Kamis 26 May 2016 13:00 WIB

Pengendalian Harga Butuh Intervensi

Red:
Daging sapi. Ilustrasi
Foto: Antara
Daging sapi. Ilustrasi

JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan, menjelang Ramadhan, beberapa komoditas bahan pokok sudah mengalami kenaikan. Namun, kenaikan harga masih belum terjadi secara merata, salah satunya daging sapi

Menurut Ketua KPPU Syarkawi Rauf, berdasarkan hasil inspeksi mendadak, harga daging sapi relatif tinggi di daerah Jambi dan DKI Jakarta."Ini butuh intervensi pemerintah, mudah-mudahan daging sapi yang diimpor dari Australia bisa segera masuk,'' katanya, Selasa (24/5).

Kalau daging impor cepat masuk, kata dia, akan efektif menurunkan harga. Syarkawi menjelaskan, regulasi impor daging juga perlu diperhatikan oleh pemerintah. Saat ini, pemerintah telah menugaskan BUMN, yakni PT Berdikari untuk mengimpor daging sapi.

Menurut Syarkawi, kualitas daging sapi yang diimpor oleh perusahaan tersebut perlu dicermati. Apabila perusahaan tersebut mengimpor daging sapi dengan harga yang mahal maka tetap tidak akan dapat menstabilkan harga di pasar.

Ia menambahkan, pemerintah juga mesti meminta secara spesifik kepada BUMN pengimpor ini. Mereka hanya diminta mengimpor daging sapi kualitas tertentu, misalnya, kualitas medium, sehingga dapat menstabilkan harga di pasar.

Selain itu, komoditas bawang merah juga mengalami kenaikan akibat manajemen stok yang masih belum memadai. Syarkawi menjelaskan, setiap musim panen harga bawang merah cenderung rendah, kemudian satu bulan setelah panen raya harganya kembali meroket.

Menurutnya, untuk menstabilkan harga bawang merah, pemerintah perlu mengoptimalkan resi gudang. Komoditas lain yang juga kerap mengalami kenaikan menjelang Ramadhan adalah daging ayam. Di beberapa daerah, harga pembelian ayam hidup di peternak Rp 19 ribu.

Namun, harga daging ayam di masyarakat sudah mencapai Rp 30 ribu. Ia menyarankan, harga pembelian ayam hidup di peternak harus dicek terus. Kalau memang harga pembelian di peternak Rp 10 ribu, seharusnya harga daging ayam di pasar mencapai Rp 18 ribu.

Pengamat Peternakan dari Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf menilai, ambisi Presiden Joko Widodo menekan harga daging sapi saat Ramadhan dan Lebaran, ganjil. Sebab, kebijakan itu tak didukung data pasokan dan kebutuhan yang akurat.

Ia juga menganggap, pemerintah keliru dalam membandingkan harga komoditas serupa di negara tetangga. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo menargetkan harga daging sapi jenis paha belakang yang saat ini berkisar Rp 110 ribu bisa ditekan menjadi Rp 80 ribu per kilogram (kg).

Target tersebut harus tercapai sebelum Hari Raya Idul Fitri 2016 tiba. Di sisi lain, hingga kini harga daging sapi jenis tersebut masih tinggi. Laman infopangan, Selasa (24/5), menyebutkan, harga daging sapi paha belakang Rp 122.250 per kg, naik Rp 1.030 dari hari sebelumnya.

Untuk daging sapi murni, Rp 113.684 per kg, turun Rp 190 dari hari kemarin. "Kalau saya berprinsip pada teori supply-demand sajalah, kalau pasokan rendah, permintaan tinggi, harga juga pasti tinggi, begitu pun sebaliknya," kata dia.

Ketika pemerintah menginginkan harga daging murah, harus terpapar secara jelas terlebih dahulu, berapa kebutuhan, pasokan, dan permintaannya. Data tersebut hingga kini masih bertebaran dalam beragam versi dan sarat kepentingan.

Keganjilan ambisi pemerintah, kata Rochadi, juga terlihat dari cara membandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang disebut menjual harga daging dengan harga Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu per kg. Perlu ditelisik, jenis daging apa yang dijual di dua negara itu.

Menurut Rochadi, kebanyakan daging yang beredar justru daging kerbau yang memang harganya rendah. Daging tersebut tidak bisa dibandingkan dengan daging sapi paha belakang yang harganya tinggi di Indonesia.

Lagi pula, jika harga daging di negara Malaysia rendah, itu disebabkan negara tersebut memiliki regulasi pengatur harga yang kuat. Artinya, pengaturan harga bukan di tangan pedagang, melainkan diatur pemerintah.   rep: Rizky Jaramaya, Sonia Fitri, ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement