Kamis 17 Mar 2016 17:00 WIB

Mereka Terdesak Transportasi Daring

Red:

Maulana adalah satu dari ratusan lainnya. Ia yang semula bekerja sebagai sopir di salah satu perusahaan taksi saat memilih beralih menawarkan jasa angkutan berbasis daring melalui aplikasi Uber. "Saya pindah karena ingin perubahan aja. Teman saya ada lebih dari 200 orang pindah ke Uber," katanya kepada Republika, Rabu (16/3). Ia menyebut peningkatan penghasilan mencapai lebih dari 40 persen.

Bagaimanapun, nasib serupa tak dialami mantan rekan-rekannya. "Dulu bisa bawa pulang lebih dari Rp 550 ribu per hari, tapi sejak ada mereka, untuk mencapai segitu sulit," katanya.

 Seorang sopir taksi Bluebird, Joni (48), bercerita hal senada. Nominal Rp 550 ribu merupakan target setoran bagi Joni. Uang ratusan ribu itu harus dia siapkan setiap hari saat beroperasi.

Sebelum hadirnya transportasi daring, target setoran itu bisa dia penuhi dalam waktu kerja 10 jam. Kini, meski mulai aktif bekerja sejak pukul 06.00 WIB pagi hingga pukul 12.00 WIB malam, Joni sulit memenuhi target operasional. "Kalau sekarang paling dapat komisi cuma Rp 70 ribu. Banyak yang pensiun jadi sopir," katanya.

Keluhan tidak jauh berbeda juga lontarkan Darkan. Pria yang telah menjadi sopir taksi sejak 1976 silam itu mengaku masih bisa memenuhi target setoran saat krisis moneter menerpa pada 1998 silam. "Sekarang untuk dapat Rp 300 ribu saja sulit sekali. Menurun drastis," kata Darkan sembari menunggu penumpang.

Pria berusia 63 tahun itu tidak bisa menyalahkan penumpang. Pelanggan, dia mengatakan, memiliki hak untuk memilih angkutan umum yang bisa membuat mereka nyaman. Darkan hanya bisa menyalahkan pemerintah yang belum bisa mengatur kehadiran taksi daring tersebut dengan baik.

Baik Joni dan Darkan enggan beralih menjadi sopir taksi yang dipesan melalui aplikasi telepon genggam. Meski menggiurkan, mereka menilai operasi yang tidak berizin membuat mereka waswas akan operasional. Darkan mengatakan, lebih baik berpenghasilan kurang ketimbang harus beroperasi tidak mengantongi izin dari pemerintah.

Sementara, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai wajar kerugian yang menimpa sopir taksi konvensional. Ini lantaran taksi daring bisa menawarkan harga yang murah karena tidak membayar pajak, asuransi, dan KIR kendaraan kepada pemerintah.

Menurutnya, pemerintah juga wajib hadir untuk melindungi pengguna jasa angkutan umum dan pengusaha angkutan umum resmi. Sebab, transportasi umum sudah merupakan kebutuhan dasar layaknya pendidikan, kesehatan, perumahan, sandang, dan pangan bagi masyarakat.

Djoko mengatakan, pemerintah juga seharusnya bisa mengurangi pajak perusahaan transportasi sehingga tarif yang dibebankan kepada masyarakat bisa ditekan. "Pengguna layanan taksi juga ingin kemudahan dan murah. Perlindungan terhadap pengguna dapat juga dilakukan," katanya.  c33/c18, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement