Rabu 22 Apr 2015 13:00 WIB

Hikmah Erupsi Tambora

Red:

Hari itu, hampir 200 tahun lalu, 11 April, 1815, tiga kerajaan lenyap sekaligus. Memakan korban 71 ribu jiwa. Sebelas ribu sampai 12 ribu di antaranya terbunuh secara langsung pada akibat letusan. Akibat letusan ini juga dipercaya menjadi penyebab kalahnya Napoleon pada peperangan Waterloo akibat curah hujan meningkat tiga kali lipat di Eropa, satu tahun berikutnya (1816).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Satu tahun berikutnya (1816) sering disebut sebagai tahun tanpa musim karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa yang disebabkan debu. Akibat perubahan iklim yang drastis ini, banyak panen yang gagal dan kematian ternak di belahan utara yang menyebabkan terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-19. Kejadian tragis sepanjang sejarah itu terjadi akibat meletusnya Gunung Tambora yang terletak di Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Letusan Gunung Tambora, 200 tahun silam, itu menyisakan kaldera besar dengan diameter sembilan km dan kedalaman satu km. Di tengah kaldera, muncul anak Gunung Tambora yang biasa disebut warga dengan sebutan "Toi" yang siap menyaingi ledakan Tambora pada 1815. Selain itu, jutaan padang sabana menghiasi perjalanan menuju kaki Gunung Tambora, dari Dompu hingga Calabai. Saat ini, padang sabana tersebut dialihfungsikan menjadi tempat habitat liar sapi, kerbau, dan kuda liar.

Tambora dalam bahasa suku Bima memiliki arti "hilang" atau "menghilang", menjadi saksi bisu sekaligus bahan renungan bagi khalayak. Bintang yang bertaburan yang tampak di langit Tampora pada malam itu seolah mengajak kita untuk mengambil hikmah dari momentum 200 tahun erupsi tambora. Merenungkan kedahsayatan gunung-gunung diibaratkan, seperti bulu bulu yang dihamburkan sebagaimana termaktub pada Surah al-Qariah ayat 5. ed: Yogi Ardhi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement