi budaya kuliner di Frankfurt pada 18-23 Oktober dalam acara yang serupa.

Frankfurt Book Fair (FBF) 2016 di depan mata. Tak melulu soal buku. FBF merupakan ajang pertemuan buku internasional terbesar di dunia dengan sejarah sejak 400 tahun lalu.

Sejak era digital, FBF telah menjadi ajang pertukaran karya intelektual terbesar di dunia. Pengunjungnya lebih dari 400 ribu orang dari 130 negara. Dunia pendidikan, anak-anak, dan kuliner adalah di antara beberapa fokus penting kegiatan FBF.

Setelah sukses mewarnai FBF 2015, Indonesia tahun ini kembali menggelar diplomasi budaya kuliner di Frank furt. 

Menurut Prof Dr rernat Agus Rubiyanto, mantan atase pendidikan dan kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin, yang ikut sibuk dalam FBF 2015, pujian dilayangkan pada delegasi Indonesia. "Dalam 10 tahun terakhir, pihak penyelenggara FBF mengatakan, Indonesia adalah tamu kehormatan yang terbaik," katanya dalam perca kapan di sela-sela peresmian pembukaan Food Explorer, di Jakarta, Rabu (21/9), program pendidikan kuliner yang akan menjadi andalan delegasi Indonesia nanti.

Perencanaan dan pendekatan komprehensif Upaya memperkenalkan buku-buku Indonesia tak sekadar dengan mengikuti pameran tahunan, tetapi juga harus disertai strategi perencanaan yang komprehensif. "Sebelumnya, orang Jerman hanya mengenal Pramoedya Ananta Toer," kata Agus.

Maka pada 2013 ia berusaha mengumpulkan masukan para guru besar dan penulis Jerman untuk meningkatkan popularitas buku Indonesia di Jerman. "Bukannya masukan, malah yang saya dapat kritikan tajam,"

katanya. Intinya, penulis Indonesia tak dikenal di negeri itu. Kaum intelektual Jerman hanya mengetahui sastrawan lama era HB Jassin dan Pramoedya. Adapun karya terbaru yang mereka kenal adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang sudah mereka nikmati dalam versi Jerman (Die Regenbogen Truppe), bahkan dalam bentuk film.

Menghadapi medan seperti itu, Agus berpendapat, perlu ada brandingbaru bagi penulis muda Indonesia. Ia menggunakan pendekatan literatur, kuliner, seni, dan kreativitas. Maka, pada 2014 KBRI mengadakan promosi besar-besaran, yang menghadirkan para penulis di kota-kota besar di Jerman, seperti Berlin, Leipzig, Hamburg, dan Munich.

Tak lupa juga digelar acara di Bad Berleburg, sebuah kota di Distrik Siegen-Wittgenstein. "Ini sebuah kota yang terkenal kuat literaturnya," kata dia. Acara menghadirkan penulis-penulis Indonesia dari kota ke kota itu dipimpin oleh Goenawan Mohammad dan Slamet Rahardjo.

Selain pembacaan buku-buku mereka, khalayak Jerman juga diperkenalkan dengan sosok penulis Indonesia. Mulai dari Ahmad Tohari, Sapardi Djoko Damono, Eka Kurniawan, hingga Oki Mandasari. Konsep acara yang ditampilkan adalah beyond the book.

Delegasi Indonesia boleh tersenyum puas dari penyelenggaraan FBF 2015. Tahun 2015, tiga buku kuliner Indonesia yang dibawa pada FBF berhasil masuk dalam nominasi Gourmand Award. Yakni, 30 Ikon Kuliner Tradisio nal Indonesia oleh Bondan Winarno, Trailing the Taste of Gorontalokarya Yayasan Omar Niddu, dan Selamat Makankarya Spice it Up. Penghargaan tahunan tingkat internasio nal bagi buku-buku kuliner itu berhasil disabet oleh buku besutan Bondan Winarno dan Yayasan Omar Niode.

Hasilnya, lanjutnya, lumayan terlihat nyata. Setelah FBF, penulis Laksmi Pamuntjak masuk dalam enam nominator anugerah Lieberaturpreis, bersaing dengan penulis dari Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika, dan Karibia. Anugerah dari lembaga Lit Prom ini didasari popularitas dari sistem voting. Laksmi membawa, Amba, roman berlatar peristiwa 1965 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan judul Alle Farben Rot. Begitu juga sambutan terhadap penulis muda Eka Kurniawan, lewat buku Lelaki Harimauyang sudah mendunia itu.

Publik Jerman seolah baru tersadar pada kualitas karya penulis Indonesia pascakolonial. Sebuah acara TV Bleu Sofayang bergengsi pun menghadirkan penulis Laksmi Pamuntjak dan Leila S Chudori. "Dari dulu kami ingin menghadirkan orang Indonesia duduk, berbicara, di sofa biru itu," ungkap Agus yang belum lama ini menyelesaikan tugasnya di Jerman dan kembali sebagai guru besar fisika di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, itu. Sebelumnya, dua orang Indonesia yang pernah tampil pada acara itu adalah BJ Habibie dan Frans Magniz Soeseno.

Pendekatan kuliner Pendekatan kuliner terbukti ampuh. "Dari semua mata acara yang diselenggarakan delegasi RI sebagai tamu kehormatan FBF 2015, ada dua hal yang menurut saya paling menonjol, yaitu gerobak kaki lima serta Food Explorer," kata penulis buku yang juga pakar kuliner. "Keduanya sangat efektif sebagai bagian diplomasi publik."

Tak hanya memperoleh anugerah pada penghargaan buku kuliner tingkat dunia, dampak lanjutan terlihat pada buku-buku kuliner dan wisata pun memberikan pengaruhnya. Saat berlibur, tujuan wisata mereka di Indonesia tak lagi hanya Bali. Tetapi, juga Belitung lantaran buku Laskar Pelangidan daerah lain.

"Mereka mulai mencari Pulau Buru. Itu setelah mereka membaca buku Laksmi Pamuntjak," kata Agus lagi.

Dalam FBF 2016, delegasi Indonesia berupaya me nindaklanjuti keberhasilan tahun sebelumnya. Dengan biaya yang lebih sedikit, delegasi kuliner yang bernama Spice it Up menghadirkan dua chef Indonesia mengajar sekitar 1.000 siswa sekolah kejuruan memasak di Jerman, Austira, Italia, dan negara Eropa.

"Tahun ini kami menampilkan buku-buku karya para penulis kuliner," kata Kestity Pringgoharjono, koordinator program Food Explorer. Sejumlah buku kuliner yang dibawa tim Indonesia antara lain adalah karya Bondan Winarno, Sisca Soewitomo, William Wongso, Bara Pattira djawane, Petty Elliot, dan Santhi Serad.

Menurut Nadjamuddin Ramly, direktur warisan dan diplomasi budaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang membuka dengan resmi program Food Explorer, Eksplorasi Makanan merupakan bentuk diplomasi budaya yang tepat untuk memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada dunia.    Nina Chairani

 

Mereka mulai mencari Pulau Buru. Itu setelah mereka membaca buku Laksmi Pamuntjak

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement