Ahad 08 May 2016 15:21 WIB

Sebungkah Asa dari Bantar Gebang

Red: operator

Sebuah novel berdasarkan kisah nyata anak-anak pemulung dalam perjuangan mereka.

 

Penuh semangat dan berenergi. "Aku ingin jadi guru!", "Aku ingin jadi dokter!" Aku ingin jadi polisi!", "Aku ingin...", "Aku ingin...". Teriakan lima belas anak SMP Sekolah Saung Bantar Gebang (SSB) menggelegar, menembus angkasa, bagai petir di siang bolong.

Begitulah sedikit isi cerita dalam novel Impian dari Negeri Sampahkarya Nadam Dwi Subekti. Ini adalah karya pertama pria asal Jawa Tengah ini. Sebuah novel yang menggambarkan kondisi Bantar Gebang, khususnya tempat pembuangan sampah.

Tahun 2004 silam, Nadam menginjakkan kaki di Bantar Gebang. Jiwa sosialnya yang sudah dibangun sejak kecil membawanya ke Bantar Gebang.

Ia begitu miris melihat kondisi di sana.

Ratusan bedeng ukuran 3 x 5 meter persegi berdiri berdampingan dengan gunung sampah. Bau busuk begitu menusuk, hingga membuat siapa saja yang di dekatnya merasa mual dan ingin muntah.

Sejak saat itulah, ia memutus kan untuk mengajarkan mengaji kepada anak-anak pemulung Bantar Gebang. Namun ternyata, anak-anak di sana banyak yang tidak sekolah. Mereka terpaksa putus sekolah karena terbentur biaya, atau karena kewajiban membantu orang tua mereka memulung. "Kalau saya hanya mengajar ngaji, Saya tidak bisa berbuat banyak pada anak-anak dalam pendidikan," ujarnya.

Sebuah sekolah alam Kemudian, ia berniat membuat sekolah alam. Sekolah sederhana, sekolah nonformal untuk anak-anak pemulung. Selama dua tahun ia mulai merintis sekolah impiannya itu. Bermodalkan niat dan motivasi yang kuat, Nadam mewujudkannya pada 13 Oktober 2006.

Dari situlah ia mulai mengajarkan anak-anak pemulung dengan ilmu yang dia miliki. Mulai dari pelajaran umum, sampai keterampilan membuat lukisan dari kulit telur. Dari yang hanya mengontrak lahan, kini sekolah itu memiliki luas 5.000 meter persegi, yang didapatkan dari wakaf para donatur dan relawan.

Pengalamannya bersinggungan dengan anak-anak pemulung, juga para orang tuanya, membuatnya banyak belajar. Belajar mengenai kehidupan, terutama mengenai pendidikan mereka. Dari yang putus sekolah, sampai bisa bersekolah nonformal secara gratis, bahkan sampai masuk perguruan tinggi dengan beasiswa yang diberikan donatur melalui dirinya.

Ia juga melihat banyak impian dari anak-anak pemulung itu. Ada yang bercita- cita ingin menjadi polisi, dokter, guru, bidan, pengusaha, dan lain sebagainya. Tentunya, untuk menggapai itu semua perlu pendidikan yang cukup.

Latar belakang itulah yang akhirnya mendorong Nadam menulis novel yang berisikan kisahnyata dari kehidupan anak-anak pemulung di Bantar Gebang. Ia menggambarkan kondisi sekolah yang dibangunnya, yaitu Sekolah Alam Tunas Mulia di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Ba rat. Ia mendeskripsikan kondisi anak-anak yang menempuh pendidikan, sampai akhirnya ada beberapa anak yang bersemangat, terus konsisten sehingga bisa punya keinginan untuk kuliah.

Kisah nyata sehari-hari Novel tersebut mengisahkan empat orang anak perempuan yang memiliki latar belakang berbeda, yang kemudian saling menjalin persahabatan. Mereka adalah Rahma, Siti, Juju, dan Santi. Mereka memiliki keinginan yang sama, yaitu bersekolah. Akhirnya, keinginan itu terwujud setelah menemukan sekolah alam di dekat tempat tinggal mereka.

Mereka pun berhasil bersekolah, dan bahkan, berhasil masuk perguruan tinggi.

Selain kisah itu, dalam novel yang terdiri dari 43 bab tersebut, banyak juga ditulis kisah nyata lain yang ada di Bantar Gebang. Misalnya, ada longsor sampah, ada penemuan mayat bayi, ada penemuan uang puluhan juta, ada residivis yang masuk ke dalam sampah atau bersembunyi di sampah. Ada juga kisah tragis, misalnya, pemulung kena backhoe, pemulung kena longsor, dan banyak kisah lainnya.

"Di situ memang miris kalau dibaca, sangat menyentuh," ujar lelaki yang pernah mengenyam pendidikan peternakan di Universitas Jenderal Soedirman itu.

Sedianya, buku ini akan berisi tulisan anak-anak itu, tentang cita-cita dan peristiwa yang mereka alami. Sayangnya, mereka agak kesulitan mengungkapkan isi hati. Maka Nadam membuat sendiri versinya, tentang kondisi anak-anak, cita- cita anak-anak, keadaan mereka.

Ia menulis buku tersebut mulai 1 Januari 2013. Kemudian, buku baru selesai sekitar satu tahun. Tepat awal 2014, buku berisi tentang kisah anak-anak itu rampung.

Setelah itu, tahun 2015, Nadam mengirimkannya ke teman-temannya.

Respons mereka positif dan menyarankan untuk membuat novel. "Akhirnya ya kita coba membuat novel," ujar lelaki yang memang tidak ada latar belakang sebagai penulis itu.

Meski novel karya Nadam berdasarkan kisah nyata, dia mengaku memberi `bumbu-bumbu' di sana-sini, supaya lebih menarik. "Ini buku pertama saya, dan ini dari kisah nyata, jadi saya tidak kesulitan untuk mengeksplorasi. Jadi apa yang terjadi, itu yang saya tulis," jelasnya.

Akhirnya, ada penerbit yang tertarik dengan buku yang dibuatnya, dan mau menerbitkan buku karyanya itu. Sekitar Agustus 2015, mulai banyak respons bagus, dan Desember 2015 sudah masuk penerbit. Kemudian, buku dicetak Januari dan baru selesai akhir Maret, lalu diluncurkan pada awal Mei 2016.

Buku tersebut dibanderol seharga Rp 60 ribu. Sementara ini buku hanya bisa dibeli melalui Nadam langsung, atau ke Sekolah Alam Tunas Mulia. Juga bisa dipesan online. Karena sementara ini belum ada distributornya.

Sesuai perjanjiannya dengan penerbit, buku itu diterbitkan dengan sistem jual putus. Dalam penerbitan novel perdananya itu, langsung diproduksi sebanyak 5.000 eksemplar. Sebagian dana hasil penjualan novel digunakan untuk biaya kuliah anak-anak di sekolah tersebut.

Pesan yang tercantum dalam buku ini adalah, anak-anak yang bersekolah harus tetap bersemangat dalam kondisi seperti apa pun. Dengan kesungguhan dan kesederhanaan, akhirnya mereka bisa mewujudkan cita-cita.  Oleh Desy Susilawati, ed: Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement