Jumat 12 Feb 2016 18:08 WIB

Sentimok, Potret Desa di Perbatasan

Red: operator

Tinggal di daerah 'halaman terdepan' batas negeri ini berarti jauh dari pusat pemerintahan berada. 'Halaman terdepan' bisa diibaratkan sebagai etalase toko di sebuah mal. Etalase yang menampilkan daya tarik, keunggulan toko tersebut bagi pengunjung. Namun, apakah jadinya jika wilayah tapal batas negeri ini seolah hanya menjadi 'halaman belakang' yang luput dari perhatian? 

Potret Desa Sentimok di Jagoi Babang, Beng kayang, Kalimantan Barat, bisa jadi mencerminkan hal ini. Terpencil, miskin infrastruktur, bahkan untuk kebutuhan mendasar bagi warganya. Kota yang berbatasan dengan wilayah Malaysia. Dari Pontianak menuju Jagoi Babang dapat dituju menggunakan mobil selama hampir delapan jam. Sementara untuk menuju Desa Sentimok dibutuhkan empat hingga lima jam.

Desa Sentimok merupakan desa terakhir di Jagoi Babang yang berbatasan dengan Malaysia. Untuk menuju ke sana biasanya diperlukan waktu empat sampai lima jam menggunakan mobil berporos ganda. Namun, sejak 2015 telah ada jalan yang baru dibuat. Menggunakan jalan ini menuju Desa Sentimok, perjalanan bisa dipangkas menjadi dua jam, dengan melewati jalan perkebunan sawit.

Berbagai kebutuhan dasar warga di Sentimok masih belum terpenuhi. Untuk tenaga listrik mereka mengandalkan genset dan lampu tenaga surya sebagai sumber penerangan. Air bersih yang layak konsumsi yang menjadi kebutuhan paling mendasar pun belum terpenuhi.

Air Sungai Kumba yang melewati desa ini tidak layak dikonsumsi oleh penduduk. Sungai ini telah tercemar pestisida dari perkebunan sawit. Sehingga hanya digunakan untuk mandi dan mencuci. Untuk air konsumsi, mereka menggunakan tampungan air hujan. Selain itu, perbaikan infrastruktur di kawasan masih sangat minim. Jalan rusak menjadi pemandangan di gerbang saat memasuki wilayah Indonesia.

Layaknya kota-kota perbatasan di tempat lain, mata uang yang digunakan adalah mata uang dua negara yang berbatasan, yakni rupiah serta ringgit Malaysia. Setiap hari, kendaraan pedagang keluar masuk melalui perbatasan untuk berjualan ke negeri jiran, dengan menggunakan surat izin pos lintas batas. Seperti itulah perniagaan di kedua wilayah negara berlangsung.

Mereka melihat dan merasakan langsung kesenjangan infrastruktur di kedua wilayah yang berbatasan ini. Namun saat listrik, pendidikan, kesehatan, dan air bersih masih menjadi hal yang mahal, mereka masih berbangga menjadi bagian 'halaman belakang' negeri ini. rep: Wihdan Hidayat,  ed: Yogi Ardhi 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement