Sabtu 23 Jul 2016 20:05 WIB

Presiden Dukung RUU Antiterorisme

Red: Arifin

BNPT ingin penanggulangan terorisme tetap dalam koridor hukum.

 

JAKARTA -- Pihak Istana Negara enggan menegaskan sikap Presiden Joko Widodo terkait pelibatan TNI dalam penindakan terorisme melalui revisi Undang-Undang Penanggulangan Terorisme (UU Antiterorisme). Kendati demikian, Presiden disebut telah menyetujui langkah-langkah kementerian mendorong rancangan regulasi tersebut.

Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan, pada prinsipnya, apa yang disampaikan menteri dalam proses pemba hasan revisi UU Antiterorisme di DPR merupakan sikap resmi pemerintah.

"Ditanyakan saja ke menteri terkait yang ikut membahas. Kalau sudah sampai kepada DPR kanartinya itu sikap resmi pemerintah. Menteri yang ke DPR membahas itu pasti sebelumnya sudah berdiskusi dengan Presiden," kata Johan di Istana Negara, Jumat (22/7). 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan keinginan pemerintah agar TNI juga memiliki kewenangan untuk menindak teroris. Hal itu kemudian diusulkan dalam rencana revisi UU Antiterorisme yang diajukan pemerintah ke DPR.

Soal pelibatan TNI, Luhut mendasarkan pernyataannya pada UU TNI yang menyebut militer juga memiliki tugas dalam menanggulangi teroris. Terlebih, kata dia, terorisme saat ini sudah menjadi ancaman global yang memerlukan kewaspadaan tinggi. "Tidak bisa tidak, (TNI) harus dilibatkan," kata mantan jenderal TNI tersebut. 

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius mengatakan, rencana pelibatan TNI melalui revisi UU Anti Terorisme masih harus dikaji lagi. Namun, ia menilai, penanggulangan terorisme harus tetap dalam ranah penegakan hukum.

Ketika ada format hukum yang jelas, ada garis panduan yang jelas. "Saya sedang pelajari dengan tim saya soal revisi UU Antiterorisme ini. Cuma memang yang terpenting harus jelas dulu format hukumnya," ujar Suhardi, kemarin.

Suhardi menegaskan, apa pun tindakan pelanggaran hukum, sekalipun itu terorisme, harus melalui penegakan hukum yang jelas. Jangan sampai penegakan hukum malah melanggar dan menyebabkan pelanggaran baru. "Dalam arti kata untuk menyelamatkan HAM yang lain," ujar Suhardi.

Sedangkan, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan, selama terorisme sudah menjadi ancaman negara, semua pihak yang mempunyai kemampuan memberantas teroris harus ikut serta. Namun, menurutnya, melibatkan TNI dalam pemberantasan teroris dengan dimasukkan ke dalam revisi UU Tindak Pidana Terorisme belum diperlukan.

"Selama bisa ditangani oleh pihak kepolisian dan itu masih dalam tahap yang terjangkau untuk penanganannya, ya saya kira bisa cukup polisi," kata Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, kemarin. Kendati demikian, ia juga mengakui bahwa penanganan kasus-kasus terorisme memang berbeda-beda. Untuk operasi seperti di Poso, lanjut dia, memang memerlukan bantuan tentara dari TNI.

Sebelumnya, anggota tim panitia khusus (pansus) revisi UU Antiteorisme, Akbar Faisal, tak menyangkal bahwa peran TNI akan dikedepankan melalui revisi UU Antiterorisme. "TNI jadi bukan bantuan lagi, melainkan dilibatkan dalam UU. Sehingga, (istilahnya) tidak lagi tindak pidana terorisme, tapi mereka meminta aksi (penanggulangan) terorisme yang melibatkan banyak pihak," ujarnya.

Hal itu dikritisi sejumlah pihak. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas menilai, pelibatan TNI berpotensi merusak nama baik lembaga itu jika nantinya terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM.

"DPR harus ekstra hati-hati dalam menjaga muruah TNI ini untuk tidak ditarik kedalam pemberantasan teror," kata Busyro yang sempat mengadvokasi pelanggaran HAM dalam penindakan terhadap Komando Jihad oleh aparat semasa Orde Baru.

Menurut Busyro, secara metodologis, lembaga-lembaga penanggulangan terorisme seperti Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) masih bisa menyelesaikan berbagai permasalahan teror. Hanya saja, harus ada evaluasi secara objektif terlebih dahulu kepada ketiganya oleh DPR dan lembaga-lembaga sipil.    rep: Halimatus Sa'diyah, Eko Supriyadi, Intan Pratiwi, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement