Jumat 15 Apr 2016 16:00 WIB

Defisit BPJS Kesehatan Sulit Dihindari

Red:

JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengklarifikasi soal potensi defisit atau miss match. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengungkapkan, potensi defisit memang selalu ada selama besaran iuran kepesertaan belum mencapai angka ideal.

Namun, hal ini tak lantas membuat BPJS Kesehatan merugi. Bahkan, pada 2015, BPJS Kesehatan surplus dana tunai sebesar Rp 1,94 triliun. "Jadi antara pengeluaran dan pendapatan itu per akhir tahun surplus. Karena, pendapatan itu bukan semata-mata iuran. Ada hasil investasi. Kemudian, ada komitmen pemerintah memberikan alokasi dana tambahan," ujar Fachmi yang didampingi jajaran direksi BPJS Kesehatan saat berkunjung ke redaksi Republika, di Jakarta, Kamis (14/4).

Tahun lalu, pemerintah mengalokasikan dana komitmen Rp 6,6 triliun yang disuntikkan ke BPJS Kesehatan menjelang tutup tahun 2015. Dari hasil investasi, BPJS Kesehatan meraup Rp 1 triliun pada 2015.

"Tapi kalau kita cuma melihat antara iuran dan pengeluaran, sampai kapan pun miss match. Karena (besaran) iuran (bulanan) dan pengeluaran itu memang tidak imbang. Kalau kita hitung dengan aktuaria itu belum pas memang," kata dia.

Besaran ideal iuran bulanan BPJS Kesehatan, kata Fachmi, sebenarnya sudah dihitung Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Pada 2012, angka untuk penerima bantuan iuran (PBI) idealnya Rp 27.500. Dihitung lagi pada 2014, angka PBI idealnya Rp 36 ribu. Namun, pemerintah menetapkan Rp 23 ribu.

Demikian pula dengan iuran kepesertaan mandiri. Idealnya, besaran iuran bagi penerima manfaat kelas III sebesar Rp 30 ribu per bulan. Bagi kelas II, idealnya Rp 60 ribu. Namun, ditetapkan sejak 1 April 2016, iuran untuk kelas III sebesar Rp 25.500, kelas II Rp 51 ribu, dan kelas I Rp 80 ribu.

Itu menurut Perpres No 62 Tahun 2016, sebagai perubahan ketiga atas Perpres No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan. "Dengan iuran, rata-rata, sekarang belum mendekati angka ideal, tapi kalau bicara akademik, sudah ketemu angkanya (ideal)."

Untuk mencapai situasi Jaminan Kesehatan Semesta (universal health coverage) pada 2019, BPJS Kesehatan terus memperluas kepesertaan dan peningkatan pelayanan. Untuk tahun ini, pihaknya mulai melakukan sosialisasi terkait sanksi administratif bagi badan usaha dan individu yang tidak ikut program BPJS Kesehatan. Sanksi itu bisa berupa penundaan perpanjangan izin usaha atau menahan surat administrasi semisal KTP.

Untuk peningkatan pelayanan, BPJS Kesehatan terus berkoordinasi dengan Kemenkes sebagai regulator yang membawahkan rumah sakit. Bagi peserta BPJS pada umumnya, indikator kepuasan terletak pada panjangnya antrean dan penuhnya kamar rawat inap.

Dia mengakui, belum semua rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan menerapkan sistem informasi terpadu, minimal orang yang dapat dihubungi. Itu agar pasien dapat menghubungi pihak BPJS Kesehatan mengenai ruang rawat inap kosong di rumah sakit daerah. Sehingga, pasien tak lagi kebingungan mencari rumah sakit yang masih luang ruang rawat inapnya. Sistem informasi ini membuat petugas BPJS Kesehatan yang mencari informasi ketersediaan ruangan kosong, bukan pasien.

Terkait panjangnya antrean, Fachmi menjelaskan, hal itu sukar dihindari bila fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), semisal puskesmas, klinik pratama, atau dokter praktik perorangan, tidak didahulukan. Terkadang, antrean menjadi panjang lantaran banyak pasien yang tak seharusnya ke rumah sakit, tapi bisa ditangani terlebih dahulu di puskesmas atau klinik pratama.

Fachmi mengungkapkan, BPJS Kesehatan mengeluarkan uang untuk kapitasi bagi puskesmas seluruh Indonesia sebesar Rp 11 triliun. Dia berharap, 155 diagnosis selesai ditangani di tingkat puskesmas sesuai standar kesehatan.

Kemudian, dokter di tingkat puskesmas didorong menjadi dokter keluarga. Setiap peserta BPJS Kesehatan minimal bertemu dokter di puskesmas setiap empat kali setahun, sekalipun ia tak sakit. Kini, kata Fachmi, frekuensi pertemuan baru 1,5 kali setahun.

Bila pasien menyadari alur rujukan, persoalan antrean panjang bisa diatasi. Pada saat yang sama, puskesmas dan klinik pratama didorong agar meningkatkan kualitas pelayanan dan fasilitas alat kesehatan.   rep: Hasanul Rizqa, ed: Nur Hasan Murtiaji

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement